Perbedaan utama Pump Hydro dengan PLTA lainnya adalah tidak membutuhkan volume air yang besar dan area yang luas karena air di putar naik kembali sehingga turbin dapat berkerja dua arah dibanding PLTA pada umumnya dimana turbin satu arah.
Masih ada beberapa sistim penyimpanan energi lainnya yang tidak akan kami bahas satu persatu, tetapi kami berikan linknya untuk di baca lebih mendalam.
Masalahnya di Indonesia permasalahan penyimpanan energi di Indonesia hanya di jawab dengan hybrid dengan fosil padahal ada beberapa solusi penyimpanan yang biaya nya lebih murah daripada melakukan hybrid karena tanpa menjawab permasalahan penyimpanan maka intermiten energi hanya menjadi beban yang kurang dapat di andalkan apalagi dengan subsidi yang terus di berikan dalam bentuk FIT.
Masalah 2 : Faktor Kapasitas
Permasalahan berikutnya dari intermiten adalah faktor kapasitas (capacity faktor/FK) yaitu rasio dari output yang sebenarnya dibanding potensi output bilamana beroperasi selama 24 jam. Faktor Kapasitas intermiten adalah yang terendah dibanding jenis pembangkitan lainnya. Rata-rata FK Angin 31% dan Surya 23% - 30% bandingkan dengan Panas Bumi 66% dan PLTU batubara 58%, sementara Nuklir adalah yang tertinggi 90% - 95%. Â -- Jadi bila dikatakan bahwa Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Surya (PLTS) 10 MW maka sesungguhnya daya yang di hasilkan hanyalah 20% - 25% jadi tidak lebih dari 2,5 MW. Jadi Kekurangan 75% nya harus di hybrid dengan Genset atau Gas - artinya sama juga meningkatkan emisi gas rumah kaca.Â
Kita tahu bahwa Photovoltaic sangat berpengaruh terhadap panasnya sinar matahari, sehingga sedikit saja awan menutup matahari maka daya yang di hasilkan akan turun dan hal tersebut dapat terjadi beberapa kali dalam sehari - Hal yang sama dengan angin yang tidak dapat meniupkan angin secara konsisten dengan kecepatan yang sama. Hal ini bukan saja menyebabkan Faktor kapasitas yang rendah tetapi juga membuat masalah dalam menyeimbangkan beban dalam grid bila daya turun-naik.
Faktor kapasitas adalah konsideran penting dalam mendesain sebuah perencanaan energi karena bila proporsi sumber pembangkitan lebih benyak dengan faktor kapasitas rendah maka akan mempengaruhi efisiensi, keseimbangan beban dan pada akhirnya harga jual listrik menjadi mahal. – Sebaiknya rerata FK dalam sebuah grid harus di atas 50% untuk menjamin pasokan yang lancar.
Masalah 3 : Luas area
Salah satu permasalahan terbesar dalam pembangunan pembangkit listrik di Indonesia adalah pembahasan lahan seperti di akui oleh Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) dalam salah satu jumpa pers. Banyak pembebasan lahan membutuhkan waktu sampai bertahun-tahun sebagai contoh PLTU Batang 2 X 1000 MW yang membutuhkan lahan seluas 226 hektare atau sekitar 1.130 meter per MW membutuhkan waktu lebih dari 3 tahun untuk membebaskannya atau PLTA Jatigede 2 X 55 MW yang membutuhkan waktu 30 tahun untuk membebaskan 147 hektar yang di butuhkan untuk waduk.
Area yang di butuhkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Angin tentunya lebih luas lagi di banding PLTU batubara. Sebagai perbandingan untuk memberikan listrik kepada 1000 rumah Tenaga Surya membutuhkan lahan terbesar 3,3 hektar, Angin 2,4 hektar, batubara 0,29 hektar dan yang terkecil Nuklir 0,10 hektar. Dari diagaram dibawah dapat di lihat bahwa Surya dan Angin memakai lahan yang luar biasa besar. Bayangkan pembebasan lahanya.