Sudah berapa malam hujan selalu turun tanpa isyarat, biasanya hujun turun lamat-lamat dari pukul sebelas sampai pukul tiga dini hari, aku suka dengan kejutan tuhan yang satu ini. Datang tanpa mengetuk pintu lalu pulang tak tampak punggung, tapi hujan selalu datang dengan membawa aroma yang khas, aroma yang bersumber dari tanah yang seharian dipanggang matahari. Setelah hujan. latar, jalan, pohon menjadi basah. Ada kenang-kenangan yang ditinggalkan olehnya
Semenjak kejutan hujan mulai sering turun, aku selalu menunggu dimuka rumah kontrakanku, rumah yang kusewa bersama teman-teman seangkatan kuliah beberapa bulan lalu. Kopi sudah tersaji, beberapa batang rokok telah kupersiapkan sebelumnya. “Hanya untuk menyaksikan hujan dari jam sebelas malam sampai jam tiga pagi kamu repot benar buat mempersiapkanya” timpal seorang temanku dari dalam. “aku menikmati suasana yang penuh kejutan, karena hidup tak selamanya begitu-begitu saja” balasku.
“sebentar lagi hujan pasti akan turun” ucapku dalam hati. Sececap kopi kuteguk, lalu rokok kunyalakan. Beberapa detik kemudian. Benar saja, hujan datang, iringan angin seakan menambah kenikmatan cecapan kopi dan hisapan rokok malam ini.
Dalam rinai hujan yang ber-rytme sedang, aku mengingat cerita ibuku saat hujan turun. Konon, saat hujan turun sering kali ada saja orang yang tidak sengaja melihat orang melintas dalam derai hujan, orang itu berpayung hitam, pakaian hitam dan semua yang ia kenakan serba hitam. Orang itu bukan mahluk biasa, tapi jin yang menjelma menjadi manusia, ia senantiasa menakut-nakuti orang yang sedang hujan-hujanan, kadang ia berpura-pura menawarkan jasa untuk berpayung bersamanya. Lalu setelah orang itu terperangkap dalam bujuknya, orang itu melintas diantara lebatnya hujan, dan tak pernah sampai pada tujuan. Entah hilang kemana...
Pernah suatu ketika diakhir tahun 80, ibuku dan teman sebayanya yang terdiri dari empat perempuan dan dua laki-laki baru saja pulang dari pengajian, karena waktu itu belum ada listrik, ibuku dan beberapa temanya hanya mengandalkan cempor untuk menerangi perjalanan, waktu itu jalanan masih belum beraspal dan masih banyak pohon besar yang dibalut kain lawon. ditengah jalan tiba-tiba hujan turun, serontak ibuku dan beberapa temanya berteduh dibawah salah satu pohon besar itu. Tapi salah seorang teman ibuku terpisah dari rombongan, Sadirah namanya, teman temanya biasa memanggilnya Dirot. Dirot terpisah dua batang pohon. Ibuku dan beberapa temanya tidak khawatir karena dirot memang orangnya suka dengan kesendirian, tidak umum.
Setengah jam berlalu, hujan masih terus menggelayuti suasana pedesaan yang beranjak sepi. Dan ibuku, beberapa temanya masih berdiri ditempat yang sama, termasuk Dirot yang masih berdiri mematung memandang hujan. Beberapa saat kemudian kejadian aneh itu menimpa Dirot, ia tidak sepatah kata permisi menghilang dari bawah pohon rindang itu. Salah seorang teman ibuku, Karti melihatnya pergi bersama orang yang memakai payung hitam, pakaian hitam, dan serba hitam. Serontak semuanya berlarian. Menerjang hujan dan kembali kerumah masing-masing. Karena mereka tahu bahwa yang membawa dirot adalah setan payung.
Ibuku berlari sekencang-kencangnya bersama karti, tetangganya. Sesampainya dirumah, tanpa uluk salam menerobos pintu yang tidak terkunci. Dari nafasnya yang ter-enggal-enggal ibuku menceritakan sesungguhnya kepada seisi rumah. Kakeku, nenekku, uwaku serontak tercenganang. Mereka dengan segera membawa perkakas yang dapat berbunyi nyaring seperti gogol, sendok, piring, martil untuk dipukul-pukulkan. Kakekku berlari kerumah Dirot yang hanya jaraknya diseberang jalan saja. Wa Capeng, begitu ibuku menyebutnya, wanita tua penjual lotek. Itu kaget mendengar berita hilangnya Dirot, anaknya yang ditungkrub setan payung. Pada malam itu juga semua warga geger dengan hilangnya dirot, beberapa warga ada yang cemas, takut dan menyembunyikan anak-anak mereka. Konon kata seorang ulama disitu, “setan payung hanya dapat diusir dengan membaca ayat kursi, juga dengan tidak keluyuran kalau sudah malam, kalau nanti tidak sengaja bertemu dijalan dan mengajak pergi. Jangan mudah percaya, setan payung pandai bertipu daya, dapat menjelma menjadi wanita berparas rupawan, laki-laki yang tampan dan lain sebagainya” pesan wa Warli selaku pemuka agama di desa ibuku. Beberapa warga manggut-manggut mendengar nasehat kiai desa itu, beberapa warga yang lain saling berbisik terkait hilangnya Dirot, ada pula yang bermain senter corot sana corot sini.
Setelah warga berkumpul, akhirnya Wa Doglong, selaku ketua Rt setempat mengambil alih menjadi instruktur pencarian hilangnya Dirot. “para warga sekalian, perlu kalian ketahui. Bahwa hilangnya Dirot adalah peringatan buat kita, bahwa orang tua harus pandai pandai menjaga anaknya. Ini adalah pelajaran berharga buat kita, juga pandai – pandailah menjaga diri, selalu berlindung kepada Allah. Karena setan payung sendiri tidak hanya menungkrub anak-anak dan orang dewasa, tapi juga seumuran kita masih jadi sasaranya. Oleh karena itu sebelum kita mencari keberadaan Dirot dengan membawa peralatan yang berbunyi nyaring masing-masing, alangkah baiknya kita sama-sama mohon perlindungan kepada Allah, agar proses pencarian Dirot dimudahkan dan dapat ditemukan dengan keadaan masih bernyawa” pesan pak Rt...
“Wa Doglong, bagaimana kalau kita dibagi menjadi kedalam empat kelompok”usul Talim, salah seorang pemuda .
“usulan yang baik, juga saya sarankan agar yang mencari Dirot cukup laki-laki saja, para ibu-ibu, anak-anak dan yang masih belum cukup usia sebaiknya dirumah saja. Tunggu berita selanjutnya!” perintah Rt
“juga mari kita bagi bapak-bapak dan para pemuda untuk membagi dengan suka rela menjadi empat kelompok. Dan buat ibu-ibu silahkan kembali ke rumah!”
Dengan rasa kecewa ibu-ibu semuanya kembali kerumah masing-masing dengan perasaan kecewa, termasuk ibuku saat itu. Hanya kakek yang ikut, dan wa Maming. Kakak ibuku yang ikut
Aku sendiri bingung cerita selanjutnya dari ibuku. Seperti cerita yang disingkat, dengan ending Dirot ditemukan di tanggul kali dekat tambangan[4] . Dirot ditemukan dalam keadaan sehat, dibawah pohon rangdu tua belakang balai desa, “pohon rangdu itu memang angker“ kata ibuku. Sudah banyak sekali orang yang ditakut-takuti oleh penghuni pohon itu. Disamping pohon rangdu ada waru doyong, pohon waru yang rantingnya seperti membungkuk, konon dari pohon itu sering kali terdengan suara cekikikan seorang perempuan, sekarang pohon waru itu sudah ditebang, kecuali pohon rangdu yang sampai saat ini masih perkasa menjulang.
Sudah pukul dua, tak sadar sedari tadi aku melamun menikmati rintik hujan lebih dari dua jam. Kuteguk kembali kopi hitam dari cawanya, kunyalakan kembali tembakau yang terlinting rapi menyerupai pipa padat itu. Hujan sedikit reda, pelan-pelan ia berhenti menyisahkan jalanan yang tergenang air. Kabut sedikit-sedikit mengendap mengenai pucuk pohon mangga, berlahan mengendap menghalangi pandangan. “inilah hidup, penuh misteri, kadang diluar nalar dan logika, kecuali kopi yang tak pernah habis dibahas karena mitos-mitosnya” gumamku dalam hati...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H