Mohon tunggu...
Shinta Felisiana
Shinta Felisiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karena perjalanan panjang ini tidak untuk dinikmati sendirian..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Awan dan Angin

8 Juni 2012   11:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:14 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

AWAN:    Malam ini lagi-lagi kususuri jalanan kota yang ramai. Tapi tetap kumerasa sendiri. Kutatap wajah orang-orang yang berlalu lalang—sendu,bahagia, ceria, diam, serius, tanda tanya, kosong—manakah yang mewakiliku sebenarnya?

ANGIN:    Aku dan kamu adalah misteri dari Misteri tapi bukan misteri itu sendiri. Hidup adalah misteri, maka ketika kau lelah janganlah sekali-kali meminta mati bila mati hanyalah sebuah misteri.

AWAN:    Maaf, aku tetap tak memercayai siapapun termasuk kamu. Itu kehidupanku dan tak ada yang mampu memasukinya kecuali kuizinkan. Hidup memang sebuah misteri maka aku butuh seseorang yang mampu menopangku. Jika tidak, aku akan mati.

ANGIN:    Aku yakin kamu akan seperti itu. J. Pencarian sesungguhnya adalah kau tak percaya siapapun dan apapun. Tapi kalau boleh aku mengingatkan, jangan berharap pada siapapun, termasuk Tuhan. Kan kau dapati ketangguhan, kenikmatan, dan keyakinan sejati. Selamat menikmati.

AWAN:    Sifat dasar manusia adalah berharap seperti halnya fitrah manusia yang menyakini adanya Tuhan. Aku tak berharap pada manusia, hanya pada Tuhan dan menyakini keadilanNya. Aku masih bisa berdiri sendiri tapi aku sadari bahwa manusia tak benar-benar sendiri. Aku butuh suami yang bisa kuajak pergi.

ANGIN:    Kamu sadari sepenuhnya dengan kata-katamu barusan? Kamu bisa jadi Perawan Suci Maria atau Rabiatul Adawiyah. Jangan mendamba juru selamat, ketika keselamatan ada di tanganmu, ingat? Jangan terbuai mimpi dongeng pangeran yang akan menjemput sang putri.

AWAN:    Ya! Masih kuingat dan masih kupegang, bersama dengan seseorang bukan berarti seluruhnya kita percaya dan kita serahkan. Seperti kamu yang bosan sendiri begitupun aku yang ingin mengarungi kehidupan bersama dan saling berbagi. Tapi aku ingin suami bukan yang lain.

ANGIN:    Itu tak sekadar dinanti tapi diciptakan. Aku mempersiapkan diri dan kamu tuk ke sana. Tapi tanpa komitmen dulu karena aku belum yakin kamu begitu, maka mengalirlah. Tapi kalau cocok dan saling mengerti tentu itu yang kuharap.

AWAN:    Aku tak bisa menunggu. Maka siapapun itu jika dia seperti yang kuharapkan maka aku akan tetap berjalan di atas bumi bersamanya. Jika tidak, aku akan segera mati. Bukankah semua itu terbina atas dasar saling mengerti? Atau selamanya aku sendiri. Maaf, itu jawabanku.

ANGIN:    Kamu tak bisa menunggu sesuatu yang bukan giliranmu? Pasti resah! Ayolah, kamu harus punya cita-cita melangit tapi tetap harus membumi. Kamu harus berjuang tanpa lelah tapi harus tetap pasrah menerima kenyataan. Aku tidak mengerti, kamu yang segera mati bila tak segera mendapatkannya. Aku tak menunggu jawaban. Dengan siapapun kamu, itu kebebasanmu. Tapi sebagai teman aku mengingatkan, Tuhan tak akan menganugerahkan malaikat yang mengerti kamu dengan begitu saja. Karena itu butuh proses..

AWAN:     Matahari itu kini mulai meredup, layu, dan akhirnya mati. Sungguh, ia tak tahu harus berbuat apa! Bagi orang lain, ia mungkin matahari. Tapi bagi dirinya, ia hanya sekumpulan debu. Apa yang ia lakukan? Ia tak ingin menyakiti, bisakah hanya sekadar teman saja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun