Ketiga, salah satu kembangan dari kata halal itu adalah tahliil sebagaimana tersebut di atas. Maksudnya, di dalam halal bi halal diharapkan ada proses untuk saling memerinci peran (role) dan fungsi (function) seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan halal bi halal, setiap orang diharapkan dapat ikut berperan dalam rekayasa restorasi peradaban. Apapun profesinya. Seturut dengan itu, setiap orang juga harus memainkan fungsinya secara utuh dalam kehidupan ini. Selemah apapun kemampuannya.
Keempat, bila pasca halal bi halal masih terdapat pribadi yang terus mendendam, pemerintahan yang kian korup, dan peran-fungsi sosial seseorang yang belum berefek pada perbaikan, berarti halal bi halal sendiri belum mencapai pucuk ketertunaiannya. Bisa jadi karena ia digelar hanya dalam rangka seremonial bernalar proyek politik-ekonomi. Dengan kata lain, halal bi halal tidak dilaksanakan dari dasar hati. Tampaknya, selama ini, itulah yang lazim terjadi.
Terakhir, halal bi halal sebagai tradisi yang belum tentu ada di negara lain membuktikan bahwa di dalam diri bangsa ini terdapat bibit-bibit inisiatif menuju kebaikan. Dengan kata lain, di sana ada tanda bahwa bangsa Indonesia memiliki segudang ikhtiar menuju kebenaran. Memang, fitrah manusia adalah cenderung kembali ke jalan itu. Jalan para Nabi. Untuk semua agama. Untuk semua umat. Untuk semua bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H