Mohon tunggu...
Muhardis
Muhardis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Lelaki biasa yang selalu ingin berusaha menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Jajaraji Cari Bawan

12 Juni 2024   12:28 Diperbarui: 12 Juni 2024   14:06 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kita yang penyuka all about bollywood tentu tidak asing dengan lirik lagu "San Sanana" yang menjadi Original Soundtrack (OST) Asoka. Film ini release tahun 2001 lalu, namun OSTnya booming di Tiktok baru-baru ini. Bahkan, berbagai VT transisi makeup ala Asoka juga warawiri.

Lagu San Sanana ini awalnya dinyanyikan oleh Alka Yagnik. Begini penggalan lirik yang sering dijadikan backsound VT transisi makup 2024.

San sanana nana, san sanana nan

Jaa jaa re jaa re jaa re, jaa re pawan

Bila ditransliterasikan ke bahasa Indonesia, kira-kira begini hasilnya

Suara mendesing, suara mendesing

Pergi pergi oh angin

Mohon dikoreksi jika saya keliru dalam mentransliterasikannya karena saya memang bukan penutur asli bahasa India. Saat dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, tampaknya lirik tersebut tidak memiliki makna yang spesial maupun menyentuh, lebih-lebih bagi generasi Z saat ini.

Lantas, mengapa sampai booming setelah 20 tahun sejak film tersebut release?

Ternyata, lirik tersebut menjadi aneh saat dinyanyikan oleh salah seorang penyanyi dangdut kawakan Indonesia. Sebenarnya tidak masalah bila seorang penyanyi salah dalam menyanyikan lirik lagu, terutama lagu tersebut belum familiar maupun bukan berbahasa asli si penyanyi. Menjadi permasalahan adalah ketika si penyanyi juga menjadi dewan "jajes" alias juri di salah satu acara kompetisi menyanyi dangdut. Tentunya seorang jajes dituntut sempurna karena mereka pun menuntut peserta untuk sempurna, termasuk tidak boleh salah lirik.

Seandainya sang diva dangdut mau mengakui kesalahan lirik saat dia menyanyikan lagu San Sanana tersebut, barangkali netizen tidak akan begitu mem-bullynya. Alih-alih sang diva malah menyatakan kalau video yang beredar adalah hasil editan tangan tak bertanggung jawab. Penasaran dengan penjelasan sang diva, netizen yang paham teknologi melakukan upaya memfilter musik dan suara. Hasilnya? Tetap saja kalau yang terdengar adalah "jajaraji cari bakwan" sebagai padanan lirik "Jaa jaa re jaa re jaa re, jaa re pawan".

Baru-baru ini sang diva mengklarifikasi kalau dia memang salah lirik saat menyanyikan lagu tersebut. Apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur..Makin dibullylah sang diva. Efek salah lirik tersebut merembet ke penyanyi lain, masih-sama genre, yakni dangdut. Penyanyinya pun sudah dianggap diva. Lirik nan viral itu adalah "don let mi don let mi don."

Ditinjau dari ilmu bahasa, khususnya sosiolinguistik, yakni ilmu yang mempelajari kaitan bahasa dengan masyarakat penuturnya, fenomena "jajaraji cari bakwan" maupun "let mi don let mi don" diduga sebagai gejala interferensi. Abdul Chaer dan Agustina dalam bukunya Sosiolinguistik (2010) mendefinisikan interferensi sebagai bentuk kesalahan berbahasa sebagai akibat masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah gramatika bahasa yang menyerap.

 

Interferensi biasanya terjadi saat seseorang yang awalnya monolingual (terbiasa menuturkan satu bahasa) berusaha menuturkan bahasa kedua, baik dalam rangka pembelajaran bahasa kedua secara formal, maupun belajar bahasa kedua secara otodidak. Di Indonesia, sebagian besar masyarakatnya sudah bilingual, setidaknya menuturkan dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia.

"Jajaraji cari bakwan" maupun "don let mi don" sepertinya terjadi karena sang diva berusaha menuturkan bahasa ke-tiga, yakni bahasa Asing seperti bahasa Hindi dan bahasa Inggris. Ketidakmampuan menangkap bunyi-bunyi bahasa sasaran serta kekakuan lidah menuturkannya seringkali membuat seorang penutur mengalami slip toungue alias kesilapan bahasa.

Cambridge dictionary mendefinisikan slip toungue sebagai "something that you say by accident when you intended to say something else". Hal ini lebih dekat dengan kasus "jajaraji cari bakwan." Sementara itu, kasus "let mi don" dapat diduga sebagai bentuk interferensi fonologis, yakni melafalkan bunyi bahasa tertentu dengan cara atau kaidah bahasa asal yang biasa dituturkan.

Lirik asli "don let mi don" adalah "don't let me down" yang populer dinyanyikan oleh The Chainsmokers ft. Daya reales 2016 lalu. Kata pengingkaran "don't" dengan kata "down" terdengar serupa tapi tak sama. Kata "don't" seharusnya dilafalkan [dnt] dan kata "down" dilafalkan sebagai [doun]. Jelas bukan perbedaan cara melafalkannya?

Apakah sang diva dangdut salah melafalkannya? Secara kebahasaan, ya, sebab beda bunyi beda makna. Indonesia mengenal istilah homofon, yakni dua kata yang bunyinya sama, tulisannya beda, maknanya juga beda. Contohnya kata [bang] dan [bank]. Nah, kata "don't" dan "down" pada lirik tersebut sudah jelas beda tiga-tiganya, beda tulisan, beda bunyi, beda makna.

Sebaliknya ditinjau dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, hal terpenting dalam komunikasi adalah komunikan memahami pesan yang ingin disampaikan. Lebih-lebih ini lirik lagu, sebagian besar pendengar menikmati musik daripada lirik, sisanya memang meresapi setiap makna lirik yang didendangkan.

Sudahlah kawan, tidak ada manusia yang sempurna. Mari fokus kepada usaha mereka menghibur melalui lagu dibanding selalu mencari kesalahan orang lain untuk dijadikan konten!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun