Terus, admin melanjutkan dengan kalimat "kebiasaan mereka tak lain adalah bertindak lain di mulut lain di hati, mereka bukan pribadi yang dapat dipercayai". Admin menegaskan untuk melihat sosok budaya darat tidak perlu menunggu perayaan valentine. Kadang kala mereka muncul saat menulis essay atau mengucap janji.
Oh, kita semakin paham bahwa memang awardee-lah yang disasar admin berdasarkan diksi essay. Ya, salah satu tahap seleksi calon awardee ialah menulis essay dan interview.Â
Di dua tahap seleksi inilah para calon awardee menyampaikan ide mereka, termasuk apa yang akan mereka "abdikan" pada negara sekembalinya mereka dari tugas belajar. Satu hal yang pasti ialah mereka berjanji untuk kembali ke negara guna mengamalkan ilmu yang mereka "tuntut" di luar negeri.
Postingan admin tersebut secara kebahasaan mampu menggeser makna (Chaer, 2010) buaya darat yang selama ini hanya ditujukan kepada gender laki-laki dalam konteks hubungan lawan jenis.Â
Bila buaya darat merugikan gender perempuan, buaya darat kekinian merugikan pemerintah, dalam hal ini sebagai wakil rakyat yang menyalurkan uang rakyat demi kemajuan pendidikan.
Lantas, mengapa harus buaya darat?Â
Belajar dari buaya darat, secara tidak langsung ada yang perlu ditingkatkan oleh LPDP RI selaku pemberi beasiswa. Mereka setidaknya perlu mengembangkan instrumen sikap yang mampu mendeteksi awal calon awardee yang terindikasi "buaya darat".Â
Bila perlu, mereka dapat  melibatkan ahli psikolinguistik (perpaduan ilmu psikologi dan ilmu linguistik/kebahasaan) yang terbiasa melihat penggunaan bahasa dikaitkan dengan kejiwaan. Tentunya ahli ini berkontribusi membantu ahli kejiwaan yang memang sudah dihadirkan pada sesi wawancara.
Ingat, berdua lebih baik kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H