AWAN:   Ketika jiwa tak bermakna, ah.. rasanya sulit sekali untuk bicara. Tentang diriku, dirinya, dan diri mereka semua.. adakah langit seluas hamparan yang menyempit? Hamparan bumi terlihat kaku di mataku. Di mana Tuhan? Ketika aku membutuhkanNya…
AWAN:   Kumohon… antarkan kesedihan ini dan palingkan ia dari wajahku yang mulai membusuk. Hingga Izrail datang membawa berita kematian….
AWAN: Â Â Lihatlah langit malam ini! Kemudian rasakan kegelapan dan keheningan malam memelukmu dari segala penjuru. Atas nama Angin, Udara, Api, Air, dan Bumi. Lihatlah langit malam ini dan ingatlah bahwa kita pernah bersama di tanah yang bernama keabadian..
AWAN: Â Â Mungkin aku telah terlampau jauh untuk berjalan hingga akhirnya tersesat dan tak mampu lagi untuk melangkah. Aku selalu mendamba dia yang bukan Tuhan, hingga rasanya jika aku tak segera melebur dengannya, maka aku akan mati.
AWAN:   kenapa aku tak pernah menegrti? Apakah aku yang tak pernah mau mengerti? Ketika cinta datang, aku hanya terdiam. Ketika benci terdampar aku hanya bisa memandang. Berkali-kali mereka hadir tapi aku tak pernah peduli… Kau tahu, di tanah ini aku ditemukan oleh sosok yang sempat aku abaikan. Meski begitu, dia berhasil menangkapku dengan ketetapannya. Tapi mmasih bolehkah aku berharap dengannya? Setelah selama ini aku berkhianat dan hingga masalah belum berakhir…
AWAN: Â Â Maaf. Seharusnya saat itu aku yang meminta maaf bukan kamu. Karena secara tak sadar, aku telah membuka sedikit peluang untuk itu. Andai aku tak pernah hadir diantara kamu dan teman-teman. Bisakah kita berharap pada masa lalu?
AWAN: Â Â Kita cela zaman ini padahal cela ada pada diri kita. Tak ada cela pada zaman kita selain diri kita. Kita hina zaman yang tak berdosa. Andai zaman ini dapat berbicara, ia akan menghina kita yang mengotorinya. Serigala tak makan serigala, sedang kita saling memakan secara nyata.
AWAN: Â Â Time goes by; Ketika jatah usia semakin berkurang, ketika kehidupan terasa semakin melelahkan, ketika kau belajar dari pengalaman di tiap episode perjalanan hidup, apa yang telah kau dapat dan masih kau cari?!
AWAN: Â Â Airmata telah lama mengering dan hati telah membeku, hanya bisa tersenyum hampa. Walau tak ingin tapi tertawa dan ceria adalah topeng bagi jiwa yang rapuh. Ia hanya ingin berlari dan pergi kemudian berteriak lantang menantang. Kenapa hidup tak pernah kita duga dan selalu kita cela? Manusia memang makhluk hina dan menjijikan dimana benar dan salah menjadi bias. Bolehkah aku diam dan sekadar menatap karena aku telah bosan dan berakhir.
ANGIN: Â Â Ketidakberdayaan hidup adalah lapang kembara termpat terciptanya keajaiban. Jauh dibalik jiwa manusia yang suka mencela ada denyut kekaguman pada keagungan. Di balik topeng keangkuhan dan ketangguhan terdapat kerapuhan dan kenestapaan yang menjadi jalan terkuaknya rahasia-rahasia kehidupan bagi jiwa yang tidak ingkar. Diam dan rasakan. Akan ada suara yang terus memacumu ntuk maju. Tinggal kau tentukan: bungkam oleh keputusasaan atau teruskan demi kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H