Mohon tunggu...
Bagas Mulyanto
Bagas Mulyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Book Author and Book Translator

I am a graduate of Islamic Law with a focus on the study of State Law and Islamic political studies, I am also a writer of literary books with the theme of social reaslis and a book translator. I am very motivated to develop skills professionally. I am confident in my ability to generate compelling ideas for memorable marketing campaign strategies and tactics.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fiqih PILKADA (Qoul Kuat Larangan Perempuan Menjadi Pemimpin Publik)

27 Agustus 2020   11:34 Diperbarui: 27 Agustus 2020   11:36 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poto (Sumber NU Online)

Salah satu diskusi ilmiah yang masih sangat keren untuk selalu dibicarakan dewasa ini tentang "bolehkah memilih pemimpin publik seorang wanita?"Memang fenomena ini menjadi bola panas terlebih mendekati setiap pemilihan pemimpin baik pilkada maupun pilpres. Sebenarnya khilafiyyah ini masih belum jelas arah tujunya sebab kesemua pendapat memiliki dalil yang sama kuatnya. Tetapi kita harus sadari bahwa ulama-ulama sekaliber empat madzhab pun bersepakat bahwa perempuan memang tidak boleh menjadi pemimpin publik.

Dapat kita temukan di beberap refrensi antara lain sebuah kajian dalam persoalan ini surat An-Nisa' ayat 34, berbunyi:

‎ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisaa': 34)

Dalam pandangan Syekh Imam Al-Qurthubi. Penafsiran dalam teks, "kamu laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita." dimaksudkan adalah mereka mengeluarkan nafkahnya untuk mereka dan membelanya. Juga dipahami, bahwa dari merekalah (kaum laki-laki) yang menjadi para pemimpin dan berperang, bukan pada wanita." (Kitab Tafsir Qurthubi: V: 168).

Poto (Sumber NU Online)
Poto (Sumber NU Online)
Sedangkan menurut Tafsir Ibnu Kasir, beliau berpendapat dalam ayat diatas bahwa seorang laki-laki pemimpin bagi wanita. Dialah kepalanya, pemimpinnya dan pemberi keputusan serta mendidiknya jika bengkok. Ibnu Kasir juga menambahkan oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita). 

Beliau juga menyebutkan laki-laki lebih mulia dan lebih baik dari wanita. Memang terlalu bias gender tetapi fakta sekarah kata Ibnu Kasir, bahwa buktinya Allah telah menurunkan kenabian dikhususkan bagi laki-laki. Demikian pula kepemimpinan tertinggi, Ibnu Kasir menguatkan argumennua dengan sabda Rasulullah Saw berbunyi:

‎لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأةً

Tidak akan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita." (HR. Bukhari). Termasuk begitu juga halnya dalam persoalan jabatan hakim. (Tafsir Ibnu Katsir, I: 492)


Sedangkan dalam asumsi KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang penulis temukan dalam beberapa tulisannya, beliau dalam pandangannya bahwa ayat tersebut sebenarnya memiliki dua macam arti. Pertama, lelaki bertaggung jawab secara fisik atas keselamatan wanita. Kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Dan Gus Dur menambahkan, ternyata para pemimpin politik Islam lebih memilih pendapat yang kedua. Terbukti jumhur ulama banyaj menuliskan kitab-kitab yang menguatkan oendapat yang kedua.

Sementara itu dalam pandangan Imam Al-Mawardi dalam kitab Ahkamu Sulthonniyyah menyebutkan tidak dibolehkan bagi seorang wanita untuk menduduki jabatan publik, berdasarkan hadis yang di tulis di atas. Beliau menuliskan pula alasnya, karena di dalamnya akan dituntut sebuah pendapat dan kekuatan tekad yang dalam hal ini kaum perempuan lemah, di samping hal ini akan membuatnya harus tampil untuk langsung mengatasi sebuah masalah yang boleh jadi merupakan perkara terlarang." (Al-Ahkam As-Sulthaniah, hal. 46)

Pernyataan ini juga dijelaskan oleh Imam Al Baghawiy dalam satu persfektif, kata beliau sebagaimana di sebutkan dalam karyanya: "Para ulama sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim. Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah). 

Wanita itu lembut, tidak begitu kuat menghadapi dan menyelesaikan setiap urusan karena mereka lebih menggunakan perasaan sehingga akal menjadi hal yang dikeaampingkan. Lalu juga soal kepemimpinan dan soal memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab yang begitu urgent dan berat. Oleh karenanya  laki-laki-lah yang pantas menyelesaikannya. (Al-Imam Al-Bughawy, Kitab Syarhus Sunnah, 10 halaman 77)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun