Apa solusinya ?
World Energy Council, sebuah organisasi energi dunia yang sudah berumur lebih dari 90 tahun menyadari bahwa dunia ini adalah satu planet dan sektor energi tidak bisa lagi berdiri sendiri terisolasi dan tidak memperdulian aspek lain seperti : Emisi Carbon – Ketahanan Energi – Biaya Energy dimana ketiganya saling terkait. Prinsip ini disebut “ENERGY TRILEMMA”. Hampir diseluruh dunia berbagai negara, khususnya negara-negara yang tergabung dalam OECD dan G-20 mulai menerapkan prinsip Energi Trilema dalam perencaanaan energinya. Tanpa bercerita panjang dapat saya katakan Kebijakan Energi Nasional bila di kaji dengan prinsip Energi Trilemma jelas melanggar dari aspek Emsisi Karbon dan Ketahanan Energi. Kami tidak akan membahasnya dalam tulisan ini.
Sebagai contoh kasus adalah KODAK. Pada era tahun 80’an siapa yang tidak kenal KODAK dan FUJI. Setiap foto di abadikan dengan Film dan Kertas Foto merek KODAK atau FUJI. KODAK saat itu adalah perusahaan yang jauh lebih tua, bahkan sudah berumur ratusan tahun dan 30 kali lebih besar dari FUJI. KODAK mendefinisikan bisnisnya sebagai perusahaan FILM dan merasa bahwa FILM akan terus di pakai selama 100 tahun lagi sehingga pada tahun 1975 ketika Steve Sasson, dari bagian litbang KODAK membawa sebuah prototipe KAMERA DIGITAL tanpa FILM (gambar bawah), penemuan tersebut tidak di gubris oleh manajemen KODAK dan di anggap tidak akan ada yang membeli.
Sementara perencanaan Kebijakan Energi Nasional berasumsi bahwa dalam 19 tahun tidak ada teknologi energi apapun yang dapat merubah pola pemanfaatan energi primer – tetap Batubara, Gas dan Minyak yang berubah hanya volume saja. Ini adalah sebuah kesalahan besar. Dewan Energi Nasional terjebak dalam paradigma seperti KODAK dan tidak melihat bahwa dalam 5 tahun terakhir ini banyak sekali teknologi energi yang tidak memakai bahan bakar fosil yang dapat di pergunakan sebagai energi primer. -- Salah satunya adalah Nuklir Generasi ke IV.
Teknologi nuklir Generasi ke IV saat ini masih In-the-Pipeline yang rencananya akan mulai bermunculan paska 2019. Teknologi Nuklir generasi Ke IV sangatlah beda dengan Generasi ke III yang saat ini beroperasi. Perbedaan utama antara lain : lebih aman, lebih murah dan modular. Bahkan reaktor Generasi ke IV ini yang juga sering di sebut SMR (Small-Modular-Reactor) di katakan lebih murah dari PLTU batubara. Masalah keselamatan PLTN memang selalu di jadikan alasan untuk menjadikan PLTN sebagai opsi terkahir tetapi kekuatiran keselamatan PLTN yang selama ini di beritakan sesungguhnya bukanlah berdasarkan fakta. Hal ini pernah saya bahas dalam tulisan saya terdahulu “Keselamatan PLTN : antara isu dan fakta”.
Panas Bumi merupakan sumber energi primer yang belum di maksimalkan. Indonesia memikiki sumber daya panas bumi terbesar di Dunia, hampir 40% potensi panas bumi dunia berada di jajaran ring of fire di Indonesia tetapi sayangnya saat ini hanya 4% yang di manfaatkan. Kendalanya selalu masalah perijinan yang lama dan investasi yang mahal. Ada beberapa teknologi Geothermal yang sudah proven seperti Combined Cycle Geothermal (binary cycle) yang jauh lebiih efisien yang belum di pakai di Indonesia atau yang masih dalam pipeline CO2 Plume Geothermal (CPG) yang tidak mempergunakan panas bumi tetapi CO2 dan di klaim 10 kali lebih efisien dan lebih ekonomis dibanding teknologi Geothermal saat ini. Semua teknologi dalam 5 tahun kedepan akan mulai beroperasi tapi sayangnya para pakar di Dewan Energi Nasional dan Kementrian ESDM tidak pernah mempertimbangkan berbagai teknologi yang masih di pipeline ini.
Seharusnya dalam 5 tahun kedepan ini sampai 2019 ESDM mulai melirik berbagai teknologi energi bersih yang masih In-The-Pipeline. Dan paska 2020 sudah mulai dapat mengimplementasikan teknologi tersebut dalam skala kecil. Kemudian paska 2050 seharusnya lebih dari 50% kebutuhan energi nasional sudah dapat di pasok oleh energi tersebut.
Jelas sekali bahwa Kebijakan Energi Nasional tidak mempertimbangkan ketahanan energi bila dalam satu generasi 80% sumber energi primer HABIS dan kemandirian energi, bila setelah 11 tahun lagi Indonesia akan menjadi NET IMPORTIR BATUBARA, Ironis bukan. Kebijakan Energi Nasional tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan, lingkungan dan pemanasan global tetapi lebih di dorong oleh kepentingan para pengusaha industri penambangan -- hal itu jelas sekali.
Dan yang tak kalah penting adalah fakta bahwa Kebijakan Energi Nasional (Perpres No 79 tahun 2014) bertentangan dengan Perpres no 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) -- Saya yakin bila emisi GRK dari bauran energi yang tertuang dalam KEN maka akan melanggar Pepres no 61/2011 -- Jadi Perpres mana yang harus di menangkan ?.