6) kepemimpinan opini untuk mempengaruhi pengikutnya agar mendukung proses perubahan dan adaptasi terhadap  inovasijenis yang digulirkan,Â
7) adaptasi intervensi dengan meningkatkan minat dan aktivitas untuk menyebarkan inovasi ke dalam organisasi yang kompleks guna membangun kesadaran pentingnya mengadopsi inovasi  (Dearing, 2009).Â
 Penyebarluasan inovasi melalui berbagai patform media informasi dan komunikasi, dan dengan segala aspek serta berbagai sudut pandang, merupakan bagian penting dari defusi inovasi. Ini adalah tahapan yang paling krusial untuk melihat apakah sebuah informasi dapat diadaptasi dan diadopsi (diterima), atau sebaliknya akan diabaikan bahkan ditolak.Â
Menurut Rogers efektivitas sebuah komunikasi dalam proses defusi inovasi ditentukan oleh seberapa meyakinkan keuntungan relatif yang ditawarkan dibandingkan inovasi sebelumnya, Â kesesuaian (compatibility) terhadap kebutuhan nilai-nilai dan budaya sosial masyarakat, kerumitan (coplexity) yang dihadapi atau dirasakan masyarakat untuk menjalankan inovasi, dan dapat diujicobanya (triability) inovasi yang ditawarkan ke dalam kondisi yang sebenarnya (www.pakarkomunikasi.com).
Dari berbagai pandangan teoritik di atas, mengarah pada satu kesamaan bahwa defusi inovasi menjadi sebuah keniscayaan untuk menentukan keberhasilan sebuah inovasi. Ditolak atau diterima dan diadopsinya sebuah inovasi dalam lingkungan sosial masyarakat ditentukan oleh seberapa baik dan mulus proses komunikasinya.
 Keterikatan (engaggement) yang baik akan terbangun dari komunikasi yang baik dan terawat, dan ini prasyarat penting untuk masyarakat dapat menerima dan mengadopsi inovasi dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Kesadaran untuk menerima dan mengadopsi inovasi akan lebih mudah terjadi jika aspek keuntungan, kesesuaian dengan nilai sosial budaya serta kemudahan menjalankan inovasi dapat dikomunikasikan dan diterima, bahkan dirasakan dengan baik oleh masyarakat (Masthuri, 2020). Â
TPST Piyungan dan Proses Defusi InovasiÂ
Sebagai sebuah inovasi, TPST Piyungan dimulai dari proses invensi atau penemuan yang dilakukan melalui kajian Pemerintah DI Yogyakarta berkolaborasi dengan JICA Jepang. Sejak Tahun 1994 proses penemuan ini dilakukan dengan melibatkan aktor-aktor policy interpreuner pada Dinas terkait yang kemudian menghasilkan pemikiran dan gagasan baru yang mendorong lahirnya kebijakan inovasi pengelolaan sampah yang lebih baik.Â
Ini sekaligus menandai bahwa Pemerintah DI Yogyakarta mulai menempatkan pengelolaan sampah sebagai masalah yang lebih serius dengan menuangkannya menjadi kebijakan inovasi pengelolaan sampah yang lebih terpadu meliputi tiga Kabuatn/Kota, Yogyakarta, Seleman, dan Bantul (Kartamantul), dan mulai beroperasi pada Tahun 1996. Â
Aktivitas kewirausahaan dalam merancang inovasi pengelolaan sampah yang berbasis riset ini sejalan dengan teori Schumpeter, karena pada dasarnya memberikan peluang baru bagi investasi, pertumbuhan, dan lapangan kerja. Bagaimanapun TPST Piyungan ini tergolong modern pada jamannya, menggunakan konsep sanitary landfill, yaitu sistem pengolahan sampah dengan menumpuk di lokasi cekung, memadatkannya kemudian ditimbun dengan tanah sehingga sampah organik lebih cepat untuk terurai.Â
Peluang investasi berupa pengelolaan sampah menjadi produk yang bernilai ekonomi menjadi terbuka, termasuk yang dilakukan oleh komunitas komunitas bank sampah. Jika semua itu terlaksana dengan baik tentusaja akan membuka lapangan kerja dan menyumbang angka pertumpuhan ekonomi di DIY. Meskipun hingga kini hal tersebut tidak tercapai, meskipun demikiam inilah salah satu kebijakan inovasi yang penting saat itu, dan diharapkan menjadi solusi atas permasalahan sampah yang ada di DIY, setidaknya di Kartamantul.