Mohon tunggu...
Blontank Poer
Blontank Poer Mohon Tunggu... -

Senang motret, tapi sekarang sedang belajar blogging. Berharap teman-teman mau mengajari saya nge-blog yang baik dan benar, supaya bisa memberi manfaat dan kelak bisa jadi bekal masuk surga (http://blontankpoer.my.id/)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menyimak Akun Pseudonim

10 Oktober 2012   19:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:57 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuai namanya, akun pseudonim adalah akun beridentitas semu. Selalu mengicaukan perkara-perkara sensitif tanpa berani menyebutkan identitas resmi, menjadi petunjuk betapa pembuatnya tidak berani bertanggung jawab atas semua materi yang dibuatnya. Karena itu, memercayai sepenuhnya apa yang mereka kicaukan bisa menjerumuskan kita, selain melecehkan akal sehat.

[caption id="attachment_210798" align="alignright" width="128" caption="Avatar @ratu_adil. Ukuran pixelnya sama persis dengan avatar @TrioMacan2000. Bedanya, avatar ini, menurut metadatanya, merupakan hasil foto yang dibuat pada 19 Juni 2008 pukul 9.47 AM, dengan menggunakan Canon EOS 400D."]

1349895666290687657
1349895666290687657
[/caption] Namun, mengabaikannya seratus persen, sama saja dengan tak acuh terhadap dinamika sosial, politik dan hukum kontemporer. Kicauan @TrioMacan2000 atau @ratu_adil bagi saya, justru memberi ruang interpretasi. Paling sederhana, ia menguji tingkat kritis dan skeptis kita terhadap kebenaran sebuah informasi. Dalam perkara gegeran KPK-Polri yang berujung hadirnya banyak orang membuat pagar betis melindungi penyidik KPK yang akan 'diambil' ratusan polisi, misalnya, kicauan @TrioMacan2000 seperti memberi konfirmasi akan kabar yang beredar, bahwa orang-orang di balik akun itu dekat dengan banyak petinggi kepolisian.

Saya menyarankan agar sesekali menyimak apa yang dikatakan oleh akun-akun pseudonim itu. Keperluannya, ya sekadar mencari referensi awal saja, sambil kita menguji kebenaran informasinya lewat aneka cara. Seperti halnya terhadap pemberitaan media massa utama yang tak boleh kita telan mentah-mentah, kicauan akun pseudonim pun memberi kontribusi memadai, kepada kita. Tinggal pandai-pandainya kita menyaringnya.

***

Perang informasi melalui Internet, dan belakangan dipermudah dengan kehadiran Facebook dan Twitter, bakal kian marak, terutama di negeri yang demokrasinya sedang tumbuh seperti Indonesia. Di Amerika, perang informasi (melalui Internet) sudah menjadi kurikulum wajib bagi militer dan intelijen. Di Indonesia, pun demikian menurut saya.

Peran Internet dan media sosial seperti Facebook, Twitter dan YouTube sudah sangat nyata efektivitasnya digunakan publik dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur DKI, sejak beberapa bulan silam.  Meski tak bisa dibandingkan dengan media mainstream atau media massa tradisional, penyampaian suara publik berhasil menunjukkan efektivitasnya.

Terakhir, ya peristiwa penggerudukan gedung KPK oleh ratusan polisi, baik berpakaian preman maupun berseragam dan bersenjata, Jumat, 5 Oktober hingga keesokan harinya, yang disambung dengan ajakan kumpul publik untuk mendukung KPK di Bundaran Hotel Indonesia, Minggu (7/10) pagi. Seruan di Twitter dengan tagar #saveKPK dan akronim KPK menjadi Kemana Presiden Kita dalam aksi di Bundaran HI, terbukti membuat galau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, dalam konferensi pers di Istana Presiden, Senin (9/10) malam, SBY secara eksplisit mengakui peran media sosial dengan menyatakan ia memantau percakapan publik di Internet.

Bisa jadi, Presiden SBY sadar, jika tak disikapi secara tepat, maka gerakan sosial lewat media sosial akan terus membesar, dan bisa  berujung krisis politik sebagaimana terjadi di jazirah Arab. Apalagi, arus utama publik menumpuk pada persoalan keadilan yang tak kunjung ditunjukkan melalui kinerja aparat kepolisian, sehingga sentimen dukungan diberikan kepada institusi pemberantasan korupsi (KPK). Saya yakin, SBY pun tahu, kekuatan Internet tak mudah ditaklukkan. Bahkan, Pemerintah China pun kewalahan melakukan pembatasan kebebasan bersuara dan mengekspresikan tuntutan keadilan, demokrasi, perlakuan hukum yang setara, dan seterusnya.

Menurut saya, kicauan dari akun-akun pseudonim tetap menarik disimak. Perang opini melalui media sosial akan terus terjadi, apalagi menjelang pemilihan legislatif dan presiden, 2014 mendatang. Kontrol publik akan terus tersuarakan melalui media sosial, dan amplifikasinya tak bisa dikontrol apalagi dihambat dan dilokalisir.  Pada satu sisi, politisi mesti berhati-hati pamer diri dan mengumbar janji, lantaran publik bisa dengan seketika membantah dan menyebarluaskannya.

Akun @hartatimurdaya dan @savepolri bisa menjadi contoh praktek permainan kepentingan.  Pengacara Hartati Murdaya, bekas petingi Partai Demokrat dan pengusaha terkemuka yang sedang kesandung perkara suap dan kini ditahan KPK itu menyatakan kliennya tak memiliki akun Twitter. Bisa jadi, ada pihak lain memanfaatkan nama Hartati untuk menyerang rival-rival politiknya. Uniknya, saat ribut KPK vs Polri, muncul akun @savepolri yang diduga dioperasikan oleh orang yang sama. Buktinya, admin kedua akun itu terpeleset, melakukan mention ke akun @AlissaWahid dengan pernyataan yang sama di menit yang sama, dengan dua akun berbeda.

Bagi saya, 'kecelakaan' itu memberi bekal kepada kita untuk mengira-ira untuk siapadi balik akun tersebut. Petunjuknya jelas: pengelola kedua akun adalah pihak yang diduga kuat anti terhadap KPK, dan sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun