Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bidan Nurhasanah (1)

19 April 2024   17:41 Diperbarui: 19 April 2024   17:42 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

Kami adalah orang-orang yang tersembunyi dari keramaian. Berteman pekatnya malam, ditemani lentera minyak tanah,  berliuk-liuk, menghibur kesunyian dari bilik di tanah rantau.

Tahun kedua, Nurhasanah, menjalankan tugas negara sebagai bidan desa, dipemukiman transmigrasi. Kampung ini, bertanah gersang dan berbatu. Sebuah anak sungai, membelah kampung transmigrasi tersebut menjadi dua. 

Airnya akan mengalir dari hulu kehilir di saat musim hujan. Dan kering kerontang, bila musim kemarau. Untuk kebutuhan air bersih, selain anak sungai, warga kampung menadah air hujan.

Nurhasanah, tidak sendiri di kampung transmigrasi ini sebagai petugas negara. Ada Pak Mantri Eko, sebagai Kepala puskesmas di kampung tersebut, rekannya satu profesi sebagai tenaga kesehatan.

Selain itu Babinsa, Pak Sadino yang tinggal bersama keluarga di rumah kopel, bersebelahan dengan Nurhasanah. Setidaknya, bidan Nurhasanah, merasa aman dan nyaman bertetangga dengan seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa).

Ilustrasi anak sungai yang membelah kampung transmigrasi diolah menggunakan Ai Bing (Dokpri)
Ilustrasi anak sungai yang membelah kampung transmigrasi diolah menggunakan Ai Bing (Dokpri)

Tidak jauh dari rumahnya, dibalik bukit kecil, Ada pak guru yang baru saja ditugaskan dikampung tersebut, berasal dari Kota Samarinda dan di kota tanjung redeb. 

Dan ada Pak Deni, seorang penyuluh Keluarga berencana (KB), yang berperawakan cungkring, dan menjadi mitra Nurhasanah sebagai tenaga kesehatan.

***

"Tok-tok-tok!, Assalamualaikum, selamat sore bu Bidan!." 

"Walaikum salam." terdengar suara dari dalam rumah.

"kree-ek!, eh Pak guru baru, silahkan masuk Pak Guru!." terlihat Bu bidan Nurhasanah, setelah pintu terbuka. Senyum manisnya, menyambut kedatangan Pak guru Rohmat yang baru ditugaskan dikampung transmigrasi tersebut.

Ibu bidan Nurhasanah, mempersilahkan Pak Rohmat duduk dikursi rotan, yang terdapat di ruang tamu. Rumah dinas, berbentuk kopel yang berada dibukit kecil tersebut, terlihat sederhana. Ruang tamu yang tidak terlalu besar, dan dua buah kamar serta ruang kecil, dibelakang sebagai dapur dan toilet. 

"Berapa lama Bu bidan Nur, bertugas dikampung ini?." tanya Pak guru Rohmat. 

"sekitar dua tahun Pak guru, sampai bulan Maret, kemarin. Silahkan Pak guru, sambil diminum tehnya!." 

"Terimakasih bu Bidan." jawab Pak guru Rohmat, sambil meminum segelas teh, yang disuguhkan bu UJun. 

Wanita tua itu menemani Ibu Bidan Nurhasanah, sekaligus membantu bu bidan dirumahnya, memasak, mencuci baju ke sungai. Semua keperluan Ibu bidan di kampung tersebut, diurus oleh Ibu Ujun. 

Atas jasanya, bu bidan memberikan gaji bulanan pada bu Ujun. Ibu Bidan Nurhasanah, juga memperkenalkan bu UJun dengan Pak Rohmat yang berkunjung kerumahnya.

"Baiklah bu bidan, karena waktu menjelang magrib. Saya mohon pamit bu." 

"Terimakasih Pak Rohmat, semoga bapak betah bertugas di kampung ini." Sambil mempersilahkan Pak guru muda tersebut yang berpamitan dengannya.

***

Kampung transmigrasi yang berada dipunggung bukit kecil tersebut mulai merambat, beranjak malam. Disekeliling kampung tersebut, terlihat rumah yang berjauhan satu sama lain. 

Disekeliling kampung yang baru dibuka, dijadikan pemukiman warga transmigrasi tersebut, dikelilingi oleh hutan rimba. Tak ada penerangan listrik di malam hari, yang ada hanyalah lampu tembok dengan bahan bakarnya minyak tanah.

Ini, adalah malam pertama bagi Pak guru Rohmat, dan temannya berada di kampung pemukiman transmigrasi. Sebuah kampung, layaknya permadani keheningan, ditenun oleh jemari malam dibawah bukit yang merendah. Dikelilingi oleh hutan yang berbisik rahasia zaman kepada angin yang lewat.

"Dor-dor-dor!. buka pak!. " seseorang menggedor pintu rumah kepala pemukiman transmigrasi. 

Buka pak badrun!, kami warga mau berbicara!." terdengar teriakan dari warga yang lain.

Pak Guru yang berada di bilik kamarnya, bergegas keluar. Dan mengintip dari balik jendela. Jarak rumah Pak Rohmat dengan kepala pemukiman transmigrasi hanya beberapa meter. Disebelah rumah yang dihuninya, ditempati oleh Pak Deny, petugas PLKB.

"Ada apa Pak Rohmat?." tanya Pak Badina, yang keluar dari toilet. Mereka berdua, tinggal satu rumah. Pak Badina sudah berkeluarga, sementara Pak Rohmat masih bujangan. Hanya saja Pak Badina, datang ke kampung transmigrasi ini tidak membawa keluarganya. Sehingga mereka berdua bisa tinggal satu rumah. 

"Tidak tahu juga Pak. Banyak warga berkumpul didepan rumah Kepala Unit pemukiman transmigrasi (UPT). " jawab Pak rohmat setengah berbisik. 

***

Sejurus kemudian, dari kejauhan, keluar seorang laki-laki berperawakan gemuk agak pendek, yang dipanggil warga Pak Badrun. Disampingnya berdiri seorang laki-laki kurus bernama pak Elfiduan. 

Kemudian Pak Badrun, mempersilahkan warga duduk dihalaman kantornya, membentuk lingkaran, duduk diatas tanah berumput. Pak Rohmat dan Badina, keluar dari rumah dan duduk diteras rumah kopelnya.

Rupanya Pak Deny, sudah duduk duluan diteras rumah, sambil menikmati secangkir kopi pahit. 

"Biasa itu Pak guru, warga menuntut Ka.UPT memberikan pupuk kepada mereka. Karena jatah pupuk bulan ini belum datang. Selain itu juga jatah kebutuhan sembako berupa minyak makan, tanah, gula, dan beras, untuk jatah sebulan harus dipenuhi."

"Oh begitu ya Pak."

"Mereka, pasti menuntut Pak Badrun, kalau jatah mereka terlambat. Karena kebutuhan mereka selama lima tahun pertama di pemukiman transmigrasi ini di jamin oleh pemerintah." jelas Pak Deny.

Mereka bertiga berbicara pelan, takut percakapannya terdengar oleh warga. Warga yang tadi datang menemui Pak Badrun terdengar emosi juga mulai tenang.

"Jangan kuatir Bapak-bapak, jatah bulan ini akan sampai dalam beberapa hari kedepan. Karena jalanan yang rusak, dan musim hujan, itu penyebab logistik warga terhambat, tolong bapak-bapak sedikit bersabar." jelas Pak Badrun.

Warga yang tadinya datang dengan penuh emosi, akhirnya, pulang bersalaman dengan Pak Badrun dan Elfiduan, sebagai stapnya. Kampung transmigrasi ini, warganya majemuk, terdiri berbagai suku dan latar belakang yang berbeda.

Sehingga, seorang Kepala unit pemukiman transmigrasi harus bijaksana, bisa merangkul dan tidak membedakan semua suku dan golongan yang berbeda bahasa, agama, dan juga latar belakangnya. Agar tercipta, kerukunan dan toleransi antar sesama warga. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun