Yogyakarta adalah kota dengan penduduk majemuk dan multikultural. Kemampuan mengelola keberagaman suku dan budaya warga menjadi modal penting bagi pemerintahan ini dalam menjaga keberlanjutan program-program pembangunan. Meskipun demikian, terpaan disrupsi industri 4.0 sedikit banyak membawa potensi ancaman pergeseran nilai-nilai budaya adiluhung yang selama ini menjadi faktor penting pembentuk modal sosial masyarakat.
Sejalan dengan kekhawatiran tersebut, Pemerintah Kota Yogyakarta menggagas berbagai program inovasi pembangunan. Program-program ini tidak hanya diarahkan untuk memuncukan inovasi baru dibidang inpra struktur sosial dan ekonomi, tetapi juga membentuk dan menguatkan paradigma warga. Pendekatan paradigmatik ini dapat mendorong terbentuknya perilaku warga Kota Yogyakarta yang lebih baik.
Sejak Tahun 2018, Pemerintah Kota Yogyakarta telah melahirkan berbagai Inovasi paradigmatik. Diawali dengan inovasi Gandeng Gendong (2018), inovasi Nglarisi (2019), dan Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso (2020). Peluncuran inovasi ditandai dengan pilot project penyusunan masterplan Gandeng Gendong di tiga kelurahan. Pada Tahun 2021 penyusunan masterplan Gandeng Gendong di empat puluh dua kelurahan dan implementasi masterplan Gandeng Gendong bagi tiga kelurahan pilot project (2020), dan pada Tahun 2022 direncanakan implementasi masterplan Gandeng Gendong di seluruh kelurahan.
Gandeng Gendong adalah inovasi program pemberdayaan warga untuk mendorong semua elemen masyarakat agar saling bergandengan tangan dengan niat saling membantu agar semua pihak dapat maju bersama.Â
Pencanangannya didasarkan pada Peraturan Walikota No.23 Tahun 2018 Tentang Program Gandeng Gendong Kota Yogyakarta. Ini menjadi semacam Inovasi Induk, yang kemudian dikembangkan setiap tahunnya menjadi inovasi-inovasi baru yang masih senada, antara lain Temoto, Temonjo, Kroso di Tahun 2020. Pengembangan inovasi ini terletak pada kedalaman, keluasan, dan kejelasan peran stakeholder.
Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso ini juga dimaksudkan untuk mengubah paradigma dan membangkitkan semangat kolaboratif buttom-up dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan secara berkelanjutan dan berbasis wilayah. Inovasi ini menempatkan masyarakat sebagai sasaran utama, dan kesejahteraan serta penataan wilayah sebagai sasaran berikutnya.Â
Temoto berarti tertata, yaitu penyusunan perencanaan pembangunan wilayah yang ditata sedemikian rupa, apa yang akan dibangun, kapan dimulai dan berakhir, tahapannya bagaimana, anggarannya, cara pencapaiannya, dan seperti apa penataan wilayahnya, sehingga menjadi kawasan yang memiliki branding atau citra unik dan berkarakter.Â
Temoto juga berarti menata peran serta seluruh stakeholder agar dapat berpartisipasi, saling bergandengan menjadi suatu kekuatan yang fokus mewujudkan satu cita-cita. Adapun Temonjo berarti membuahkan hasil, termasuk jika dilihat dari sisi pengalokasian anggaran dan penggunaan dana. Jadi pelaksanaan perencaan kegiatan yang disusun tidak hanya selesai pada output, tetapi membuahkan hasil yang bisa dimanfaatkan tepat sasaran dan dalam jangka waktu lama. Dengan demikian hasilnya akan Kroso, karena bisa dirasakan dan berkelanjutan.
Tujuan Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso yang bersifat tangible adalah untuk mewujudkan pembangunan kota dengan perencanaan yang terarah, dan perencanaan pembangunan wilayah yang terintegrasi serta fokus pada basis potensi dan karakteristik wilayah.Â
Melalui tujuan ini diharapkan terjadi percepatan pewujudan hasil pembangunan dengan partisipasi seluruh stakeholder. Sedangkan tujuan yang bersifat non tangible adalah terbentuknya perubahan perilaku warga yang lebih peduli, sensitif dan aktif berbartisipasi melalui pembentukan paradigma baru dalam melihat potensi pembangunan dan keterlibatan mereka pada proses-proses perencanaan serta pelaksanaannya.Â
Misi kolaborsi dalam inovasi ini dijalankan dengan melibatkan 5 komponen (5K) yang saling bersinergi, yaitu Kampung, Kampus, Komunitas, Korporasi, dan Pemerintah Kota Yogyakarta. Pelibatan kolaboratifnya tidak hanya sampai di tingkat kota, tetapi lebih membumi langsung berinteraksi dengan warga masyarakat di tingkat kelurahan bahkan kampung. Isue keterlibatannya juga meluas ke seluruh sektor, tidak hanya sektor usaha, tetapi masuk ke sektor pariwisata dan pendukungnya, serta sektor lain yang strategis di wilayah.