Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money

Energi Terbarukan dan Permasalahannya.

8 Juli 2015   22:33 Diperbarui: 4 April 2017   18:03 11178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Energ terbarukan (EBT) mulai di lirik setelah diadakannya Earth Summit di Rio De Jeneiro pada tahun 1992 dimana dibahas tentang pemanasan global yang di duga adalah akibat kegiatan ekonomi manusia yang menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRC) ke atmosfir yang salah satu komponen terbesar nya adalah emisi karbon dimana kontributor no 2 terbesar adalah transportasi dan energi.

Sejak itu penggunaan EBT sebagai pembangkit listrik alternatif yang tidak menghasilkan emisi karbon terus di meningkat walaupun secara ekonomi beberapa masih mahal di banding sumber energi fossil tetapi demi menekan GRK maka EBT sering di berikan subsidi dalam berbagai bentuk. Memang EBT adalah bentuk energi yang sangat ideal untuk masa depan kehidupan manusia, tetapi saat ini EBT bukan tanpa masalah yang terkadang di kesampingkan. Tulisan ini mencoba membahas beberapa permasalahan utama EBT secara umum.

Energi terbarukan dapat di artikan sebagai energi yang terus menerus dapat menghasilkan daya tanpa harus ada masukan bahan bakar, seperti Angin, Surya, Gelombang Laut, Panas Bumi dan energi baru adalah jenis energi yang tidak memakai bahan bakar fosil, seperti Nuklir dan Biomassa.

Energi Terbarukan (EBT) dapat di klasifikasikan menjadi bagi 2 berdasarkan sifat pasokan dayanya yaitu intermiten dan primer. Intermiten adalah energi yang tidak dapat memberikan daya 24 jam/sehari atau secara kontinyu seperti Angin dan Surya. Sementara Primer adalah yang sifatanya dapat di andalkan untuk mensuplai daya secara kontinyu 24 jam/sahari seperti : Air, Panas Bumi, Biomassa dan Nuklir.

Tentunya PREMIS UTAMA dari Energi Terbarukan adalah : Tidak Menghasilkan Gas Rumah Kaca.. tapi kita akan lihat bahwa premis tersebut sesungguh tidak dapat tercapai paling tidak saat ini.

Masalah 1 : Penyimpanan

Dikarenakan sifatnya yang tidak dapat memasok daya secara kontinyu atau selama 24 jam nonstop, sebagai contoh tenaga surya, tentunya pada malam hari tidak dapat menghasilkan daya sehingga biasanya hanya ada solusi bagi intermiten yaitu : hybrid dengan fossil biasanya Diesel dan gas turbin atau disimpan seperti baterai dan sistim penyimpanan energi lainnya yang non-baterai.

Karena alasan inilah biaya listrik intermiten menjadi mahal dan sering mendapatkan subsidi yang di sebut Feed-in-Tariff (FIT) untuk surya biasanya sekitar 25 sen USD/Kwh sementara harga jual listrik ke masyarakat rata-rata 9 sen USD/kwh.

Di Indonesia biasanya sangat jarang di lakukan penyimpanan energi, di karenakan sistim penyimpanan baterai bisa mencapai $200 - $500 per Kwh, sangat mahal tetapi lebih banyak di pakai sistim Hybrid dengan Genset diesel yang akhirnya membuat emisi karbon padahal awalnya memakai energi terbarukan adalah untuk menekan emisi karbon tapi justru malah meningkatkan.

Sesungguhnya ada beberapa jenis sistim penyimpanan energi lainnya yang bukan baterai. Salah satu yang paling handal adalah Pump Hydro.

Pump Hydro Adalah sistim penyimpanan energi mempergunakan air yang sudah terbukti handal yang berkerja dengan gravitasi. Saat jam puncak air di jatuhkan dari dam untuk menggerakan turbin. Lalu ketika beban tidak puncak, turbin memompa air lagi ke atas. Indonesia memiliki hanya satu Pump Hydro yang sedang di bangun di PLTA Cisokan menghasilkan daya 1040 MW dengan total biaya USD 800 Juta dimana USD 640 adalah bantuan Bank Dunia. Pump Hydro sering di pakai untuk melakukan balancing load dari grid listrik karena memiliki kemampuan untuk menyimpan energi saat beban rendah dan mensuplai pada saat beban puncak. Biaya penyimpanan energi Pump Hydro saat ini adalah yang termurah dan paling banyak di gunakan di dunia dengan kapasitas terpasang di dunia mencapai 127,000 MW dengan biaya investasi sekitar USD100 – USD200 per Kwh energi yang di hasilkan. Pump Hydro juga sering di pergunakan untuk menyimpan energi dari sistim Pembangkit Tenaga Angin.

Perbedaan utama Pump Hydro dengan PLTA lainnya adalah tidak membutuhkan volume air yang besar dan area yang luas karena air di putar naik kembali sehingga turbin dapat berkerja dua arah dibanding PLTA pada umumnya dimana turbin satu arah.

Masih ada beberapa sistim penyimpanan energi lainnya yang tidak akan kami bahas satu persatu, tetapi kami berikan linknya untuk di baca lebih mendalam.

Masalahnya di Indonesia permasalahan penyimpanan energi di Indonesia hanya di jawab dengan hybrid dengan fosil padahal ada beberapa solusi penyimpanan yang biaya nya lebih murah daripada melakukan hybrid karena tanpa menjawab permasalahan penyimpanan maka intermiten energi hanya menjadi beban yang kurang dapat di andalkan apalagi dengan subsidi yang terus di berikan dalam bentuk FIT.

Masalah 2 : Faktor Kapasitas

Permasalahan berikutnya dari intermiten adalah faktor kapasitas (capacity faktor/FK) yaitu rasio dari output yang sebenarnya dibanding potensi output bilamana beroperasi selama 24 jam. Faktor Kapasitas intermiten adalah yang terendah dibanding jenis pembangkitan lainnya. Rata-rata FK Angin 31% dan Surya 23% - 30% bandingkan dengan Panas Bumi 66% dan PLTU batubara 58%, sementara Nuklir adalah yang tertinggi 90% - 95%.  -- Jadi bila dikatakan bahwa Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Surya (PLTS) 10 MW maka sesungguhnya daya yang di hasilkan hanyalah 20% - 25% jadi tidak lebih dari 2,5 MW. Jadi Kekurangan 75% nya harus di hybrid dengan Genset atau Gas - artinya sama juga meningkatkan emisi gas rumah kaca. 

Kita tahu bahwa Photovoltaic sangat berpengaruh terhadap panasnya sinar matahari, sehingga sedikit saja awan menutup matahari maka daya yang di hasilkan akan turun dan hal tersebut dapat terjadi beberapa kali dalam sehari - Hal yang sama dengan angin yang tidak dapat meniupkan angin secara konsisten dengan kecepatan yang sama. Hal ini bukan saja menyebabkan Faktor kapasitas yang rendah tetapi juga membuat masalah dalam menyeimbangkan beban dalam grid bila daya turun-naik.

Faktor kapasitas adalah konsideran penting dalam mendesain sebuah perencanaan energi karena bila proporsi sumber pembangkitan lebih benyak dengan faktor kapasitas rendah maka akan mempengaruhi efisiensi, keseimbangan beban dan pada akhirnya harga jual listrik menjadi mahal. – Sebaiknya rerata FK dalam sebuah grid harus di atas 50% untuk menjamin pasokan yang lancar.

Masalah 3 : Luas area

Salah satu permasalahan terbesar dalam pembangunan pembangkit listrik di Indonesia adalah pembahasan lahan seperti di akui oleh Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) dalam salah satu jumpa pers. Banyak pembebasan lahan membutuhkan waktu sampai bertahun-tahun sebagai contoh PLTU Batang 2 X 1000 MW yang membutuhkan lahan seluas 226 hektare atau sekitar 1.130 meter per MW membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun untuk membebaskannya atau PLTA Jatigede 2 X 55 MW yang membutuhkan waktu 30 tahun untuk membebaskan 147 hektar yang di butuhkan untuk waduk.

