Jika dilihat dari komposisi realisasi penggunaan dana desa sampai dengan Desember 2020, hanya 11,85% yang direalisasikan bagi pembangunan infrastruktur, dan 21,40% Â direalisasikan untuk pembangunan non infrastruktur dalam bentuk Padat Karya Tunai Desa (PKTD) antara lain yaitu program-program pendayagunaan sumber daya alam, teknologi tepat guna, inovasi dan sumber daya manusia desa (www.setkab.go.id). Relatif rendahnya daya serap desa terhadap alokasi dana desa memberikan indikasi bahwa terdapat persoalan yang mempengaruhi trabferabilitas inovasi kebijakan ini.
***
Indra Fahlevi, peneliti dari Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI mencatat sejumlah persoalan berdasarkan pemantauan  pemantauan  baik  di lapangan  maupun  pemberitaan  di  media termasuk  dalam  forum  Rapat  Kerja  Komisi II DPR. Menurutnya, permasalahan mendasar dan memberi kontribusi bagi tersendatnya proses transferability inovasi kebijakan dana desa ini adalah pedoman verifikasi dan penyaluran yang  cenderung rumit dan lama, menyebabkan Desa mengalami kesulitan untuk memahami implementasinya.
Ekses dari masalah ini adalah dana desa yang diharapkan dapat segera tersalur  ke  desa-desa  jadi berlama-lama  "parkir"  di  pemerintah  kabupaten. Pada sisi lain, Pemerintah  Kabupaten/Kota yang gamang, belum  berani  melakukan penyaluran langsung ke desa-desa, karena mersa aturan tidak jelas.Â
Akibat kegamangan ini, Pemerintah Kabupaten  Deli Serdang, Sumatera Utara  bahkan harus bertanya langsung kepada  Kemenkeu, dan tidak memperoleh jawaban pasti kecuali himbauan agar  berhati-hati.Â
Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelum dan sesudahnya memang tidak sedikit aparat desa berurusan dengan hukum karena pengelolaan dana desa yang keliru, tidak akuntabel dan koruptif. Salahsatu contohnya di Tasikmalaya (www.pikiranrakyat.com) dan demikian juga di Aceh (www.republika.co.id). Â Â
Di tengah terganggunya proses tranferabilitas inovasi kebijakan Dana Desa akibat dari kerumitan proses verifikasi dan prosedurnya, ada juga, bahkan tidak sedikit desa-desa yang berhasil mengembangkan inovasi melalui pembiayaan yang bersumber dari dana desa ini.Â
Sebutlah misalnya Desa Pujon Kidul, dengan luas 330 hektar (ha) ini melalui BumDES yang dibiayai dari Dana Desa telah berhasil mengubah desa menjadi destinasi wisata  alternatif yang menawarkan ragam eksotisme objek/kegiatan wisata seperti memerah susu sapi, berkuda, kolam renang anak-anak, kafe sawah, hingga membeli panen hasil pertanian.Â
Tak hanya itu, desa wisata ini juga memiliki banyak spot selfie menarik dan setiap hari sedikitnya rata-rata dikunjungi 3.000 sampai 5.000 pengunjung wisatawan, dan dari inovasi ini PAD Desa bertmbah pula (www.kompas.com). Selain Pujon Kidul, kisah-kisah inovasi desa yang sukses lainnya dari pemanfaatan dana desa juga tersebar di berbagai daerah, dan dianggap berhasil mensejahterakan rakyatnya (www.dosenekonomi.com).
***
Pujon Kidul adalah seklumit cerita sukses masyarakat dalam mengelola dana desa, selebihnya tidak sedikit dari mereka gagal menyerapnya. Tersendatnya realisasi dana desa menyebabkan sisa dana desa diakhir tahun 2020 masih signifikan jumlahnya, untungya Kementerian Desa PDTT tidak kehabisan akal dngan melakukan realokasi dana desa sebesar Rp. 23,934 Triliun digunakan untuk BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Padat Karya Tunai Desa (PKTD) bulan Desember. Lebih lanjut, aik BLT maupun PKTD ini dimaksudkan sebagai bagian respons atas pandemi COVID-19 yaitu  Padat Karya Tunai Desa (PKTD), Desa Tanggap COVID-19, dan BLT Dana Desa (www.setkab.go.id).