Bayangkan apabila beliau tidak melakukan inisiatif tersebut mungkin kondisi listrik di Sumatera Utara khususnya akan semakin parah. Saya bisa melihat di raut muka beliau memang bekerja untuk pengabdian bukan untuk memeperkaya diri sendiri ataupun pihak lain.
Bahkan keuntungan negara yang didapat juga terbukti. Hutagalung mengutip kesaksian Dr. Tri Yuswidjajanto, ahli Sistem Pembangkit Daya dan Perawatan Mesin ITB, yang menegaskan, dalam perkara LTE ini, tidak ada kerugian negara. Sebaliknya, negara dan PLN justru bisa berhemat dan malah untung.
Hal ini bisa di jabarkan sebagai berikut :
Dengan asumsi harga solar non subsidi Rp 12.000/liter, sementara harga Solar subsidi Rp 5.500/liter, maka negara memberi subsidi Rp 6.500/liter. Untuk turbin gas dengan daya 132 MW dan konsumsi Solar subsidi 0,31 liter/kwh, maka beban subsidi Rp 184 juta per jam.
Bila dihitung untuk 309 hari dan dianggap bekerja terus menerus, butuh subsidi Rp 1,365 triliun.
Sementara untuk mengoperasikan dalam jangka waktu tersebut diperlukan biaya BBM sebesar Rp 1,365 triliun dan biaya operasi serta pemeliharaan Rp 819 miliar.
Dengan kata lain tidak beroperasinya unit tersebut ada penghematan sebesar Rp 2,184 triliun di PLN. Jika ini dibandingkan dengan pendapatan PLN yang tidak terealisir menurut perhitungan BPKP sebesar Rp 2,007 triliun, justru terjadi penghematan Rp 177,6 milyar.
Putusan ini masih sulit untuk dimengerti. Saya masih butuh penjelasan dan dasar hukum yang lebih masuk akal apakah alasan para terdakwa hingga masih divonis bersalah. Dituduh merugikan ternyata tidak terbukti, justru yang terbukti malah menguntungkan negara.
Sedikit kesal juga kasus ini terlihat seperti pemaksaan hukuman buat para terdakwa. Bayangkan derita fisik dan mental yang diterima para terdakwa apabila harus menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara padahal tidak melakukan kesalahan. Belum lagi efek psikologis untuk lingkungan korporate sendiri. Dengan segampang itu seseorang dijadikan objek kriminalisasi, akan tumbuh budaya takut pada semua karyawan khususnya pengambil keputusan karena takut dikriminalkan. Bahkan optimalisasi pasokan listrik di Sumatera Utara menjadi semakin terbengkalai karena kriminalisasi ini.
Pak hakim, apabila hati nurani saja anda abaikan, kemana lagi kita akan meminta keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H