Mohon tunggu...
Yaser A Suningrat
Yaser A Suningrat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

..cuma cari senang..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Etnografi Kenestapaan Bangsa “Langitan”

17 September 2011   07:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:53 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku      : Manusia Langit Penulis             : JA Sonjaya Penerbit           : Buku Kompas, Jakarta Cetakan           : 2010 Isi                    : vii + 210 Halaman ISSBN             : 978-979-709-523-9 Harga              : Rp. 38.000,-

Mahendra, arkeolog muda dari kampus ternama di Yogyakarta sedang galau karena Yasmin, kekasihnya, bunuh diri. Muncul niatan di dalam hatinya untuk mencari dunia baru agar ia bisa melupakan kegalauan itu. Pada mulanya ia menjadi relawan gempa bumi Nias tahun 2005. Tapi setelah mendengar mitos manusia langit di kampung Banuaha, sebuah desa terpencil di Pulau Nias, naluri khas arkeolognya muncul. Ia pun meluncur ke desa yang diyakini oleh orang Nias sebagai tempat turunnya manusia dari langit itu. Sesampainya di sana, ia diterima baik oleh Ama Budi, tetua kampung Banuaha. Perlahan, Mahendra dapat melupakan Yasmin. Terlebih lagi, di sana ia jatuh cinta pada gadis Banuaha, Saita. Tapi cinta itu juga kandas karena Saita telah "dibeli" oleh pemuda setempat. Akhirnya Mahendra berlayar pulang mengarungi Laut Sibolga. Di tengah laut, ombak menerpa kapal yang ditumpanginya. Kapal itu pecah. Mahendra mati setelah bertempur dengan lelah dan lapar dalam beberapa hari. Di akhir cerita, baru terkuak bahwa Yasmin masih hidup! Membaca sejarah Sebagian besar kisah di novel ini adalah laporan hasil penelitian arkeologi yang ditempuh oleh penulis, JA Sonjaya. Jadi, kisah kegetiran cinta tokoh utamanya, Mahendra, kiranya dapat dianggap hanya pemanis cerita saja. Apalagi sejak bab pembuka, Mahendra sudah masuk ke alam pikiran pembaca sebagai ekskavator sebuah situs sejarah yang diperkirakan sebagai tempat pemukiman awal para leluhur orang Banuaha. Dari sanalah, melalui Mahendra yang menganalisis benda-benda atau artefak kuno, penulis mengajak kita untuk memakrifati masa lalu orang Banuaha. Hasilnya, ia seolah meniupkan ruh ke dalam setiap benda. Misalnya sebuah periuk kuno yang bagi orang Banuaha menyimbolkan rahim seorang ibu. Tak pelak, benda itupun tiba-tiba "membicarakan" riwayat termenyayat orang Banuaha. Rupanya, periuk itu adalah saksi tradisi mengubur bayi secara hidup-hidup yang lazim dilakukan oleh Suku Belada, para pendahulu orang Banuaha. Bagi suku yang menggantungkan hidup mereka pada tradisi berburu itu, membunuh bayi adalah pilihan agar rutinitas ekonomi dan tradisi nomadensi mereka tak terinterupsi. Untuk menutupi realitas yang terkesan "biadab" itu, mereka pun menghidupkan cerita lisan tentang roh halus pemakan bayi. Nah, tatkala Mahendra mengutarakan hasil temuan itu kepada Ama Budi, seperti dikisahkan di sini, tiba-tiba lelaki tua itu membuka peti dosa-dosanya. Dengan lidah terbata-bata, ia mengatakan bahwa sekitar tahun 1980-an ia dan hampir semua kepala keluarga segenerasinya pernah berbuat demikian karena pada waktu itu populasi orang Banuaha yang hidup dengan cara berladang sedang meningkat. Ini tidak sebanding dengan ketersediaan lahan garapan. Di sisi lain, hutan telah banyak yang dirambah oleh para pendatang. Parahnya, pemerintah tak cukup responsif pada perubahan sosial ini. Maka mereka terpaksa meniru tradisi membunuh bayi ala Suku Belada itu. Dengan berbuat demikian, mereka percaya bahwa setiap bayi yang mereka bunuh akan kembali ke langit, asal leluhur mereka. "Lebih baik bayi itu cepat dikembalikan ke langit daripada nanti mereka hidup berlumur dosa seperti orang tuanya. Karena orang berdosa belum tentu bisa kembali ke langit" (hal. 24), begitu Ama Budi mengetengahkan apologi filosofisnya kepada Mahendra. Siapa manusia langit? Selain sebagai identitas etnik orang Nias, mitos manusia langit dihadirkan penulis sebagai himbauan agar ia tak dipandang sebagai ketahayulan. Sebab semua mitos adalah dokumen sosial masyarakat pada zamannya. Di dalamnya tersimpan warisan pemikiran, gagasan, deskripsi gerak sosial, hingga corak kehidupan ekonomi masyarakat pemilik mitos. Ini menandakan bahwa mitos tak akan tersusun rapi jika bukan merupakan serapan sosial atas gerak sejarah yang terjadi pada waktu itu. Dalam penelusurannya, penulis menemukan historisitas mitos manusia langit berikut hubungannya dengan kampung Banuaha yang merupakan singkatan dari Banua (Kampung) Niha (Manusia). Dalam satu satu hoho atau pantun tradisional orang Nias, disebutkan bahwa Sirao, leluhur orang Nias, diturunkan dari negeri di atas awan. Negeri itu dalam bahasa Nias disebut tete holi ana'a. Sirao adalah anak hasil perkawinan dua angin di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angin tersebut sama seperti kehamilan manusia. Lalu apa makna mitos ini? Pertama, bagi masyarakat Banuaha, mitos yang mengingatkan pada asal-mula mereka ini berfungsi sebagai kontrol sosial. Bahwa asal leluhur mereka adalah dari langit. Karena mereka merasa tak nyaman hidup tanpa nafsu di langit, maka mereka turun ke bumi. Dengan begitu, mereka dapat merasakan hidup yang sempurna dan menjadi manusia yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kini, sebagai anak-cucu manusia langit, orang-orang Banuaha harus berbuat baik selama hidup di bumi. Agar kelak mereka bisa kembali ke langit dengan tenang (hlm. 110-112). Kedua, dalam konteks kekinian, penulis menyajikan mitos manusia langit sebagai sindiran orang Banuaha pada kenestapaan manusia Indonesia di abad ini. Yaitu para akademisi, birokrat, dan punggawa negeri yang berandil besar dalam penentuan kebijakan namun abai untuk turun ke bawah. Akibatnya, kehidupan masyarakat, terutama di desa terpencil seperti Banuaha, nyaris tak pernah tersentuh sekutilpun oleh kebijakan yang mereka putuskan. Bila sudah tersentuh pun, kebijakan itu malah menghadirkan kemudaratan bagi orang-orang di desa. Misalnya, kewajiban untuk berolahraga setiap Sabtu yang dikenakan pada siswa SMP di Banuaha. Padahal dengan setiap hari pergi ke sekolah, para siswa itu telah berolahraga berjalan kaki naik-turun bukit. Tak hanya itu, karena mereka tak mampu menjawab soal-soal ujian berstandar "langit jakarta", mereka harus merasakan pahitnya ketaklulusan Ujian Nasional (hal. 108). Dalam tataran inilah novel etnografis yang tentu belum banyak tandingannya ini layak untuk diapresiasi. Ia berhasil menjepret setiap jengkal kehidupan masyarakat tradisional di Indonesia berikut kekayaan mitologisnya yang kerap disalahpahami oleh rasionalitas manusia modern. Yang terpenting, ia cukup lihai menyajikan hasil jepretannya itu sebagai laporan etnografi kenestapaan bangsa "langitan" yang terlalu nikmat hidup dalam "kelangitannya". Sehingga mereka gagal mengarifi eksotika alam, tradisi, dan budayanya. Uniknya, hal itu ia ungkapkan dalam golak kebahasaan yang tak terlalu "bersastra". Hanya saja, ada bagian yang agak pincang dalam novel ini. Misalnya pengungkapan kisah jatuh cinta Mahendra pada Saita yang terjadi tanpa interaksi intensif antara keduanya. Selain itu, penyebutan metode atau teknik penelitian etnografi tak memiliki catatan kaki. Itu tampak ketika penulis menyatakan bahwa goresan, catatan, penggambaran, dan pemotretan yang dilakukan oleh warga setempat akan terasa lebih bernilai (hal. 15). Padahal, satu di antara beberapa standar asasi dalam penelitian ilmiah itu penting untuk disebutkan sumbernya. *tulisan ini sebelumnya ada di sini: http://indonesiaartnews.or.id/bukudetil.php?id=5

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun