Cimanuk, sepanjang aliranmu adalah kisah yang akan bermuara di laut utara dan hilang bersama buih ombak
Juni, awal dimana sungai itu sedikit bermalas-malasan dengan arusnya, karena semenjak memasuki bulan maret, musim penghujan telah reda, berganti kemarau yang sibuk akan terik matahari. Tapi tidak dengan tahun ini, Juni sekarang bukanlah Juni saat Sapardi menciptakan puisi ‘Hujan di bulan Juni’ itu dulu. Sebab Maret atau Juni bukan lagi menjadi patokan musim kemarau atau hujan?
Winarti, aku mengingatmu saat aku melihat sungai, sungai apapun itu, sebab kau sendiri pernah menceritakan tentang kegemaranmu menyambangi sungai-sungai, ladang, sawah dan gang-gang sempit. Dan sungailah yang berkesan dalam ceritamu yang ku ingat
“maaf, aku sedikit mengenang karena keberadaanku persis di sebuah sungai, sekali lagi aku mengenangmu”
Kau mengatakan, di hulu sana yang dekat dengan rumahmu, sungai adalah sumber kehidupan, banyak batu-batu besar yang saling bertengger diantara aliran sungai dan itulah sebabnya sungai dihulu menjadi bening, ketimbang di hilir.
Banyak orang yang mengandalkan sungai sebagai sumber kehidupannya, mencari ikan, batu, dan pasir.
Di sungai Cimanukpun tak jauh beda, banyak penambang pasir yang berlalu-lalang dengan sampan kecilnya melaju melawan arus yang tenang, sehingga setiap lajunya menciptakan anak ombak yang salin berkejaran, lalu, hilang setelah menepi.
“oh iya Winarti, aku belum sempat menceritakan kepadamu tentang sungai Cimanuk ini”
Sungai ini sungai terpanjang di Jawa Barat, sungai hasil dari percabangan di Rentang sana. Maka tak heran jika disungai ini menjadi legenda yang fenomenal dikalangan masyarakat, berbeda dengan sungai yang pernah kau ceritakan di Hulu sana, sekalipun setiap sungai memiliki legenda yang beragam, tanpa terkecuali Cimanuk.
“Winarti, sebelum kita tidak bertemu lagi hingga hari ini, aku tak sempat mengajakmu kemari, menaiki perahu yang disekat oleh tambang dan tambang itu dari besi yang di bentangkan sepanjang sisi sungai. Hebat, bukan?”
Perahu tambang hanya berjalan miring, saat akan berlayar menuju tepi di seberang sungai, perahu itu hanya bolak-balik di tempat sebab di ujung perahu itu telah terikat oleh tambang yang membentang tadi.
“oh ya Winarti, kapan kau akan muncul kembali setelah pergi tanpa permisi?”
Aku akan mengajakmu nanti, ke sebuah tempat di tepi sungai, tepatnya di tanggul yang paling tinggi. Di sana kita akan menyaksikan pemandangan yang jarang sekali kau lihat, dari atas tanggul itu kita akan melihat jembatan buatan Belanda yang masih kokoh sampai sekarang. Jembatan itu yang menghubungkan jalur pantura dengan jalur alternativ menuju Cirebon. Jika kita melihat ke arah selatan kita akan melihat pipa besar yang di topangi besi-besi berkarat, besi-besi yang menghubungkan pipa agar lebih tabah menyeberangngi sungai Cimanuk.
“Winarti, sayangnya kau tak perna ada saat aku berada di sungai ini!”
Bagiku, Cimanuk bukan sekedar sungai biasa, bukan sungai yang mengalir airnya selalu landai, kadang ia bertingkah binal seperti kerasukan, Tapi, ajaibnya sungai ini adalah selalu memberikan pesona yang tak terkalahkan ketimbang sungai lainnya.
Setiap pagi dan sore, sepanjang musim kemarau, banyak sekali berduyun-duyun Urang-ayu yang sering bertengger di bibir sungai, Urang ayu sendiri adalah sebutan untuk wanita yang mandi di sungai, baik tua maupun muda. Mereka kerap kali mandi di sungai, mencuci baju dan bermain air. Ini memang benar-benar terjadi. Tanpa rasa malu kadang mereka juga sengaja memamerkan tubuhnya yang sintal, sehingga membuat orang yang melewati sungai itu gagal fokus dengan tujuannya. Mereka senang jika ada yang mensoraki dari atas jembatan, kadang ada juga yang merasa malu dan melipat tubuh mereka dengan tapih.
Ketika musim hujan tiba, tak tampak satupun Urang ayu yang bertengger di bibir sungai, mereka bermigrasi, mencari tempat mandi yang lain, kebanyakan mereka mandi di Balong, sumur dan air yang sengaja mereka beli ke tetangga mereka yang memasang air PDAM, orang-orang menamaknnya ngangsu.
“apakah kau tau Winarti, seperti apa binalnya Cimanuk?”
Ini biasannya terjadi setelah musim kemarau berhenti, ketika musim hujan tiba, ketika di hulu sana diguyur hujan, dan airnya tak tertampung hingga Cimanuk menjadi solusi dibukanya pintu air di Rentang sana!
Cimanuk menjadi binal, seperti kerasukan mahluk halus yang meminta tumbal, airnya mengalir teramat deras, kadang saat seperti inilah yang ditunggu-tunggu penambang pasir, mereka anggap sebagai hari libur, karena saat sungai deras pasir sulit didapat, tak jauh bedanya dengan penambang perahu, mereka para penambang biasanya menghabiskan waktu mereka diwarung kopi yang sengaja dibangun dekat penyebrangan, menunggu sungai itu surut yang tiba-tiba banjir lagi.
Cimanuk. Nama yang sederhana, seperti panorama yang disajikannya, sungai besar yang teramat murung. Sepanjang alirannya selalu dirundung kenangan yang selalu terbendung.
Maaf Winarti, hingga hari ini aku tak sempat mengajakmu kemari.
Indramayu, 20 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H