Dua musisi senior yakni James F. Sundah dan Sam Bimbo kemarin mendatangi Mabes Polri untuk memberikan informasi (laporan pengaduan?) ke pihak kepolisian terkait perjanjian pembagian keuntungan antara pihak operator (Telkomsel?), Content Provider, label dan musisi yang tidak jelas.
Sam menjelaskan bahwa selama ini tidak pernah diberi laporan yang jelas mengenai jumlah konsumen yang mendownload lagunya. Begitu pun dengan pembagian keuntungan, Sam merasa banyak ketidakjelasan dalam kontrak pembagian keuntungan.
"Berarti seharusnya musisi Indonesia sudah bisa beli pesawat pribadi", ucap Sam saat mendengar tentang kasus sedot pulsa Telkomsel yang nilainya bisa sampai 1 triliun.
Trend industri musik Indonesia beberapa tahun kebelakang memang jadi terfokus ke konten premium Nada Sambung Pribadi (NSP) dan semacamnya. Mungkin ini ulah janji manis operator seperti Telkomsel. Dengan iming-iming komisi Rp300,- per lagu siapa yang tidak tergiur dengan potensinya?
Bayangkan, jumlah pelanggan Telkomsel saja sudah tembus seratus juta. Kalau cuma 1% nya yang mendaftar: sejuta pelanggan x 300 rupiah = Rp 300 juta per lagu!
Tapi ada yang salah dengan model bisnis seperti ini.
Pertama, benarkah masyarakat minat dengan NSP? Awalnya mungkin banyak yang senang karena musisi idolanya 'bernyanyi' di hapenya. Tapi siapa sih yang sebenarnya mendengar nyanyian mereka? Bukan si pemilik/pembayar, tapi penelpon. Coba deh dibandingkan: anda lebih sering menggunakan ponsel untuk telpon-telponan atau SMS/BBM-an? Belum lagi ditambah dengan kualitas audio yang jelek dan biaya yang mahal.
Potensi NSP untuk ditinggalkan pelanggan sangat besar.
Kedua, masyarakat sebenarnya 'dipaksa' untuk berlangganan NSP. Ketika bisnis ini baru muncul, banyak masyarakat yang terhipnotis untuk registrasi karena bujukan lewat SMS. Mereka tidak sadar akan kerugian dan kesulitan yang menunggu di masa depan: NSP ternyata bukan ringtone (yang menikmati bukan dirinya sendiri), biayanya mahal dan ditagih tiap bulan, lalu cara berhenti berlangganannya sulit bukan main.
Jangan heran kalau awalnya jumlah pengguna NSP tinggi. Sebab banyak masyarakat yang tergoda. Tapi ada juga yang memang langsung didaftarkan (secara sepihak) untuk berlangganan oleh operatornya. Awalnya mungkin gratis (selama seminggu). Tapi sayang ketika minggu berikutnya disuruh bayar, pelanggan tersebut sudah keburu menghapus SMS yang berisi petunjuk untuk berhenti berlangganan. Ditanya ke customer service pun pasti tidak menolong. Jebakan betmen.
Lalu kenapa bisnis macam NSP ini bisa muncul?
Mungkin desakan dari dewan direksi soal pertumbuhan omzet. Setiap tahun para operator pasti punya target jumlah pelanggan dan pendapatan. Tapi kadang target tersebut meleset jauh. Seperti Telkomsel misalnya. Target 100 juta pelanggan baru bisa dicapai beberapa bulan yang lalu kan? Padahal itu target mereka untuk tahun 2010.
Jangan heran jika operator seperti Telkomsel seolah akan melakukan segala cara untuk menutupi kekurangan pendapatannya. Termasuk bisnis NSP ini dan konten premium lainnya.
Efeknya adalah, musisi jadi fokus berkarya untuk NSP; yang penting one hit wonder: punya satu lagu yang booming, dan selama setahun musisi itu akan manggung dengan lagu yang itu-itu saja. Lagu-lagu yang beredar pun jadi seragam dan membosankan karena tuntutan pasar. Kreatifitas jadi tumpul!
Sekarang, semua sudah tahu buruknya praktik bisnis ini. Ditambah lagi dengan munculnya kasus sedot pulsa dimana Vice President Telkomsel resmi ditetapkan sebagai tersangka, konten premium semacam ini langsung dihentikan. Masalah lain yang tadinya tertutup mulai terungkap satu persatu, seperti tidak adanya transparansi penghitungan komisi tadi misalnya.
Kini musisi mulai beralih cari penghasilan lewat tampil di panggung-panggung semacam inBox dan Dahsyat. Terserah. Bagi saya yang penting masyarakat tidak ada yang kecurian lagi pulsanya dan tidak ada yang stres lagi karena bingung mencari cara berhenti berlangganannya.
Semoga ulah operator nakal seperti Telkomsel yang mematikan industri dan kreatifitas musisi Indonesia tidak muncul lagi.