Tambahan dari Imam Asy-Syaukani yang juga berpendapat bahwa seorang perempuan tidak berhak menduduki kepemimpinan dan tidak boleh bagi masyarakat untuk mengangkatnya, karena mereka harus menghindarkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan mereka tidak beruntung. Beliau berpijak dengan dalil sebuah hadist dari Abu Bakrah ra, dia berkata,
لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
"Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendengar bahwa penduduk Persia mengangkat puteri Kisra sebagai rajanya, beliau bersabda: "Tidak adakan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita." (HR. Bukhari No. 4425). (Imam Asy-Syaukani, Kitab Nailul Authar: jilid 8 hal 305).
Khilafiyah kepemimpinan ini di tuliskan juga di dalam kitab Fatawa Al-Azhar di jelaskan wanita tidak boleh jadi pemimpin, tetapi hanya Imam Abu Hanifah saja yang membolehkannya. Dalam kitab tersebut di simpulkan bahwa perempuan menjadi pemimpin ada tiga pendapat: pertama, menurut jumhur ulama dan berdasarkan pendapat Imam mazhab yang tiga (Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi'i), Kedua. Berdasarkan Syekh Ibnu Narir At-thabari boleh dengan mutlaq pada semua perkara. Ketiga, berdasarkan pendapat Abu Hanifah boleh pada penyaksiannya saja diselain hukum narapidana atau jinayat. ( Kitab Fatawa Al-Azhar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H