Halal bi halal adalah tradisi unik masyarakat Indonesia pasca lebaran. Pihak-pihak yang paling getol menggelar tradisi itu biasanya dari kalangan kantor pemerintah, swasta, maupun dari kalangan masyarakat seperti himpunan organisasi, jamaah perwiridan, hingga perkumpulan arisan. Dengan halal bi halal, silaturahmi dapat kembali tersambung dalam keceriaan, keguyuban, dan nuansa sosial. Maka dapat dikatakan, halal bi halal adalah strategi kebudayaan (the strategy of culture). Di dalamnya ada nilai-nilai luhur yang berguna untuk memperbaiki rumah peradaban yang kian roboh ini.
Meski begitu, hingga kini belum diketahui secara pasti kapan tradisi itu dimulai dan kenapa disebut demikian. Kecuali hanya sebaris spekulasi berbentuk cerita-cerita "rakyat". Maka sebelum sampai ke perbincangan mengenai kekuatannya sebagai nilai budaya, pentinglah kiranya kita merenungkan konsep kebahasaan halal bi halal. Agar ia tak menjadi hanya sebatas kebiasaan turun-temurun yang luput dari amatan, refleksi, dan kesadaran kita.
Tinjauan bahasa
Istilah halal bi halal diambil dari Bahasa Arab. Tapi, menurut Quraish Shihab dalam buku Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (2007), orang Arab sendiri tak pernah mengenal istilah tersebut. Boleh dibilang, istilah itu adalah hasil olah Bahasa Arab versi orang non-Arab ('ajam), dalam hal ini orang Indonesia. Louis Maalouf, dalam kamus al-Munjid (Cetakan 41: 2005: 146-147), memasukkan 'halal' dalam sekian bahasan kata: ha-la-la/halla.
Dua di antara yang paling kontekstual dengan tema halal bi halal adalah, pertama, halla/halala artinya melepas/memecah. Orang Arab biasa berucap; halla al-'uqdata (melepas sesuatu yang mengikat). Contoh lain tampak juga dalam QS: 20: 27: wahlul 'uqdatan min lisaanii (dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku), yang menceritakan pinta Nabi Musa AS agar Allah SWT berkenan melepaskan sesuatu yang mengikat lidahnya sehingga ia sulit berbicara.
Kedua, halla/halala artinya; menjadi halal. Kata ini biasa diperlawankan dengan haram. Sebagian besar ayat Alquran yang berisi kata 'halal' kiranya berdasarkan arti ini. Misalnya dalam QS: 2: 168: yaa ayyuha al-naasu kuluu min maa fi al-ardi halaalan thayyiban (hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik). Lalu pekerjaan menghalalkan sesuatu disebut: ahalla-yuhillu-ihlaalan atau hallala-yuhallilu-tahliilan. Ini tampak dalam QS: 2: 275: wa ahalla allahu al-bay'a wa harrama al-ribaa (padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).
Sementara itu dalam Mu'jam Al-Wasith (Cetakan: 4: 193-194), salah-satu arti dari kata halal merujuk pada pengertian pemecahan atau pencairan sesuatu yang beku. Nah, salah-satu pengembangan dari kata halla adalah tahliil. Ingat, 'ha' di sana adalah 'ha' kecil. Bukan 'ha' besar. Tahliil dengan 'ha' kecil artinya: memerinci bagian-bagian dan kewajiban/fungsi/peran dari setiap sesuatu. Sementara tahliil dengan 'ha' besar artinya: melafalkan kalimat Laa Ilaaha Illa Allah.
Bibit kebaikan
Merujuk pada beberapa arti dari sumber kata halal di atas, pantaslah kiranya halal bi halal dianggap sebagai strategi kebudayaan. Dalam wilayah pribadi, puasa adalah strategi kebudayaan untuk merestorasi kepribadian. Sedangkan halal bi halal, dimana ada momentum untuk saling maaf memaafkan, adalah strategi kebudayaan untuk memerbaharui beberapa segi kehidupan sosial. Ada beberapa sebab yang mencirikan hal itu.
Pertama, dalam halal bi halal ada tindak pelepasan sesuatu yang mengikat atau pencairan sesuatu yang beku. Karena konteksnya saling memaafkan, maka sesuatu yang beku itu pastilah kesalahan dan kekhilafan. Dengan maaf-memaafkan, segala dendam, iri, dengki, marah, dan kekesalan yang selama ini menghambat kelancaran interaksi sosial akan menghilang. Di sinilah halal bi halal bermakna proses mengganti semua yang haram dengan semua yang halal. Agar lalu-lintas transaksi sosial tak memunggungi kebenaran.
Kedua, halal bi halal merupakan ikhtiar menuju pemerintahan yang bersih. Di tingkat atas dan atas, bawah ke atas, atas ke bawah (vertikal-horizontal), halal bi halal merupakan monumen kebermaaf-maafan yang melibatkan elit pada sesama elit dan elit pada alit (rakyat). Tapi tentu ini hanya sebatas pemaafan kesalahan berdimensi pribadi. Kesalahan berdimensi sistemik, misalnya korupsi atau kebijakan pemimpin yang menyengsarakan rakyat, harus diproses menurut hukum. Di sinilah, memaafkan koruptor sebagaimana diusulkan oleh seorang petinggi negeri ini beberapa waktu lalu merupakan ajakan tak berdasar.