Gerahnya Udara di kampung ini. Ranting-ranting merontokkan daunnya. Mengering dan tak sanggup lagi rasanya bertahan hidup. Setetes airpun tak jatuh dari langit. Matahari pagi terbit, dengan memerah darah. Tanda kemarau panjang berkunjung di kampung ini.
Guru-guru mengajar dikelas dengan pengap, udara terasa panas berdebu. Jangankan kipas angin yang bisa diputar menghilangkan gerah. Listrik pun baru tiangnya di kampung ini.Â
Sudah tiga tahun tiang-tiang listrik tertancap dikampung ini. Tapi tak ada listrik yang mengalir ke rumah-rumah. Aku seorang guru baru yang ditugaskan di kampung ini tak bisa berbuat apa-apa.
Jangan ditanya, aku sepulang mengajar jalan-jalan cari angin. Pergi menjauh dari kampung yang terasa panas karena kemarau. Gaji, Dibuat makan juga tak cukup.Â
Gerahnya kampung ini karena kemarau panjang kian merana. Udara terasa kian panas. Pohon-pohon berselimut debu. Dikampung ini harga-harga barang kian mahal.Â
Di radio yang kutenteng sepulang mengajar, sambil duduk-duduk di bawah pohon dekat sekolah isinya memberitakan demo-demo mahasiswa menuntut pemerintah karena krisis moneter.
***
"Demo apa lagi hari ini Pak Guru?". Terdengar seseorang menyapaku dari sela pagar sekolah.Â
"Eh, Pak Burhan. Biasa demo Mahasiswa menuntut Pemerintah menurunkan harga-harga barang melonjak sangat tinggi sejak 1997.Â
"Iya Pak Guru, dikampung ini juga harga-harga barang sangat tinggi di warung Pak Bedu. Harga gula setengah kilo saja sudah mencapai dua kali lipat. Belum lagi beras, dan sembako lainnya.
"Kita rakyat kecil, tinggal dikampung ini yang lagi di landa kemarau panjang. Anak sungai yang berada di depan rumah dinas Kepala Sekolah juga sudah 3 bulan ini kering kerontang.Â