Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Money

Menggugat Kebijakan Energi Nasional

4 Juli 2015   23:47 Diperbarui: 4 Juli 2015   23:47 2981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan data yang di keluarkan oleh perkumpulan ilmuwan yang peduli terhadap pemanasan global, Union of Concerned Scientist, Emisi CO2 yang di keluarkan oleh PLTU per tahun adalah 5800 ton per tahun/MW (sekitar 0,8 - 1,5 kg CO2/kwh).

Sebagai contoh Dalam RPJMN 2014 – 2019 akan di bangun 21,000 MW PLTU batubara dari total 35,000 MW. Maka Total emisi CO2 yang di hasilkan adalah 121 Juta ton CO2 per tahun – Maka dalam 10 tahun mencapai 1,21 Milyar ton padahal yang harus di turunkan pada 2020 adalah minimum 41,8 Juta ton CO2 – ini baru dari emisi batubara belum dari Gas Alam dan Minyak Bumi yang juga menghasilkan GRK.

Semua negara anggota G-20 secara bertahap melakukan penurunan penggunaan PLTU batubara yang paling benyak memberikan kontribusi emisi Gas Rumah Kaca. Presiden Obama bahkan secara tegas menandatangi Kepress (executive order) yang menutup 30% PLTU batuba di Amerika pada tahun 2020. Negara-negara Eropa secara bertahap akan mewajibkan seluruh PLTU yang beroperasi di EU untuk memasang sebuah sistim yang menangkap emisi carbon dan menyimpannya di dalam tanah yang di sebut Carbon Capture Storage (CCS) yang jelas akan membuat harga jual listrik PLTU batubara tidak lagi ekonomis. – Penulis berkesempatan bertanya kepada salah satu direktur PLN tentang CCS dan beliau menjawab bahwa PLN nanti akan juga mewajibkan PLTU memasang CCS paska 2019. Hal ini akan menaikan beban investasi sekitar 30 – 40% dan tentunya harga jual listrik PLTU menjadi naik dan menjadi tidak lagi ekonomis.. juga potensi menambah subsidi listrik.

Bahkan China yang biasanya tidak peduli dengan apa kata negara lain ternyata dalam masalah polusi udara sudah mulai merasakan dampaknya sehingga komitmen China dalam mengurangi emisi GRK juga sangat tegas dan jelas. Dengan memberhentikan pembangunan PLTU batubara dan menggantikannya dengan Hydropower dan Nuklir. Bahkan permintaan batubara China dalam 2 tahun terakhir turun hampir 50%, masalah inilah yang sesungguhnya menurunkan harga batubara menjadi terendah sejak 20 tahun dan membuat hampir 70% perusahaan batubara Indonesia tutup.

Kematian juga dapat di akibatkan oleh emisi  PLTU seperti yang di laporkan oleh Clean Air Task  memperkirakan di Amerika sekitar 7500 – 8000 orang tewas setiap tahun karena penyakit pernafasan akibat partikel debu flyash PLTU - Sayangnya hal ini tidak pernah di teliti di Indonesia.

Belum lagi perihal kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara khususnya di Kalimantan yang jelas sama sekali tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Kalimantan. Seperti yang tulis oleh Greenpeace dalam laporannya "Batubara Mematikan" :

Jejak kerusakan yang ditinggalkan oleh batubara tidak berhenti di saat pembakarannya. Di ujung rantai kepemilikannya, terdapat pertambangan batubara yang ditinggalkan setelah dieksploitasi habis, limbah pembakaran batubara, dan hamparan alam yang rusak tanpa pernah akan bisa kembali seperti sediakala.

Pertambangan yang ditinggalkan pasca dieksploitasi habis, meninggalkan segudang masalah untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Lubang-lubang raksasa, drainase tambang asam, dan erosi tanah hanya sebagian dari masalah. Hamparan alam yang rusak adalah adalah kondisi permanen yang tak akan pernah pulih , sekeras apapun usaha yang dilakukan untuk mengembalikannya.

Lalu, bagaimana dengan komitmen Indonesia terhadap pemanasan global dan penurunan Gas Rumah Kaca yang jelas berdampak secara Global ?? jelas dengan Kebijakan Energi Nasional yang tertuang dalam Perpres No 5 tahun 2006, Indonesia berteriak : “KAMI TIDAK PEDULI !!”.

Tentunya pada 2020 nanti ketika komitmen ini akan di evaluasi Indonesia jelas akan di nyatakan gagal dan pasti akan berdampak secara ekonomi dan pada posisi Indonesia di G-20.

Itulah sebabnya Kebijakan Energi Nasional harus di revisi. Lalu apa solusinya ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun