Beberapa waktu lalu, penulis mendapatkan pesan whatsapp dari salah seorang teman guru bahwa dia dan beberapa temannya di sekolah bingung melakukan penilaian kemampuan peserta didik terhadap materi yang telah dibelajarkan.Â
Dulu, lanjutnya, mereka dapat memutuskan bahwa peserta didik A sudah "tuntas" dalam menguasai materi "B" karena nilai mereka melampaui batas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ter-standar.Â
Namun di kurikulum merdeka ini, mereka merasa "gamang" mengambil keputusan karena sudah terbiasa di-standarkan selama ini.
Padahal, peniadaan KKM merupakan satu di antara perubahan yang disasar oleh penerapan kurikulum merdeka ini. Namanya merdeka, guru diberikan keluwesan dalam memberikan penilaian, alias merdeka menilai.Â
Selama ini, guru terkungkung dengan kriteria yang terstandar. Mereka setengah hati menilai karena sesungguhnya belum memahami betul dari mana angka batas minimum itu didapatkan.
Oleh karena itu, kurikulum merdeka hadir sebagai upaya pengembalian "marwah" membelajarkan dan menilai ke tangan para guru. Guru yang membelajarkan, guru pulalah yang berhak memberikan penilaian.Â
Mereka yang memahami tujuan pembelajaran, mereka juga yang mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran tersebut.
Standar proses dan standar penilaian
Lantas, dengan hadirnya kurikulum merdeka, apakah guru benar-benar merdeka dalam membelajarkan dan menilai? Barangkali hal inilah yang perlu didiskusikan lebih lanjut.Â
Baru-baru ini (2022), Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Â Kemendikbudristek, mengeluarkan Panduan Pembelajaran dan Asesmen (PPA).Â