Lelaki di balkon
Laki-laki itu berdiri di sana setiap subuh dan selepas isya. Baginya, dua waktu itu adalah saat yang pas untuk menikmati kota dari lantai dua.
Saat subuh mulai merona di pipi-pipi langit pagi, ia akan segera memejamkan mata. Dadanya turun naik memompa dan menyedot oksigen bercampur karbon. Ah, entah kesegaran apa yang ia harapkan dari tumpukan sampah di bawah sana.
Satu-dua helai rambut yang jatuh di sisi-sisi rahangnya menari-nari mengikuti arah angin. Rahang itu semakin kokoh semenjak dua hari belakangan.Â
Tak lagi tampak sisa-sisa lemak membandel di sana.Â
Bahkan, ia mulai lupa akan niatnya untuk tarik benang biar rahangnya mengeras, kaku, sekaku rahang milik pria-pria tampan penyuka sejenis yang sering memandanginya dari dalam pusat kebugaran.Â
Ini kota, adalah kota yang tak mau peduli akan cinta. Siapa saja boleh bercinta asal ia suka. Berbeda jenis, sejenis, mengubah jenis, apa pun namanya, semua bisa bercinta asal ia ber-kelamin.
Lelaki di balkon tak peduli dengan semua itu. Baginya, semua orang boleh melakukan apa saja se-mau mereka, toh, pertanggungjawaban pada sang pemilik kehidupan pasti akan dimintai.
Yang ia tau hanya satu, menyambung dan menyabung nyawa. Bertahan atau mundur!
Dan ia pun, memilih untuk tetap berdiri di sana, di balkon, saat subuh menjelang dan saat gelap menyelimuti kota.
Pasar Senen, 29 September 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H