Industri 4.0 memang menawarkan berbagai kemudahan dan optimalisasi proses akumulasi kapital. Untuk membuka warung kopi tidak perlu lagi menyediakan tempat luas, cukup kios kecil, bisa juga booth, atau bahkan dapur rumah sendiri (ghost resto). Selanjutnya tinggal mendaftar sebagai mitra startup penyedia jasa aplikasi penjualan digital. Kemasan kemitraan ini menjanjikan peluang  keuntungan berlipat meskipun modalnya minim. Startup menyediakan jasa pesan dan kirim makanan yang menghubungkan antara warung kopi-konsumen dengan sistem bagi hasil rata-rata 80% untuk warung kopi, dan 20% untuk penyedia jasa.
Dalam keadaan seperti itu, selain tidak sepenuhnya bisa menikmati nilai lebih dari produknya, penjual kopi juga mengalami proses alienasi atau keterasingan. Secara teoritik konsep keterasingan bisa mulai dari terasing dari hasil kerja, dari pasar produksi, dan bahkan terasing dari kemanusiaan (dehumanisasi), termasuk  antar sesama pekerja (Marcello, 2018).
Skema kontraktual tersebut pada dasarnya menempatkan penjual kopi sebagai pekerja dari, dan tergantung dengan sebuah sistem pemasaran digital berbasis aplikasi milik startup. Hubungan kerja yang dikemas secara ilutif sebagai kemitraan menjadikan penjual kopi kehilangan kuasa untuk menjual kopi hasil racikannya sendiri. Pemasaran sepenuhnya dikendalikan secara digital untuk menjaring pembeli melalui sistem algoritma tertentu.Â
Dari situ proses akumulasi niai lebih 20% harga dari bagi hasil terus mengalir ke pundi-pundi pemilik aplikasi. Pada akhirnya penjual kopi tidak sepenuhnya menikmati nilai lebih dari produknya sendiri karena tidak bisa menjual dengan 100% harga.
Eksploitasi digital yang dialami menjadikan pekerjaan meracik kopi hanyalah rutinitas. Padahal bagi seorang penjual kopi, racikan kopi adalah juga sebuah karya cipta yang bisa membuat dirinya merasa lebih bermakna ketika manfaat nikmatnya mampu mambahagiakan orang lain yang meminumnya.Â
Proses ekspolitasi melalui pemasaran digital ini telah menghilangkan makna pekerjaan meracik kopi menjadi rutinitas sepi dalam kios-kios kecil, booth, bahkan dapur rumah sendiri. Demikian juga interaksi sosial hanya sebatas kata-kata pada gawai di genggaman yang telah memerangkapnya  dalam keterasingan dari hasil kerjanya sendiri.Â
Melalui model pemasaran digital, penjual kopi memang masih terlibat dalam proses produksi dalam meracik minuman kopi, tetapi ia nyaris tidak terlibat, bahkan terasing dari proses pemasaran kopi yang diproduksinya, karena hal ini dikendalikan startup melalui aplikasi.
Pemasaran digital melalui aplikasi ini tidak hanya mencabut kuasa penjual kopi atas pemasaran produk karyanya, tetapi juga mengubah bentuk interaksi sosial secara digital di dalamnya menjadi interaksi yang semu. Selain itu sebagai makhluk sosial, penjual kopi juga terasingkan dari sisi kemanusiaannya. Perbincangan dan interaksi sosial antara penjual dengan pembeli tereduksi menjadi sebatas hubungan maya dalam sebuah proses transaksional menjual dan membeli.
Di tengah maraknya warung kopi digital, saat ini memang masih ada warung kopi yang mempertahankan model konvensional sebagai tempat nongkrong, ngobrol untuk membangun interaksi sosial. Sayangnya proses alienasi dan dehumanisasi tidak hanya mengancam penjual kopi, tetapi juga pembeli kopi, seperti terungkap dalam penelitian yang dilakukan Sally & Firdaus dan Irwanti Said.Â
Pada masa akan datang, kita akan semakin sulit menemukan proses interaksi dan relasi sosial yang solid membentuk basis aksi dari warung kopi, karena kebutuhan komunikasi dan ekspresi sudah tergantikan oleh gawai dalam genggaman masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H