Area yang di butuhkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Angin tentunya lebih luas lagi di banding PLTU batubara. Sebagai perbandingan untuk memberikan listrik kepada 1000 rumah Tenaga Surya membutuhkan lahan terbesar 3,3 hektar, Angin 2,4 hektar, batubara 0,29 hektar dan yang terkecil Nuklir 0,10 hektar. Dari diagaram dibawah dapat di lihat bahwa Surya dan Angin memakai lahan yang luar biasa besar. Bayangkan pembebasan lahanya.

Sebagai negara kepulauan maka Indonesia mempunyai lahan daratan yang terbatas dibanding negara lain. Indonesia memiliki kepadatana penduduk yang sangat padat sekitar 121 Km2 bandingkan dengan China yang berpenduduk diatas 1 milyar memiliki kepadatan yang lebih tinggi 142 Km2 dan India 368 Km2 bahkan Singapore negara kecil ternyata memiliki kepadatan 7148 km2 yang jauh lebih tinggi.

Artinya Indonesia tidak memiliki lahan yang luas dan harus berbagi untuk keperluan perumahan, Pertanian dan Infrastruktur (termasuk energi). Tentunya dalam perencanaan pembangkitan energi perlu di pertimbangkan pemakaian lahan yang kecil atau energi dengan densitas yang tinggi.

Densitas Energi

Pemilihan sumber energi dengan energi densitas yang tinggi sebenarnya adalah yang terbaik karena bukan saja membutuhkan bahan bakar yang kecil volumenya tetapi jumlah lahan yang juga kecil. Sebagai perbandingan densitas energi batubara adalah 1000 Kwh/m2 dan Nuklir 12.500.000.000 kwh/m3 artinya dengan lahan yang kecil Nuklir dapat menghasilkan energi ribuan kali lipat di banding batubara apalagi dibanding angin dan surya.

Dari sisi penggunaan bahan bakar bandingkan untuk membangkitkan 1000 MW listrik, sebuah PLTU batubara membutuhkan sekitar 2,5 juta ton batubara per tahun dengan nilai USD 250 Juta, PLTD (diesel) membutuhkan 2 juta ton Diesel dengan nilai USD 320 Juta sementara PLTN (nuklir) berbahan baku uranium hanya membutuhkan 250 ton Uranium dengan nilai USD 50 Juta dan yang lebih tinggi lagi densitasnya adalah PLTN berbahan bakar Thorium hanya membutuhkan 1 ton Thorium per tahun dengan nilai tidak lebih dari USD 0,5 Juta.

Masalah ke 4 : Kurva Bebek

Salah satu wilayah di Amerika yang memiliki komitmen tinggi terhadap energi terbarukan adalah California, dengan target 30% EBT pada tahun 2020. Sepeti dibahas di atas,  EBT, khususnya Surya adalah intermitten dhanya dapat berkerja ketika ada matahari dengan peak sekitar pk 12 - 13 sesudah menurun dan lewat pukul 16 sudah tidak dapat di harapkan hasilkan listrik. Hal ini tidak akan menjadi masalah bila sistim tidak interkoneksi tetapi ketika semuanya interkoneksi jatuhnya daya dalam jumlah besar lebih dari 10% akan membebani jaringan interkoneksi (grid) untuk mengenjot daya melalui pembangkit lainnya. -- Ini terjadi karena sampai saat ini tidak ada sistim storage energi yang efisien dan murah --  Karena sebagian besar pembangkit listrik adalah base load yang tidak dapat menaikan daya dalam waktu cepat maka untuk mencapai ini harus dipakai pembangkit yang dapat di pakai sebagai peak load seperti genset diesel dan turbin gas yang biaya operasionalnya mahal. -- California Independent System Operator (CAISO) adalah operator yang di tunjuk untuk mengoperasikan dan mengkordinasikan seluruh jaringan listrik di California membuat sebuah analisa tentang grid load bila terjadi peningkatan posri EBT sampai 33% pada tahun 2020 -- Analisa tersrebut di buat dalam bentuk Kurva yang bentukanya mirip bebek maka di sebut "Cal ISO Duck Curve" -- Menurut mereka akan di butuhkan daya lebih dari 13,000 MW yang hanya di butuhkan 3 jam saja untuk mencapai load sebesar itu dalam waktu yang cukup pendek maka di butuhkan gas turbin yang biayanya sangat mahal bahkan biaya pembangkitan 3 jam tersebut hampir sama dengan pembangkitan daya dengan base load selama 10 jam artinya pastinya terjadi peningkatan biaya listrik yang akan dibebankan kepada pelanggan. -- Skenario yang sama juga akan terjadi di Indonesia paska 2025 dimana saat itu porsi EBT sudah di atas 25% (seharusnya) dan Interkoneksi seluruh Jaringan sudah akan terjadi (saat ini interkoneksi baru Jawa - Bali.. itupun mungkin belum 100%).

Masalah 5 : Keekonomisan

Salah satu negara di dunia yang sangat komit dan mempergunakan EBT terbesar adalah Jerman, 37,9% kebutuhan energi di pasok oleh EBT yang terdiri dari Nuklir 16% dan non-Nuklir 21,9% (Angin, Surya, Biomassa, Hydro) dan target 2020 adalh 47% EBT.

Ambisi “Hijau” Jerman mulai berdampak kepada kas negara dengan anggaran subsidi EBT mendekati USD 31 Milyar per tahun, Jerman sudah mulai kesulitan keuangan dan parlemen dan masyarakat mulai bertanya karena dengan subsidi yang besar mengapa harga listrik naik terus dan emisi karbon terus meningkat.

Sektor Industri EBT pun mengakui bahwa tanpa subdisi mereka tidak akan dapat bertahan hidup karena sesungguhnya Angin dan Surya masih kurang ekonomis dari sisi bisnis. Walaupun harga Phtovoltaic sudah turun jauh dari 10 tahun yang lalu tetapi karena faktor kapasitas yang rendah membuat Angin dan Surya tidak ekonomis.

Pengalaman Jerman dalam mengelola EBT perlu di jadikan studi kasus sehingga ketika Indonesia ingin melakukan tanggung jawab yang baik sebagai warga dunia dengan “Go Green” dan meningkatkan penggunaan EBT Jangan sampai melakukannya dengan memberikan subsidi yang meningkat terus bila perlu tanpa subsidi tetapi pada akhirnya adalah masyarakat sebagai pembayar pajak yang harus di dahulukan, artinya listrik harus tetap murah – dengan Kata lain “GO GREEN BUT CHEAP ELECTRICITY” – Apakah ini mungkin ?? jelas sangat mungkin.

Karena yang akan mengoperasikan pembangkit listrik lebih dari 60% adalah swasta bukan PLN dalam bentuk Independen Power Producer (IPP) maka masalah keekonomisan sebuah pembangkit sangat penting karena mana ada pengusaha yang mau rugi karena bila pembangkit tersebut tidak ekonomis dampaknya IPP akan menuntut pemerintah untuk subsidi dalam bentuk FIT. Seorang ekonom energi, James Conca, menulis hasil penelitiannya tentang keekonomisan beberapa jenis pembangkit yang di muat di majalah Forbes. -- Conca menciptakan sebuah istilah EROI: Energy Return on Invesment. Sederhananya EROI adalah ratio energi yang kembali dan yang di invest kan. Angka minimum keekonomisan adalah  7 (garis biru), bila angkanya bertambah besar maka energi tersebut mudah di dapat dan murah listriknya maka sangat menguntungkan dan ekonomis. (artikel)

Dapat di lihat bahwa tenaga Surya dan biomassa tidak ekonomis. Angin cukup ekonomis tetapi bila di hybrid atau di tambah dengan penyimpanan maka tidak ekonomis. -- Justru tenaga surya non-PV yang di sebut Consentrating Solar Power (SCP) dimana  panas matahari yang di konsentrasikan ke lensa bukan melalui photovoltaic justru yang lebih ekonomis. Sayangnya jenis ini tidak di pergunakan di Indonesia. -- dan yang menarik adalah bahwa yang paling ekonomis dan menguntungkan adalah nuklir.

Salah satu Orang Terkaya di dunia yang mendorong EBT adalah Bill Gates, pendiri Microsoft, Ia menghabiskan lebih dari 10 tahun dan hampir USD 10 Milyar untuk membiayai berbagai teknologi energi bersih mulai dari teknologi baterai, Photovoltaic sampai Reaktor Nuklir. Tujuan utama Gates adalah bukan untuk menjadi pengusaha energi tetapi untuk mengentaskan kemiskinan di Afrika karena menurutnya hanya melalui energi yang bersih dan murah kemiskinan dapat di atasi.

Pada akhirnya Gates memutuskan bahwa energi angin dan surya tidak dapat di andalkan karena mahal dan tidak handal. Dalam interviewnya dengan Financial Times, Gates mengatakan bahwa Angin dan Surya adalah teknologi yang tidak dapat menjawab permasalahan energi saat ini. Menurut Gates salah satu energi yang dapat menjawab adalah Nuklir khususnya teknologi Nuklir Generasi ke IV. Salah satu perusahaan Nuklir yang di biayai oleh Gates adalah Terrapower.

Salah satu premis dari desain reaktor generasi IV yang saat ini masih dalam pengembangan dan akan mulai beroperasi paska 2020 adalah biaya pembangunan dibawah USD 3 juta/MW dan biaya produksi listrik dibawah USD 3 sen/kwH – Artinya harga tersebut jauh di bawah harga jual listrik PLN ke masyarakat yang sekitar USD 9 sen/Kwh. Artinya tidak ada subsidi.

Singkat kata, dari pembahasan tersebut di atas jelas bahwa satu-satunya energi terbarukan yang dapat menjawab tantangan permasalahan adalah Nuklir.

Bila premis dari energi terbarukan adalah mengurangi emisi gas rumah kaca maka kita tinggal melihat saja beberapa contoh di Eropa. Negara Eropa yang memiliki emisi terendah adalah Sweden, Swiss dan Perancis dimana ketiga negara tersebut lebih dari setengah energinya dari Nuklir dan selebihnya dari Hydropower. Sementara Jerman sebagai negara dengan kapasitas pembangkit tenaga Surya dan Angin terbesar di dunia, justru menghasilkan emisi karbon no 2 terbesar di Eropa --Dalam kasus jerman, penurunan GRK yang hanya 5% padahal pemakain angin dan surya meningkat 13% jelas tidak terjadi penurunan secara signifikan

 Mengapa? karena seperti kami jelaskan di atas, Angin dan surya bukanlah energi primer atau base load energi tetapi intermitten sehingga harus dibackup dengan sumber energi primer (base load) dan dalam hal Jerman lebih dari 47% memakai Batubara. Artinya Premis Energi Terbarukan tidak tercapai kecuali Nuklir dan Hydro maka kebutuhan baseload energi terpenuhi dengan emisi rendah, baru kemudian dapat di komplemen dalam skala kecil dengan intermitten seperti Angin dan Surya yang tidak dapat lebih dari 10%. 

Nuklir jelas tidak mengeluarkan emisi dan tidak perlu di Hybrid karena bukan intermiten artinya dapat di jadikan energi primer dengan faktor kapasitas tertinggi 90%.

Nuklir memiliki densitas energi yang sangat tinggi artinya tidak membutuhkan lahan yang besar dan volume memakai bahan bakar yang kecil juga.

Nuklir khususnya Generasi ke IV katagori SMR menjanjikan biaya yang jauh lebih murah daripada PLTU batubara tanpa emisi dan tanpa pengrusakan alam.

Nuklir yang di maksud adalah yang Kami sebut Nukllir Hijau, yaitu Reaktor Nuklir berbahan bakar Thorium cair yang disebut Molten Salt Reactor -- yang akan kami bahas pada tulisan berikutnya. Thorium : Sebuah Revolusi Energi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun