Mohon tunggu...
Muhardis
Muhardis Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Lelaki biasa yang selalu ingin berusaha menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buaya Darat

8 Juni 2023   08:24 Diperbarui: 8 Juni 2023   08:36 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Berselancar di Instagram Februari-Maret merupakan langkah tepat bagi kita yang ingin mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi. Tentunya tidak semua akun menawarkan hal tersebut. Akun yang selalu dipantau dua bulan ini ialah @lpdp-ri, akun resmi LPDP Kementerian Keuangan RI.

Tidak sengaja mata ini terpana pada postingan dengan judul "Valentine bukan budaya kita, tapi integritas". Betapa tidak, akun ini mengawalinya dengan judul yang masih menjadi polemik bagi generasi muda. Ya, terkait perayaan valentine, masih banyak pihak yang melarang hal ini dengan dikait-kaitkan masalah kepercayaan.

Namun kali ini kita tidak akan membahas polemik tersebut karena memang kita tidak punya referensi yang cukup untuk memihak pada setuju atau tidak setuju. Kita cukup membahas apa maksud kalimat tersebut.

Valentine memang bukan budaya kita, tapi integritas. Admin ingin menyatakan bahwa yang menjadi budaya kita ialah integritas. Kata "kita" dalam kalimat tersebut tentunya mengacu kepada awardee, sebutan bagi mereka yang diberi beasiswa oleh LPDP. Eh, maksudnya beasiswa yang diberikan dari uang rakyat melalui LPDP. Ya, uang rakyat Indonesia. Uang kita-kita.

Lantas, mengapa admin sampai menekankan kata integritas sebagai penolak "valentine sebagai suatu budaya"?

KBBI mendefinisikan integritas sebagai kejujuran. Lalu, ada apa dengan kejujuran? Saat swipe ke kiri, postingan berganti dengan gambar berisi penjelasan terkait valentine yang identik dengan bunga, hadiah, cokelat, hingga dinner romantis yang diiringi lagu Dewa 19 "Tak kan ada cinta yang lain".

Gambar pun berlanjut dengan dihadirkannya gambar kepala buaya yang sedang menganga dilengkapi kalimat "ditutup kata-kata manis yang keluar dari mulut sosok yang tampak meyakinkan".

Sampai di sini kita masih belum paham apa yang ingin disasar admin terkait valentine, integritas, gambar buaya, dan kalimat-kalimat penyertanya.

Gambar berikutnya berupa hewan buaya dengan tubuh utuh.  Gambar disertai kalimat "sosok dengan kata-kata semanis madu ini sering kita kenal dengan sebutan Buaya Darat".

Sebentar, apa iya buaya darat didefinisikan seperti itu? KBBI mendefinisikan buaya darat sebagai penjahat; penggemar perempuan. Makna kedua kata itu berjenis makna kiasan. 

Lho, ternyata buaya darat itu perlambang penjahat. Tapi, penjahat yang dimaksud tentunya punya spesialisasi yang berkaitan dengan perempuan, ya, penjahat yang menggemari perempuan.

Terus, admin melanjutkan dengan kalimat "kebiasaan mereka tak lain adalah bertindak lain di mulut lain di hati, mereka bukan pribadi yang dapat dipercayai". Admin menegaskan untuk melihat sosok budaya darat tidak perlu menunggu perayaan valentine. Kadang kala mereka muncul saat menulis essay atau mengucap janji.

Oh, kita semakin paham bahwa memang awardee-lah yang disasar admin berdasarkan diksi essay. Ya, salah satu tahap seleksi calon awardee ialah menulis essay dan interview. 

Di dua tahap seleksi inilah para calon awardee menyampaikan ide mereka, termasuk apa yang akan mereka "abdikan" pada negara sekembalinya mereka dari tugas belajar. Satu hal yang pasti ialah mereka berjanji untuk kembali ke negara guna mengamalkan ilmu yang mereka "tuntut" di luar negeri.

Postingan admin tersebut secara kebahasaan mampu menggeser makna (Chaer, 2010) buaya darat yang selama ini hanya ditujukan kepada gender laki-laki dalam konteks hubungan lawan jenis. 

Bila buaya darat merugikan gender perempuan, buaya darat kekinian merugikan pemerintah, dalam hal ini sebagai wakil rakyat yang menyalurkan uang rakyat demi kemajuan pendidikan.

Lantas, mengapa harus buaya darat? 

Belajar dari buaya darat, secara tidak langsung ada yang perlu ditingkatkan oleh LPDP RI selaku pemberi beasiswa. Mereka setidaknya perlu mengembangkan instrumen sikap yang mampu mendeteksi awal calon awardee yang terindikasi "buaya darat". 

Bila perlu, mereka dapat  melibatkan ahli psikolinguistik (perpaduan ilmu psikologi dan ilmu linguistik/kebahasaan) yang terbiasa melihat penggunaan bahasa dikaitkan dengan kejiwaan. Tentunya ahli ini berkontribusi membantu ahli kejiwaan yang memang sudah dihadirkan pada sesi wawancara.

Ingat, berdua lebih baik kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun