Suka-tidak suka, ‘kehadiran’ Pak Jokowi di DKI saya anggap telah mendobrak tradisi politik berebut kuasa dan kue, yang menjadi tren orde reformasi. Kemenangannya pada putaran pertama Pemilihan Gubernur adalah isyarat akan besarnya keinginan ‘rakyat Indonesia’ untuk move on, berubah dari yang sudah-sudah. Kemenangannya, kelak, bagi saya hanyalah bonus.
Andai perjuangan politiknya berbuah manis pada 20 September nanti, apalagi jika kemenangannya melawan incumbent tidak hanya berselisih perolehan suara yang tipis, maka rakyat Indonesia pantas merayakannya bersama-sama. Kesimpulan itu diambil karena Jakarta merupakan etalase dan miniatur keragaman (etnis, agama, dan sebagainya).
Yang terbayang di benak saya, kini, adalah bagaimana figur politisi seperti Jokowi yang dikenal memiliki integritas dan kapabilitas me-manage birokrasi menjadi efektif, tanpa harus mengorbankan banyak pihak, termasuk dirinya sendiri.
Satu hal yang harus kita pahami adalah, Jokowi tidak harus mengeluarkan biaya pendaftaran ke partai-partai pengusungnya. Asal tahu saja, seorang kandidat kepala daerah harus merogoh ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk sebuah SK, Surat Keputusan atau rekomendasi partai sebagai syarat sahnya pencalonan (selain syarat khusus untuk calon independen) yang diwajibkan oleh komisi pemilihan (KPUD). (Silakan baca Matematika Pilkada dan Beli Suara Pikada sebagai referensi).
Selain biaya pendaftaran (yang biasanya permainan oknum politisi di DPP Partai), seorang kandidat harus mengeluarkan biaya kampanye yang tak sedikit. Di Jawa Tengah saja, menurut penuturan seorang aktivis politik, seseorang harus menyiapkan biaya hingga ratusan miliar rupiah untuk pembiayaan kampanye.
Selain dari kocek pribadi, saweran dari individu dan/atau pengusaha (putih maupun hitam) biasanya mendominasi besaran total biaya kampanye. Sebagai kompensasinya, sang penyawer akan beroleh konsesi proyek-proyek pemerintah, jika sang kadidat memenangi pertarungan. Asal tahu saja, seorang teman yang kebetulan jadi tangan kanan pengusaha besar, pernah berkali-kali menelepon saya, menanyakan kepastian maju/tidaknya Jokowi ke bursa pencalonan kandidat Gubernur DKI. Sang teman bercerita, boss-nya ingin ikut membiayai Jokowi jika ia tak maju ke DKI, melainkan di Jawa Tengah.
Bahkan, ketika Fauzi Bowo dipanggil ke Cikeas, sang teman yang mengaku ikut serta menemani boss-nya meluncur ke Cikeas saat itu, masih menanyakan keseriusan pencalonan Jokowi, melalui saluran telepon. Soal benar/tidaknya cerita sang teman, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Yang jelas, ia meminta saya untuk membantu mempertemukan the big boss dengan Pak Jokowi. (Dan ini aneh juga. Wong saya bukan siapa-siapanya Pak Jokowi, kok diminta bantuan mempertemukan sebuah kepentingan demikian).
Sang teman bercerita panjang lebar, bahwa sang pengusaha yang diwakilinya, sudah tak mau membiayai siapapun calon gubernur Jawa Tengah pada pemilihan 2013 mendatang, seraya menyebut beberapa nama penting, bahkan dari beberapa partai besar.
Mungkin, sang teman tak paham seperti apa moral politik Jokowi, yang tak pernah mau terbebani utang budi, bahkan kepada beberapa pengusaha asal Solo, untuk urusan ‘sederhana’ sekalipun. Silakan baca ini.
Pak Jokowi justru memilih pola partisipasi publik dalam pencalonannya. Ia memperkenalkan baju motif kotak-kotak sebagai strategi diferensiasi, sekaligus mengajak keikutsertaan yang nyata kepada publik, sambil menakar kesungguhan dukungannya. Dan ajaibnya, publik rela membeli baju yang diproduksi Pak Jokowi dan relawan pendukungnya, di mana keuntungan hasil penjualannya digunakan untuk pembiayaan kampanyenya.
Ini bukan saja peristiwa politik biasa. Lebih dari itu, orang rela menebus harapan akan perubahan secara nyata, sehingga benar-benar membalik keyakinan mayoritas politisi kita, bahwa para individu pemilih rela menggadaikan suaranya dengan sogokan. “Serangan fajar” yang dianggap lazim, bahkan konon termasuk rekomendasi resmi kebanyakan lembaga konsultan politik demi sebuah kemenangan kliennya, menjadi tidak berlaku di pemilihan gubernur DKI pada putaran pertama.
Jika koalisi PDIP-Gerindra yang pada pemilu legislatif lalu hanya berhasil meraih 18 persen suara, maka kelebihan 25 persen angka kemenangan bisa disebut hasil resmi dukungan kepada masing-masing individu, baik Jokowi maupun Basuki. Incumbent yang didukung banyak partai besar, pun tumbang dengan jebloknya perolehan suara. Begitu pula kandidat-kandidat lain, yang seharusnya memiliki jumlah suara tertentu, merosot sebagian besarnya.
Serangan-serangan bernada hasutan dengan isu SARA dari para pendukung rival Jokowi/Basuki, bahkan ditanggapi sinis oleh kebanyakan orang, dari seluruh penjuru Nusantara. Hal itu bisa disimak di percakapan hampir semua media sosial dan Internet. Peristiwa ‘petasan’ yang disebut sebagai ‘granat’ atau ‘bom’ di Solo pada malamtakbiran, misalnya, justru direspon publik sebagai bentuk rekayasa untuk sabotase atau kampanye hitam untuk menjegal kemenangan Jokowi (dan Basuki).
Rhoma Irama pun turut menjadi ‘korban’, di-bully habis-habisan oleh pengguna Internet selama beberapa pekan. Begitu pula akun Twitter @TrioMacan2000 yang konon kehilangan banyak followers lantaran berubah sikap, dari semula memuji Jokowi menjadi penyebar informasi memojokkan Jokowi dan Basuki. Tak kurang, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan sejumlah elitnya sempat dijadikan sebagai bahan olok-olok lantaran berbalik dari memojokkan Fauzi Bowo menjadi berkoalisi untuk kemenangan sang incumbent.
Siapapun yang menyudutkan Jokowi/Basuki, sepertinya akan berhadapan dengan publik. Vox populi vox dei sepertinya seturut dengan harapan publik akan terjadinya perubahan politik. Orang yang menyudutkan Jokowi/Basuki, seolah-olah dianggap pengagum Machiavelli, sehingga rela membabi buta, menghalalkan segala cara untuk merebut jabatan dan kekuasaan.
Bahwa dalam politik semua bisa terjadi, semua sudah mafhum. Termasuk analogi “tak ada makan siang gratis” untuk sebuah persekutuan menggapai kekuasaan.
Kini rakyat Indonesia tinggal menunggu tanggal mainnya. Hari ke-20 bulan September 2012 akan menjadi momentum bersejarah. Akankah harapan publik bisa ditukar janji dan iming-iming materi, atau sebaliknya, justru meneguhkan sikap mereka pada putaran pertama pemilihan?
Yang jelas, saya meyakini, para pemilih Jokowi/Basuki kemarin, akan lebih giat mengajak kawan, kerabat dan kenalan mereka, untuk memenangkan pada putaran kedua. Sebagian besar kelas menengah yang kemarin golput alias tidak memilih, menurut prediksi saya, telah menyesal karena kemarin tidak turut serta menyumbangkan dukungan mereka.
Andai Jokowi/Basuki keluar sebagai pemenang, dampak positif bagi Indonesia kelak, adalah rakyat di mana-mana akan meniru apa yang terjadi di Jakarta. Dengan begitu, bukan kandidat kaya raya atau didukung elit partai yang akan dipilih, melainkan mereka yang kwalitas kemanusiaannya sudah terbukti, dan teruji. Saya menduga, calon yang pamer kekayaan hanya akan ‘diperas’ (dalam arti uangnya diterima), namun tetap otonom dalam soal menentukan pilihan. Politisi pun akan hati-hati berpolitik dengan cara kotor.
Mungkin saya kelewat berlebihan dalam berpendapat. Tapi, Insya Allah, saya menuliskan hal demikian bukan lantaran saya menjadi pendukung Jokowi, melainkan lebih didorong oleh naluri berpolitik yang saya yakini selama ini. Jokowi bukan nabi. Ia pasti punya banyak kekurangan yang manusiawi sifatnya. Tapi jika ditimbang positif dan negatifnya, bisa-bisa perbandingannya masih 99:1!
Saya percaya, kebanyakan bangsa kita, juga warga DKI Jakarta, mendambakan sosok pemimpin yang memang bisa menenggang rasa, mau dan mampu berempati terhadap yang lemah dan terpinggirkan, sehingga tidak membuat jarak dengan siapa saja. Pada sisi ini, saya kira tak ada yang bisa menandingi karakter dasar seorang Joko Widodo.
Satu hal yang sering dilupakan para politisi kita, bahwa tindak-tanduk dan tata krama berbicara, bisa dirumuskan lewat ‘kursus singkat’ oleh konsultan komunikasi dan pebisnis jasa pencitraan. Baik kandidat maupun koonsultan pada lupa, watak dan karakter tidak bisa dipelajari dan dipraktekkan secara instan.
Orang bermain teater saja butuh bedah naskah, menghafal dialog, dan proses internalisasi karakter lewat latihan panjang dengan intensitas tinggi. Latihan tiap hari selama tiga bulan, pun belum cukup untuk mementaskan sebuah naskah drama dengan penokohan yang tepat. Celakanya, kebanyakan politisi kita seperti pemain opera sabun atau sinetron serial, di mana ia baru membaca naskah dengan dialog dan penokohan yang diarahkan oleh sutradara sesaat menjelang proses syuting. Jika gagal, maka tinggal dilakukan retake, persis seperti kebanyakan sutradara sinetron dan film kita, saat ini.
Catatan: tulisan ini dipublikasikan di personal blog saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H