Academic Misconduct, atau pelanggaran akademik disebut juga sebagai tindakan yang merugikan integritas akademik. Kampus bukan saja tempat menimba ilmu di bangku perkuliahan. Tetapi juga sebagai Komunitas akademik bagi warga kampus, yang terdiri dari mahasiswa dan dosen untuk belajar, berdiskusi, dan mengembangkan diri.
Hak intelektualitas merupakan pondasi tertinggi, di lingkungan kampus. Karena Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagai dasar utama dalam kegiatan akademis dan penelitian di perguruan tinggi.Â
Apa jadinya, HAKI tidak terjaga dengan baik di lingkungan Kampus?
Tanpa kebijakan formal yang mengatur kepemilikan dan penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dilingkungan kampus baik, universitas dan perguruan tinggi.
Setidaknya, ada 5 konsekuensi yang ditimbulkan akibat tidak terjaganya HAKI dengan baik, di lingkungan kampus. Apa saja?
- ketidakpastian: tanpa kebijakan yang jelas, baik mahasiswa dan dosen, sebagai bagian dari kepentingan di kampus tidak tahu hak dan kewajibannya terkait hasil penelitian dan inovasi
- Kehilangan peluang: terjadinya kehilangan peluang untuk mengoptimalkan hasil penelitian di lingkungan universitas dan lembaga penelitian publik.
- kerugian Ekonomi: kekayaan intelektual yang tidak terlindungi atau tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan kerugian secara ekonomi. Berdampak pada Universitas dan peneliti berpotensi kehilangan pendapatan dari lisensi, paten, atau produk yang dapat dikembangkan dari hasil penelitian.
- ketidakseimbangan kolaborasi: ketidak jelasan tentang kepemilikan dan penggunaan HAKI dapat mengganggu kolaborasi antara universitas dan mitra komersial.
- ketidakberlanjutan inovasi: tanpa kebijakan yang mendukung komersial hasil penelitian, inovasi akan terhambat. Universitas dan peneliti perlu mendorong transformasi penemuan menjadi produk dan layanan masyarakat yang bermanfaat.
Praktik plagiarisme, daur ulang yang disebut juga dengan paper mills, yaitu praktik memproduksi artikel ilmiah untuk di jual kembali, sangatlah di larang.Â
Bahkan saat seorang penulis skripsi, thesisis maupun disertasi, saat mengutip suatu kalimat, pendapat orang lain, sumber kutipan, dari buku atau karya ilmiah mana diambil harus di cantumkan.
Mengapa Praktik Academic Misconduct dan Paper Mills, terjadi di lingkungan kampus?
Fenomena academic misconduct, yang dilakukan oleh dosen dan guru besar mulai mencuat ke publik. Bahkan ironisnya, kejadiannya ini juga menimpa beberapa guru besar di Universitas ternama di tanah air.
Praktik Academic Misconduct dan paper mills terjadi karena ingin mendapatkan sebuah karya ilmiah, artikel ilmiah yang diterbitkan melalui Jurnal Internasional.
Secara instan dilakukan, dengan cara membayar sejumlah uang kepada penyedia jasa perdagangan artikel (paper mills). Biasanya yang terjadi, adalah tawaran berupa iklan-iklan yang mempromosikan judul-judul paper sebelum tulisan tersebut di publikasikan.
Menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tanggal 19 April 2024, mengatakan " Beberapa kajian menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara tertinggi yang memproduksi artikel semacam itu."
Pelanggaran Academic Misconduct terjadi karena beberapa diantara persyaratan menjadi seorang guru besar, sesuai PERMENPAN-RB Nomor 46 tahun 2013, yaitu calon guru besar bisa di dapatkan kurang dari tiga tahun setelah lulus S-3, syaratnya menambah satu artikel di Jurnal Internasional bereputasi.
Dan tawaran untuk mendapatkan artikel ilmiah melalui paper mills, ditengah maraknya media sosial, bisa didapatkan dengan mudah melalui facebook atau telegram. Dan ada juga yang ditawarkan melalui forum di website tertentu dan group whatsApp.Â
Apa saja Jenis Penyimpangan Akademik dalam Penulisan Karya Ilmiah?
Berdasarkan catatan penulis, dari berbagai sumber yang termasuk ke dalam katagori penyimpangan dan Academic misconduct, yaitu :
Pertama, Pabrikasi dan pemalsuan: penelitian yang harus dilakukan sesuai prosedur yang dilakukan, di dasarkan pada data hasil rekayasa, manipulasi dan fiktif belaka.
Kedua, Plagiarisme: melakukan copypaste, mengambil karya orang lain, baik kata-kata, atau ide orang lain sebagai karya sendiri tanpa izin pemilik karya ilmiah atau artikel ilmiah tersebut.
Ketiga, penyalahguna an dana: penyalahgunaan dana dilakukan menggunakan dana penelitian untuk kepentingan lain.
keempat, Pabrik artikel atau Paper mills: pembuatan karya ilmiah yang sudah jadi dan bisa digunakan ditawarkan dengan harga tertentu kepada akademikus lain. Tentunya dengan sejumlah imbalan uang dengan berbagai tingkatan jurnal, sesuai dengan kredibilitas jurnal yang menerbitkan.
Kelima, Pengajuan secara banyak: Artikel yang sama dipublikasikan di jurnal yang berbeda atau lebih dari satu jurnal tanpa memberitahukan kepada yang bersangkutan sebagai orang yang menjadi penulisnya.Â
Selain itu potensi penyimpangan tulisan ilmiah terjadi pada saat fase penelitian, fase penerbitan, dan pada fase publikasi.Â
Maraknya artikel abal-abal yang didapatkan secara instant melalui paper mills, yang dengan mudah seseorang untuk memenuhi persyaratan akademis mendapatkan gelar akademik dan guru besar, mencederai hak intelektalitas di lingkungan kampus.Â
Untuk mencapai nilai Kredit Usaha Mandiri (KUM) dengan batas 850 untuk mencapai gelar guru besar, membuat para dosen berlomba-lomba membuat artikel di jurnal internasional.Â
Selain itu kampus juga mengharuskan dosennya yang memenuhi syarat lainnya, segera menjadi guru besar. Karena jumlah guru besar atau lektor kepala akan mempengaruhi akreditasi kampus.Â
Jadilah paper mills, hingga jurnal predator menjadi solusi yang banyak diambil peneliti Indonesia, meskipun cara tersebut termasuk academic miscounduct, dan merusak dunia akademik.Â
Bagaimana cara menghindari Academic Misconduct?
Cara menghindari pelanggaran akademik dan praktik Academic Misconduct, terkembali kepada insan akademik dan kemauan kuat untuk menghargai HAKI sebagai upaya memupuk budaya integritas akademik.
Beberapa langkah yang dapat membantu menciptkan budaya integritas akademik di lingkungan kampus, yaitu :Â
1. Tegaskan harapan integritas akademik, dengan cara memulai penerapannya dari awal mengikuti perkuliahan, dengan menjelaskan pelanggaran integritas akademik seperti plagiarisme dan mencontek.
2. Adanya dorongan dukungan Mahasiswa, dengan cara memberikan kebijakan yang mendukung integritas akademik. Dengan membuat mereka bertanggung jawab menjaga integritas di lingkungan akademik atau kampus.
3. Mengurang peluang pelanggaran, dengan cara mengurangi kesempatan mencontek saat ujian, bagaimana cara mengutip sebuah tulisan yang benar, dan pentingnya menghargai tulisan orang lain, termasuk hak cipta.Â
4.Melakukan penindakan terhadap pelanggaran, bila ada yang melanggar kebijakan integritas, segera tindaklanjuti dengan mengacu pada dekan mahasiswa atau pihak yang berwenang.
Di akhir tulisan ini, saya memberikan kesimpulan academic misconduct dan paper mills, adalah masalah serius dalam dunia pendidikan dan penelitian. Beberapa catatan yang saya berikan dalam tulisan ini, sebagai kesimpulan yaitu: pendidikan dan kesadaran pentingnya etika akademik harus di mulai sejak dini, kode etik yang menjauhi tentang plagiarisme, pemalsuan data, dan kerjasama yang sah.
Pelatihan yang diberikan kepada mahasiswa dan peneliti tentang bagaimana menghindari perilaku yang melanggar etika, deteksi penggunaan plagiarisme dan pemalsuan data, pemberian sanksi, kerjasama internasional untuk mengatasi paper mills.Â
Transparansi lembaga tentang tindakan yang diambil terhadap pelanggaran etika dan terakhir pentingnya penegakan hukum, dengan memberikan hukum dengan tegas terhadap pelaku paper mills dan academic misconduct. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H