Mohon tunggu...
Budhi Han
Budhi Han Mohon Tunggu... -

Love to travel, read, watching and making movies, music

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ngaca!

31 Maret 2017   12:09 Diperbarui: 1 April 2017   06:32 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu itu ya seharusnya sadar! Gak usah pake mikir macam-macam. Ngaca! Ngaca!”

Tegur si Wajah Manis dengan suara berbisik tertahan penuh emosi. Suara yang keluar dari bibir mungilnya terdengar dekat sekali di telingaku. Kata-kata manis dan indah yang biasa aku dengar saat kami bersama di kamar hotel menghamburkan uangku, kini seperti suara halilintar di tengah hari bolong. Aku hanya terpaku. Tanganku gemetar dan dengkulku terasa lemas. Kepalaku ringan. Sekelilingku seolah berputar dengan cepatnya. Napasku menderu seiring degup jantung yang tak berirama.

“Ah, inikah akhir kisahku?” lontarku dalam hati.

Aroma harum kibasan rambutnya yang wangi menusuk rongga hidungku.

“Koko!”

Blugh!

Aku pun jatuh tak sadarkan diri.

Beberapa saat pipiku mulai terasa panas. Samar aku melihat Didiet sedang menampar kedua pipiku dengan keras. Plak! Plak! Plak! Tanpa henti dan penuh semangat. “Ko, bangun! Sadar euy!”seru Didiet sambil terus dengan sekuat tenaga menghantamkan gulungan karton tebal bekas poster-poster film kelas tiga ke kepalaku begitu dia melihat mataku terbuka sedikit. Entahlah apa judulnya. Sekilas terlihat wajah-wajah bule yang tak kukenal. Andai saja ada foto Chelsea Islan, pasti poster-poster itu sudah pindah ke kamarku. Sering aku membayangkannya datang menghibur dan menemaniku makan nasi bebek di emperan trotoar depan kantorku saat malam berkunjung. Matanya yang terlihat cerdik penuh misteri membuatku ingin membedah relung hatinya dan bertanya,”Maukah kau menjadi pacarku?”

Tak mampu aku bersuara. Tenggorokanku tercekat dan kepalaku berdenyut nyeri. Ah, aku sudah kembali ke Bumi rupanya. Inikah pusing tujuh keliling? Belum pernah aku mengalaminya. Badanku lemas dan tak mampu bergerak.  Entah kenapa aku merasa nyaman sekali. Rasa nyaman yang menjalar dari kedua telapak kakiku. Rasanya sungguh menyenangkan. Mungkinkah ini pijatan si Wajah Manis? Atau… Chelsea-kukah ini?

Auuuw!!!

“He! Enak lo ye! Enak?!” suara Ekana terdengar menggelegar mengejutkan. Jari tebalnya yang semula menekan lembut mendadak bagaikan terbuat dari bilah besi. Dengus napasnya bak sapi liar terdengar menghantui diiringi jerit kesakitanku yang panjang.

“Auuw! Auuw..aauuw…auuuuuuuww!!!”

“Rasakan! Rasakan! Ngaca! Tahu gak sih lo kalau disuruh ngaca?”

Ngaca? Kenapa semua orang memintaku untuk berkaca? Ada apa? Kemarin pagi sebelum berangkat aku sudah berkaca. Aku juga sudah menata rambut tipis ala Nicolas Cage-ku yang mulai berguguran dimakan usia. Uban pun belum terlihat. Beberapa kerutan memang bertambah di wajahku dan menjadi hiasan dari pengalaman-pengalaman hidup di bawah Matahari. Tak ada yang salah. Lalu?

“Ini lihat!”

Irma menoyorku sambil memberikan cermin retak milik Barbie.

“Cepetan sih!” ucap Barbie tidak sabar.

Aku berusaha untuk duduk dengan susah payah. Baru kusadari kalau semua mata mengarah kepadaku. Pandangan penuh jijik dan geli terpancar dari mata mereka. Perlahan kuambil kaca retak milik Barbie dengan gemetar.

Aaarrrgghhh!!! Siaaal!!!

Tak sanggup aku menerima kenyataan bayangan sekilas yang kulihat di cermin itu.

“Makanya kalau selesai ngepet, baca mantranya sampai habis. Jangan setengah-setengah! Muke lo ketinggalan!” ujar Bori sambil mengibaskan ekor mungil menggemaskan miliknya dan berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun