"Jadilah guru, seperti akar pohon yang kuat menembus tanah. Daunya menari-nari mengikuti irama angin, dan cabangnya memberikan tempat berteduh bagi siapa pun yang membutuhkan. Jadilah guru, yang menggerakkan hati dan pikiran, seperti aliran sungai yang mengalir terus, tanpa henti"
"Iya mas Hidayat, saya paham. Kadang saya jengkel juga. Selalu, apa yang diperbuat Guru Penggerak salah!."Â
"Kudu sabar, Mbak?. Biasalah namanya sebuah program pendidikan, pasti ada yang tidak suka.Udah dari dulukan?."
"Betul itu, kata Pak ketua, sampeyan mesti jadi katak tuli, Mbak !, hahaha." timpal Gita, sambil tertawa.
Mereka terlibat percakapan hangat. Biasa, setiap sebulan sekali para guru penggerak, ngumpul bareng, ketemu teman satu angkatan, sampai dengan lintas angkatan.
"Dulu, ada yang namanya Guru Pembelajar, ribut juga. Kok sekolah itu-itu saja, yang jadi Piloting?. Kapan negeri ini maju, kalau gurunya selalu ribut sendiri?." kata mugirotin, guru penggerak yang kini telah diangkat jadi Pengawas.
Sesaat, Pak hafid memperlihatkan layar ponselnya dan menyerahkan pada Ketua Komunitas guru penggerak. Mereka lalu memperhatikan tulisan dilayar ponsel tersebut, secara bergantian.
"Coba baca itu mas Ketua, tulisan seorang Blogger, yang notabene seorang guru penggerak juga, eh malah suka clik bait, menulis negatif tentang guru penggerak." ucap Hafid.
"Siapa sih Pak?, kok gitu ya?." sergah Gita, sambil meminta ponsel tersebut, untuk dilihat tulisannya.
" Om Pram. Sampeyan gak ngerti, siapa itu Om Pram?. Beliau itu suka mengkritik Guru Penggerak, guru penggerak sombonglah. Guru Penggerak suka meninggalkan tugas mengajar. Tidak bisa apa-apa, bla-bla-bla.Â
"Intinya, beliau itu guru penggerak juga, cuman beliau penulis di sebuah media blogger besar nasional. Banyak Guru Penggerak yang jengkel membaca tulisan Om Pram." jelas Pak Hafid.