Sampah akan menjadi ancaman yang sangat serius apabila tidak dikelola secara baik dan tepat guna. Setiap hari, jam bahkan menit sampah terus diproduksi, dari yang organik, non organik pada sektor rumah tangga, pasar dan perhotelan, sampai sampah kimia dan limbah medis oleh rumah sakit. Karena itu setiap daerah harus memiliki strategi dan kebijakan pengelolaan sampah, tanpa terkecuali Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemerintah DIY).
Pada tahun 1994, Pemerintah DIY mulai menempatkan pengelolaan sampah sebagai hal yang lebih serius. Ini bisa dilihat dari dikeluarkannya kebijakan inovasi dalam pengelolaan sampah di Kartamantul (Yogyakarta, Sleman dan Bantul), dengan konsep yang lebih canggih dan terpadu. Penemuan inovasi ini dirancang para policy interpreuner di Pemerintah DIY bekerjasama dengan Badan Kerjasama Internasional Jepang, JICA. Konsep dan bentuk inovasinya berupa Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, dan mulai beroperasi Tahun 1996.
Fasilitas pengelolaan sampah ini menjadi salah satu inovasi penting ketika itu, awalnya dikelola langsung oleh Pemerintah DIY, sempat dialihan ke Sekretariat Bersama Kartamantul, sebelum akhirnya pada Tanggal 1 Januari 2015 kembali dikelola Pemda DIY melalui Balai Pengelolaan Sampah, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (www.dlhk.jogjaprov.go.id).
Sebagai kebijakan inovasi, perjalanan TPST Piyungan ternyata tidak mulus. Dari hasil kajian Kantor Perwakilan Ombudsman RI Daerah Istmewa Yogyakarta (Ombudsman RI DIY) diketahui misalnya, bahwa politik anggaran di pemerintahan daaerah ternyata tidak cukup mendukung, sarana-prasarana yang tidak cukup memadai bahkan sebagian diantaranya sudah rusak berat, budaya masyarakat yang belum cukup mendukung strategi pengelolaan sampah, sampai dengan penolakan warga sekitar lokasi. Itu semua menyebabkan inovasi pengelolaan sampah ini mengalami masalah yang sangat serius.
Konsep inovasi yang awalnya dirancang sebagai fasilitasi pengelolaan sampah, kini telah menjadi tempat penumpukan sampah. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memilah dan mengelola sampah secara mandiri sejak dari rumah (sampah domestik) memberikan kontribusi signifikan bagi masalah yang dihadapi TPST Piyungan ini. Lebih mengkhawatirkan lagi, bahwa sejak Tahun 2012 ternyata daya tampung tempat pengelolaan sampah ini sudah melampaui kapasitas yang seharusnya. Padahal volume sampah yang masuk selalu mengalami kenaikan, sebutah misalnya pada tahun 2019 bahkan naik sampai 2000 Ton-an (www.republika.co.id)
Kondisi terkini dari TPST Piyungan dan realitas budaya sosial masyarakat yang belum cukup sejalan dengan upaya pencapaian tujuan inovasi tersebut merupakan fakta yang menarik apabila dipotret dengan kacamata teori defusi inovasi. Tulisan ini mencoba menggunakan pendekatan teoritik tentang defusi inovasi untuk melihat bagaimana proses adaptasi dan adopsi terjadi, dan seperti apa prosepek keberlanjutan inovasi pada masa akan datang.Â
Inovasi dan Policy Interpreneur
Inovasi diawali dari pencarian dan penemuan (invention) lalu diwujudkan menjadi inovasi, bisa berbentuk ide, teknologi, sampai pemikiran bahkan idiologi baru, yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat untuk dapat diterima bahkan diadopsi dalam kehidupan sosial sehari-hari (Darwin, 2020). Setelah itu diperlukan tahapan defusi dengan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Pada tahapan defusi inilah terjadi proses-proses adaptasi, adopsi dan imitasi, yaitu proses replikasi, dilakukan oleh adopter yang telah berhasil melakukan adaptasi (Schumpeter dalam Sledzik 2013). Fase perjalanan dari invensi ke inovasi tidak selalu lancar, ketika penemuan baru tersebut tidak seger dieksekusi menjadi bentuk konkret inovasi, maka akan terjadi apa yang disebut sebagai lembah kematian (The Valley of Death).
Inovasi sangat terkait dengan proses kewirausahaan. Menurut Schumpeter, aktivitas kewirausahaan yang melahirkan inovasi berbasis riset memberikan peluang baru bagi investasi, pertumbuhan, dan lapangan kerja. Oleh karena itu dalam semua kewirausahaan untuk mencari keuntungan harus berinovasi, sebab inovasi merupakan pendorong penting yang akan memperkuat daya saing dan pergerakan ekonomi, sehingga menyebabkan perubahan struktur ekonomi, menghancurkan yang lama dan menciptakan yang baru (Sledzik 2013). Disinilah para aktor policy interpreneur berperan sebagai katalisator yang terlibat dalam upaya-upaya kolaboratif untuk mempromosikan inovasi kebijakan guna terjadinya sebuah perubahan.
Pendapat lainnya datang dari Kevin McManus, seorang konslutan kepemimpinan dan inovasi dari Amerika Utara memperkenalkan tiga esensi pendorong inovasi, terutama dalam sebuah proses kepemimpinan, yaitu empowerment, engagment dan creativity.
Menurutnya proses empowerment atau pemberdayaan memberikan peluang terbangunnya jiwa intrapreneurship yang akan berkontribusi menghasilkan berbagai inovasi. Sedangkan proses engagement membangun ikatan perasaan untuk memberikan alasan yang sangat kuat mengapa seseorang harus berkontribusi mencipakan berbagai inovasi. Adapun proses creativity atau penciptaan terjadi pada saat ide-ide besar dapat diwujudkan menjadi inovasi-inovasi (McManus; 2019).
Defusi Inovasi
Pada Tahun 1903, seorang sosiolog Prancis, Gabriel Tard untuk pertamakalinya memperkenalkan teori defusi inovasi. Menurutnya inovasi tidak bisa terlepas dari dimensi waktu yang ditunjukkan dengan perhitungan kurva difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang menjelaskan dimensi waktu (www.pakarkomunikasi.com).Â
Pada tahun 1964 teori defusi Gabriel Tard ini kemudian dipopulerkan kembali oleh Everett Rogers dalam bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations. Melalui bukunya ini Rogers menjelaskan secara lebih sederhana bagaimana inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan berapa jangka waktu yang diperlukan agar diterima dalam sistem sosial. Menurutnya defusi inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah inovasi tersebar dan disebarkan dalam sebuah lingkungan sosial budaya dari sumber kepada penerima, sejak mulai proses keputusan inovasi di buat sampai pada fase masyarakat memutuskan untuk menerima atau menolaknya (Rogers, dalam Makkulawu, 2013 ).
Penolakan terhadap sebuah inovasi, termasuk juga pengabaiannya, dapat saja terjadi pada fase antara inovasi dan defusi, ketika proses penyebarluasan dan adopsinya tidak mulus. Kegagalan defusi pada fase ini juga dapat mengantarkannya terjerembab ke dalam lembah kematian (The Valley of The Death) yang kedua, yaitu ketika inovasi gagal diadopsi oleh lingkungan yang lebih luas sehingga tidak terjadi perubahan makro dalam skala besar dan signifikan (Darwin, 2020). Â
Pada perkembangan selanjutnya, teori defusi inovasi juga telah memberi kontribusi dan menjadi bagian penting dari perkembangan teori dissemenasi (penyebarluasan informasi). James W. Dearing bahkan menempatkannya sebagai atribut penting untuk mempengaruhi (intervensi) proses adaptasi dan adopsi yang sangat menentukan keberhasilan sebuah inovasi, yaitu;Â
1) atribut intervensi, adalah karakteristik yang dirasakan dari sebuah inovasi,Â
2) membuat klaster intervensi dengan pengelompokan intervensi bersama saling melengkapi,Â
3) menjalankan proyek demonstrasi sebagai eksperimen untuk menguji validitas adaptasi eksternal,Â
4) penargetan sektor kemasyarakatan sebagai sistem sosial untuk perubahan,Â
5) memperkuat kondisi kontekstual melalui penyebaran pesan secara massif, peraturan, insentif, bahkan tekanan sosial yang saling menguatkan untuk perubahan normatif, sikap, dan perilaku,Â
6) kepemimpinan opini untuk mempengaruhi pengikutnya agar mendukung proses perubahan dan adaptasi terhadap  inovasijenis yang digulirkan,Â
7) adaptasi intervensi dengan meningkatkan minat dan aktivitas untuk menyebarkan inovasi ke dalam organisasi yang kompleks guna membangun kesadaran pentingnya mengadopsi inovasi  (Dearing, 2009).Â
 Penyebarluasan inovasi melalui berbagai patform media informasi dan komunikasi, dan dengan segala aspek serta berbagai sudut pandang, merupakan bagian penting dari defusi inovasi. Ini adalah tahapan yang paling krusial untuk melihat apakah sebuah informasi dapat diadaptasi dan diadopsi (diterima), atau sebaliknya akan diabaikan bahkan ditolak.Â
Menurut Rogers efektivitas sebuah komunikasi dalam proses defusi inovasi ditentukan oleh seberapa meyakinkan keuntungan relatif yang ditawarkan dibandingkan inovasi sebelumnya, Â kesesuaian (compatibility) terhadap kebutuhan nilai-nilai dan budaya sosial masyarakat, kerumitan (coplexity) yang dihadapi atau dirasakan masyarakat untuk menjalankan inovasi, dan dapat diujicobanya (triability) inovasi yang ditawarkan ke dalam kondisi yang sebenarnya (www.pakarkomunikasi.com).
Dari berbagai pandangan teoritik di atas, mengarah pada satu kesamaan bahwa defusi inovasi menjadi sebuah keniscayaan untuk menentukan keberhasilan sebuah inovasi. Ditolak atau diterima dan diadopsinya sebuah inovasi dalam lingkungan sosial masyarakat ditentukan oleh seberapa baik dan mulus proses komunikasinya.
 Keterikatan (engaggement) yang baik akan terbangun dari komunikasi yang baik dan terawat, dan ini prasyarat penting untuk masyarakat dapat menerima dan mengadopsi inovasi dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Kesadaran untuk menerima dan mengadopsi inovasi akan lebih mudah terjadi jika aspek keuntungan, kesesuaian dengan nilai sosial budaya serta kemudahan menjalankan inovasi dapat dikomunikasikan dan diterima, bahkan dirasakan dengan baik oleh masyarakat (Masthuri, 2020). Â
TPST Piyungan dan Proses Defusi InovasiÂ
Sebagai sebuah inovasi, TPST Piyungan dimulai dari proses invensi atau penemuan yang dilakukan melalui kajian Pemerintah DI Yogyakarta berkolaborasi dengan JICA Jepang. Sejak Tahun 1994 proses penemuan ini dilakukan dengan melibatkan aktor-aktor policy interpreuner pada Dinas terkait yang kemudian menghasilkan pemikiran dan gagasan baru yang mendorong lahirnya kebijakan inovasi pengelolaan sampah yang lebih baik.Â
Ini sekaligus menandai bahwa Pemerintah DI Yogyakarta mulai menempatkan pengelolaan sampah sebagai masalah yang lebih serius dengan menuangkannya menjadi kebijakan inovasi pengelolaan sampah yang lebih terpadu meliputi tiga Kabuatn/Kota, Yogyakarta, Seleman, dan Bantul (Kartamantul), dan mulai beroperasi pada Tahun 1996. Â
Aktivitas kewirausahaan dalam merancang inovasi pengelolaan sampah yang berbasis riset ini sejalan dengan teori Schumpeter, karena pada dasarnya memberikan peluang baru bagi investasi, pertumbuhan, dan lapangan kerja. Bagaimanapun TPST Piyungan ini tergolong modern pada jamannya, menggunakan konsep sanitary landfill, yaitu sistem pengolahan sampah dengan menumpuk di lokasi cekung, memadatkannya kemudian ditimbun dengan tanah sehingga sampah organik lebih cepat untuk terurai.Â
Peluang investasi berupa pengelolaan sampah menjadi produk yang bernilai ekonomi menjadi terbuka, termasuk yang dilakukan oleh komunitas komunitas bank sampah. Jika semua itu terlaksana dengan baik tentusaja akan membuka lapangan kerja dan menyumbang angka pertumpuhan ekonomi di DIY. Meskipun hingga kini hal tersebut tidak tercapai, meskipun demikiam inilah salah satu kebijakan inovasi yang penting saat itu, dan diharapkan menjadi solusi atas permasalahan sampah yang ada di DIY, setidaknya di Kartamantul.
Masalahnya, setelah ditetapkan menjadi kebijakan inovasi, ternyata pembangunan TPSI Piyungan seakan berhenti sampai pada laporan hasil penelitian saja. Hal ini bisa terlihat langsung di lapangan, sarana prasarana yang ada tidak cukup menggambarkan adanya sebuah aktivitas pengelolaan sampah dengan perlatan modern yang canggih. Di beberapa titik bahkan terlihat alat-alat berat yang sudah mangkarak. Invensi yang sudah dihasilkan dari proses kolaborasi para aktor policy interpreuner tidak dieksekusi secara berkelanjutan, karena pengelolaan menggunakan sistem sanitary lanfill hanya dilakukan sampai pada tahun 2014.Â
Dari hasil kajian Ombudsman RI DIY diketahui penyebabnya antara lain adalah karena kapasitas anggaran yang kurang memadai sehingga tidak cukup untuk mengadakan tanah urug. Akibatnya, setelah Tahun 2014 pengelolaan sampah di TPST Piyungan sudah tidak lagi menggunakan sistm sanitary landfill, tetapi menjadi open dumping, yaitu sistem pembuangan paling sederhana dimana sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa perlakuan lebih lanjut.Â
Pelaksanaan inovasi yang tidak berkelanjutan ini mengakibatkan inovasi TPST Piyungan berada dalam kondisi "hidup segan mati tak mau", dan cenderung membawanya pada jalan menuju lembah kematian (The Valley of Death). Apalagi sejak Tahun 2012 TPST Piyungan sebenarnya telah overload namun tetap dipaksakan operasionalnya karena Pemerintah DIY tampaknya belum memiliki opsi lain untuk mengatasinya.
Bagaimana dengan proses defusi inovasinya? Merujuk pada Rogers, defusi inovasi adalah peroses bagaimana sebuah inovasi tersebar dan disebarkan dalam sebuah lingkungan sosial budaya dari sumber kepada penerima, sejak mulai proses keputusan inovasi di buat sampai pada fase masyarakat memutuskan untuk menerima atau menolaknya.Â
Dalam kasus TPST Piyungan, sejauh ini tidak terdapat data yang cukup dapat menjelaskan terjadinya proses penyebarluasan informasi seperti dalam teori Rogers tersebut. Upaya untuk mengikat (engagment) adopter seperti dalam teori McManus baru terlihat secara terbatas, berbentuk fasilitasi pelatihan dan pemberdayaan warga untuk mengelola sampah melalui bank-bank sampah yang ada. Meskipun menurut Ombudsman RI DIY fasilitasi inipun masih terbatas. Warga yang berinisiatif membentuk komumunitas-komunitas pengelola sampah mandiri tidak cukup mengetahui atau tidak memperoleh kesempatan yang cukup untuk mendapatkan pelatihan-pelatihan dari pemerintah. Â
Pada diri masyarakat (sebagai adopter) juga belum terlihat adanya budaya yang massif (adaptasi) untuk mengolah dan memilah sampah dari rumahnya masing-masing. Padahal, konsep pengelolaan sampah dalam inovasi ini mengharuskan adanya pemilahan sampah sebelum masuk ke TPST Piyungan, dan dalam hal ini pendekatan intervensi melalui proses atribusi untuk mempercepat adaptasi dan adopsi di masyarakat dalam teori James W Dearing tampaknya tidak berjalan sebagaimana mestinya.Â
Pemerintah DIY sejauh ini bahkan tidak memiliki instrumen kebijakan untuk mendorong kampanye yang luas guna membangun keterikatan batin dan kesadaran bersama dalam mengelola sampah, misalnya melalui program kampanye pengurangan penggunaan kantong plastik, dll.
Selain budaya adopsi masyaraat, proses intervensi juga tidak tercermin dari kebijakan politik anggaran, tata kelola/SDM dan sarana prasarana. Belakangan bahkan terjadi resistensi dari warga sekitar karena ekologi di sekitar TPST yang sangat memprihatinkan, terutama pada saat musim hujan, polusi udara dengan baru serta kelembaban yang sangat pekat, dan akses jalan yang kadang tertimbun luberan sampah, ketika musim hujan menjadi masalah yang serius bagi warga sekitar. Beberapa kali warga sekitar area TPST Piyungan bahkan melakukan penutupan akses masuk sebagai bentuk protes mereka (www.detiknews.com).
Kesimpulan
Defusi inovasi yang berhasil merupakan intrumen paling efektif untuk membangun engagement dengan warga sebagai penerima inovasi (adopter). Oleh karena itu, proses defusi harus dimulai dari komunikasi publik yang menyentuh dan mengikat batin warga masyarakat. Ini penting karena difusi melalui penyebarluasan informasi tentang inovasi kepada masyarakat adalah tahapan proses yang paling krusial dan sangat menentukan nasib keberlanjutan setiap inovasi pada masa akan datang (Masthuri, 2020).
Inovasi TPST Piyungan yang dicanangkan sejak tahun 1996 kurang berkelanjutan dan cenderung mengarah pada lembah kematian (The Valley of Death). Tenda-tanda ke arah itu sangat jelas, berbagai data kajian termasuk oleh Ombudsman RI DIY, dan berita media memotret kegagalan defusi inovasi ini.Â
Dalam keadaan seperti itu, inovasi TPST Piyungan ini dirasa tidak cukup memberi dampak perubahan makro dan signifikan di lingkungan sosial masyarakat. Apalagi ditemukan fakta bahwa TPST Piyungan sudah kelebihan daya tampung (overload) sejak Tahun 2012, dan sampai sekarang belum terlihat adanya langkah strategis yang diambil, sehingga hal ini bisa saja semakin mempercepat inovasi ini terhempas ke dalam lembah kematian (The Valley of Death).
*)BUDHI MASTHURI, Mahasiswa Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan, Sekolah Pasca Sarjana UGM
DAFTAR PUSTAKA
Darwin, Muhadjir (2020), Defusi Inovasi, Insight Innovation, Â https://www.youtube.com/ watch?v=AieOXU9G9u0, diakses 6/03/2021, Pukul 22.01 WIB
Dearing, James W.(2009), Applying Diffusion of Innovation Theory to Intervention Development, Res Soc Work Pract. 2009 September 1; 19(5): 503--518. doi:10.1177/1049731509335569.
Kusumo, Agung Raharjo Wibowo (2006), Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inovasi Produk Untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing dan Kinerja Pemasaran (Studi Pada Industri Batik Berskala Besar dan Sedang di Kota dan Kabupaten Pekalongan), Tesis S-2 Magister Manajemen  Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro, 2006
Makkulawu, Andi Ridwan (2013), Proses Percepatan Difusi Inovasi Produk Susu Sterilasi Nonthermal, Jurnal Teknik Industri ISSN: 1411-6340, Institut Pertanian Bogor, 2013
Masthuri, Budhi (2020), Pemimpin Transformatif dan Legacy dari Kaki Menoreh, Manuskrip, 2020.
McManus, Kevin (2019), Empowerment, Engagement, and Creativity , the Essence of Innovation, Â , diakses tanggal 06/03/2021, pukul 22.23 WIB
Pertana, Pradito Rida (2018), Tak Kunjung Diperbaiki, Warga Blokir Jalan ke TPST Piyungan, , Senin, 31 Des 2018, diakses 07/03/2021 pukul 17.59 WIB
Sledzik, Karol. (2013), Schumpeter's View on Innovation and Entrepreneurship, SSRN Electronic Journal * April 2013
___________, (2017), Teori Difusi Inovasi--Konsep dan Perkembangannya, , pukul 22.48 WIB
___________, Desember, Volume Sampah TPST Piyungan Naik 2.000 Ton, h, Jumat 03 Jan 2020, diakses 07/03/2021, pukul 10.20 WIB
___________ Sekilas Info TPST Piyungan, , diakses 06/03/2021, pukul 16.17 WIB
___________ Laporan Rapid Assesment Tentang Pengelolaan Sampah di Kartamantul Oleh Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Perwakilan Ombudsman RI DI.Yogyakarta, 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H