Mohon tunggu...
Nazar EL Mahfudzi
Nazar EL Mahfudzi Mohon Tunggu... Politisi - Pengamat

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Islamofobia, Paradok Perlawanan Terorisme Global

5 April 2021   16:53 Diperbarui: 5 April 2021   18:15 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

menyatakan bahwa itu juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap Muslim dengan mengecualikan mereka dari ekonomi, sosial dan kehidupan publik bangsa. Islamofobia adalah fenomena yang cukup mendapatkan momentumnya setelah 11 September. Namun, Islamofobia telah menyebabkan banyak orang mengingat kembali anti-Semitisme di Belanda dan Eropa Barat selama periode sebelum Perang Dunia II. Dapat dikatakan bahwa definisi anti-Semitisme memegang konsep inti yang sama dengan Islamofobia saat ini.

Namun, anti-Semitisme dan Islamofobia cocok dengan kerangka acuan historis dan politik yang berbeda. Anti-Semitisme berkonotasi dengan kekejaman Holocaust dan pembentukan Israel. Di sisi lain, Islamofobia menyiratkan tindakan teroris dan rezim totaliter yang represif di Timur Tengah; Muslim dipandang sebagai pelakunya. Harry de Winter, pendiri "A Different Jewish Voice", berpendapat bahwa keduanya sama sekali sama. 

"Jika Wilders mengatakan tentang Yahudi (dan Perjanjian Lama) apa yang dia katakan sekarang tentang Muslim (dan Alquran), dia akan dituduh dan dihukum karena anti-Semitisme sejak lama,"

Unsur paling penting dari anti-Semitisme di periode pra-Perang Dunia II adalah kenyataan bahwa dalam semua dialog, prasangka dan stereotip yang terkait dengan orang Yahudi mempromosikan gagasan orang Yahudi sebagai satu orang, satu kelompok homogen, terlepas dari tingkat afiliasi keagamaan atau koneksi tradisional.

Ada pelajaran yang bisa dipetik dari anti-Semitisme. Sejarah kelam anti-Semitisme dengan tepat telah membentuk budaya dan etika penegasan di mana seseorang diminta untuk membedakan antara tindakan individu dan identitas kolektif Yahudi. Kebijakan Negara Israel, misalnya, tidak dapat dan tidak boleh dikaitkan dengan individu dan komunitas Yahudi di seluruh dunia.

>Penulis:

Research Asistant Professor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sosial Politik dan Hubungan Internasional

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun