Di mata Pak Burhan terlihat bayangan putus asa. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Padi serta sayuran yang di tanamnya di lahan depan dan samping rumah mengalami fuso.
***
"Pak Majrun yang menanam semangka di lahannya juga gigit jari. Tanaman merayap tersebut tak menghasilkan buah." Cerita Pak Burhan sambil mengisap rokok kretek. Isapan rokok tersebut juga terasa hampa.
Pak Guru tersenyum kecut. Kenapa ia harus bertugas di kampung ini. Baru setahun jadi pegawai negeri, serasa puluhan tahun lamanya. Begitu sulitnya hidup di tahun 1998.
"Benar Pak Burhan, kita-kita ini korban kebijakan. Saya bisa jadi Guru pegawai negeri bila mau ditempatkan di kampung ini. Di sebuah sekolah dasar di tengah hutan. Sebuah kampung transmigrasi yang baru dibuka." Ujarku sambil memelankan suara radio.
"Sedangkan Pak Burhan, dari pulau yang jauh. Dikirim ke Kalimantan mengikuti transmigrasi. Membawa sebuah harapan, merubah ekonomi keluarga yang lebih baik, bukan begitu Pak Burhan?," tanyaku balik.
"Hehe..he!," tawa pak Burhan hambar. Maunya seperti itu. Kenyataannya seperti sekarang, kita berdoa saja Pak Guru. Semoga kemarau panjang ini bisa segera berakhir.
***
Kampung sebelah, katanya mau mengadakan Sholat Istisqa. Pak Kiai mengajak warga kampung menghadiri sholat bersama minta hujan. " Kampung kita juga di undang Pak Guru." kata Pak Burhan.
"Insha Allah Pak Burhan. Kalau ada mobil jemputan dari kampung sebelah ikut. Jalan kaki ke kampung sebelah terlalu jauh.Â
Lewat jalan tikus di hutan takut sesat. Belum lagi bertemu hewan buas, sejenis ular mencari air. Bersembunyi dibalik-balik pohon maupun merayap di jalan setapak.
Aku berpamitan dengan Pak Burhan. Ia pulang kerumah sambil memanggul batang singkong yang berumbi besar. Beberapa ketela pohon itu ditinggalkan buatku goreng di rumah.Â