Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sawit dan Ketergantungan Sosial, Berkaca dari Asahan

7 April 2021   14:08 Diperbarui: 7 April 2021   14:20 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.kompas.com

Pertengahan tahun 2019, IndexMundi, sebuah portal pengumpul fakta dan statistik dari berbagai sumber mencatat Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, yaitu 43 juta ton/tahun, mengalahkan Malaysia 20,7 juta ton/tahun, dan Thailand 3 juta ton/tahun (www.wartaekonomi.co.id). Selama ini Pemerintah memang menempatkan kelapa sawit kedalam komoditi penting sebagai sumber penerimaan devisa negara.

Permintaan dunia terhadap produk minyak kelapa sawit terus meningkat akibat bergesernya orientasi konsumsi minyak nabati dunia dari kedelei hasil produksi negara maju (Eropa) menjadi konsumsi minyak sawit yang diproduksi negara berkembang seperti Indonesia (Abdina dkk, 2018). Pergeseran ini memotivasi pemerintah untuk terus mengeluarkan kebijakan yang mendukung perluasan area perkebunan kelapa sawit nasional, dan pada sisi lain mendorong tumbuhnya perkebunan sawit rakyat.

Selain menjadi sumber pendapatan negara, pertumbuhan perkebunan sawit nasional setidaknya menjadi solusi bagi penyerapan tenaga kerja, meskipun sejumlah persoalan muncul menyertainya, dari mulai permasalahan terkait aspek legalitas, lingkungan hidup, sampai konflik sosial dan ekonomi masyarakat (Prasetyo, 2020). Dari itu semua, sustainability pengelolaan perkebunan sawit mensyaratkan adanya solusi yang akomodatif terhadap kebutuhan penertiban aspek legalitas, kelestarian lingkungan hidup dan stabilitas sosial ekonomi.

Sejarah persawitan di Indonesia memang sudah cukup tua, bahkan lebih tua dari usia kemerdekaan republik ini. Bermula dari empat biji kelapa sawit asal Afrika yang dibawa Belanda dan ditanam pada area Kebun Raya Bogor tahun 1848, rupanya tanaman ini menunjukkan kecocokan dengan jenis tanah dan cuaca Indonesia, sehingga bisa tumbuh dan berkembang subur. 

Setelah melalui uji coba persebaran di berbagi wilayah, pada tahun 1910 kelapa sawit mulai dibudidayakan secara komersial di Sumatera (Supriyono, 2019). Pemerintah koolonoal Belanda membuka kawasan perkebunan baru di Pantai Timur Sumatera (Sumatera Utara dan Aceh), melalui pintu Deli dan berlanjut ke Asahan (Stoler, 2005). Sejak itu, perkebunan kelapa sawit menjadi bagian dari sejarah sosial dan politik di Sumatera Utara, keberadaanya bahkan ikut mewarnai struktur masyarakat serta memiliki relasi politik yang kuat mengakar dalam tubuh elit politik di dearah.   

Asahan adalah salah satu sentra perkebunan sawit di Sumatera Utara, terdiri dari sawit negara, swasta, maupun sawit rakyat yang bahkan sudah menyebar di seluruh kecamatan. Perkebunan yang dikelola oleh swasta dan BUMN (PTPN) luasnya mencapai 96.818,19 ha untuk kelapa sawit, dan 18.761,88 ha untuk perkebunan karet, dengan kapasitas produksi kelapa sawit 2.449.288,70 ton dan karet 20.350,27 ton (RPIJM Asahan 2018-2022).

Sejak tahun 1990-an kemunculan kebun-kebun sawit rakyat di Asahan terasa mulai menggeliat. Perkembangan usaha perkebunan sawit rakyat di Asahan ini didukung oleh banyaknya tempat pengolahan kelapa sawit/CPO yang didirikan perusahaan meskipun mereka tidak memiliki perkebunan. Oleh karena itu sawit yang dihasilkan perusahaan swasta dan BUMN maupun sawit rakyat merupakan produk pertanian (perkebunan) yang dominan dan menjadi primadona di Asahan, bahkan dari aspek luas lahan dan kapasitas produksi mengalahkan karet (BPS Asahan, 2021).

Manfaat ekonomi sawit dirasakan sebagian masyarakat seiring terjadinya fenomena pencurian tandan buah segar (TBS) kelapa sawit oleh Ninja. Ninja adalah sebutan masyarakat lokal terhadap pencuri tandan buah segar milik perkebunan sawit, kependekan dari ninthing janjangan (menenteng TBS).  Diduga aksi "penjarahan" ini awalnya terinspirasi kerusuhan di Jakarta saat terjadi euforia reformasi 1998. 

Dalam waktu yang sangat panjang masyarakat memang ditengarai merasakan kesenjangan akses ekonomi dengan pendatang (karyawan perkebunan) dan pihak manajemen perkebunan besar (Abdina dkk, 2018). Fenomena Ninja Sawit ini kemudian ditangkap sebagai peluang baru bagi pihak tertentu yang memiliki kemampuan kapital dan politik sehingga membentuk rantai kejahatan pencurian yang lebih sistematis.

Merujuk pada data laporan Bareskrim Polri No. TBL/937/XII/2017 Bareskrim, tertanggal 08 Desember 2017, kejahatan pencurian TBS yang dilakukan oleh Ninja ini tidak sesederhana yang terlihat. Laporan Bareskrim ini mengungkap bahwa pencurian ini ternayata sifatnya masif dan terorganisir. Peran Ninja Sawit yang notabene adalah masyarakat biasa hanya sekitar 10% s.d. 15% saja, selebihnya ada mafia sawit yang bermain, beroperasi di kebun-kebun PTPN, menampung dari pencuri-pencuri sawit tersebut, hingga 85% s.d. 90%. 

Jika diuraikan lebih lanjut, unsur mafia sawit ini terdiri dari penampung, Organisasi Kepemudaan (OKP), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); RAMP; PKS tanpa kebun; aktor intelektual; pemodal; bandar narkoba; oknum-oknum karyawan nakal; dan beking (Junaedi, 2020).

Aksi mafia sawit di lapangan mulai terhambat dengan strategi kanalisasi batas terluar perkebunan yang berhasil memotong jalur transportasi dan mobilitas para Ninja Sawit, dan akhirnya memaksa mereka berhenti atau setidaknya mengurangi aktivitas pencurian TBS. Meskipun demikian, para mafia sawit ini diduga terus mengakumulasi kapital ekonominya dengan membuka area perkebunan rakyat dan membangun pabrik-pabrik pengloahan CPO.

Perkebunan sawit rakyat di Asahan memang berkembang pesat dalam periode yang hampir sama dengan fenomena Ninja Sawit. Bahkan ketika itu masyarakat beramai-ramai melakukan alih lahan pertanian mereka dari komoditas coklat menjadi sawit (Hanum dan Krisna Murthi, 2018). Sampai saat ini luasan lahan perkebunan sawit rakyat di Asahan telah mencapai 75.368,19 Ha dengan kapasitas produksi 1.611.748,50 ton/tahun. 

Merujuk data laporan Bareskrim Polri No. TBL/937/XII/2017 di atas, patut diduga sebagian diantara perkebunan sawit rakyat tersebut tidak bisa dilepaskan sama sakali dari persinggungan akumulasi modal ekonomi bersumber dari praktik mafia sawit yang terjadi. Pada saat yang sama, pengalihfungsian lahan pertanian tersebut juga menunjukkan bahwa sawit sudah sangat diterima bahkan menjadi tempat masyarakat menggantukan ekonominya.

Selain itu, ada juga aktor Ninja Sawit yang melakukan konversi modal ekonomi yang dimilikinya menjadi modal politik, antara lain dengan mengikuti kontestasi pemilihan anggota legislatif, dll. Informasi seperti ini setidaknya sudah menjadi rahasia umum, saking terbuka dan gamblangnya praktik pencurian TBS oleh Ninja Sawit dalam periode tersebut, sehingga siapa saja terduga pelakunya bisa diketahui dengan mudah. 

Akibat dari proses akumulasi modal politik ini, bisnis sawit di Asahan pada akhirnya masuk menjadi bagian dari dinamika dan memberikan pengaruh pada aspek sosial, politik dan kebijakan. Tidak hanya soal perijinan, tetapi juga kebijakan pembangunan infra struktur dan rekomendasi perpangangan serta rencana realokasi HGU yang akan berakhir.

Besarnya kontribusi kelapa sawit terhadap pemasukan daerah dan dampaknya yang sigifikan terhadap sosial ekonomi masyarakat di Asahan (Abdina dkk, 2018) tentu saja memberi pengaruh terhadap proses sustainability industri perkebunan kelapa sawit. Besaran kontribusi tersebut dapat dilihat dalam data Prooduk Domestik Regional Bruto (PDRB)  Kabupaten Asahan yang menunjukkan bahwa kelapa sawit menjadi penopang utama struktur ekonomi di Asahan yang didukung oleh produk manufaktur yang juga merupakan penyangga sawit seperti pabrik-barik minyak sawit, dll (BPS Asahan 2021).

Berdasarkan uraian di atas, disadari atau tidak, dominasi sawit di Asahan pada akhirnya menciptakan ketergantungan ekonomi dan sosial yang tinggi bagi masyarakat dan pemerintah daerahnya. Dalam kondisi seperti ini program sustainability industri perkebunan kelapa sawit bisa jadi akan mengalami kendala tersendiri. 

Penataan aspek legal dan lingkungan misalnya, sangat mungkin akan menghadapi hambatan dari masyarakat yang selama ini sudah merasa nyaman mengelola perkebunan sawit dengan mengabaikan prinsip-prinsip legalitas dan kelestarian lingkungan hidup (www.daerah.simdo.com) . Di sisi lain, kuatnya relasi politik pebisnis sawit dengan pemerintah daerah, akan menjadi jalan yang memudahkan pemberian rekomendasi perpanjangan HGU dan tidak optimalnya proses-proses fasilitasi penyelesaian konflik sosial antara masyarakat dengan para pemilik perkebunan sawit, dan ini akan selalu menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah diselesaikan.

*) edisi revisi dari tulisan asli Budhi Masthuri berjudul: Sawit dan Ketergantungan Ekonomi Sosial Masyarakat di Kabupaten Asahan

 DAFTAR PUSTAKA

 Abdina, Fadhly, Sarim Sembiring dan Harso Kardinata (2018), Analisis Dampak Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Asahan, Makalah Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Perkebunan dalam Menghadapi Persaingan Global, Universitas Medan Area, 04-05 April 2018

BPS (2021), Kabupaten Asahan Dalam Angka, Asahan:Badan Pusat Statistik

Hanum, Siti Syrifah dan Bayu Krisna Murthi (2018), Faktor-Faktor yang Memengaruhi Alih Fungsi Lahan Kakao Menjadi Kelapa Sawit di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Artikel, tidak dipublikasikan, Bogor:IPB

Junaedi (2020), Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) di Bidang Pengamanan Aset Untuk Meminimalisir Pencurian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di PT.Perkebunan Nusantara IV, Tesis Prodi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2020.

Panjaitan, Ismanto (2020), Perkebunan Swasta Kelapa Sawit di Asahan Kelola Lahan tanpa HGU, Selasa 23 Juni 2020, diakses 04/04/2021, Pukul 17.07 WIB.

Prasetyo, Eko (2020), Semangat Baru Legalitas Lahan Sawit, Kolom portal DetikDotCom, 22 Juli 2020, diakses 04/04/2021 Pukul 10.14. WIB

Stoler, Ann (2005), Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatra 1870-1979, Yogyakarta: KARSA

Supriyono, Joko (2019), Sejarah Kelapa Sawit Indonesia, diakses 04/04/2021, Pukul 01/38

__________, 10 Negara Penghasil Sawit Terbesar di Dunia, Indonesia Juaranya? Selasa, 09 Juli 2019, diakses 03/04/2021, pukul 23.48 WIB

_________, Dokumen Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten Asahan, 2018-2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun