Ada dua kata yang sering membuat saya terhenti sesaat. Hujan dan secangkir kopi. Menikmati secangkir kopi hangat di tengah hujan deras merupakan anugerah.Â
Tak semua orang bisa menikmati hujan dan kopi. Saya beruntung bisa berkolaborasi dengan keduanya. Sejak diangkat menjadi seorang Kepala Sekolah saya jadi terlalu sibuk. Terlalu disiplin. Terlalu formalitas. Dan sejumlah terlalu lainnya.
Kata Bang Haji (Rhoma Irama), "Sungguh terlalu!". Saya menjadi terlalu dengan diri sendiri. Terlalu memikirkan, bagaimana cara memajukan sekolah yang saya pimpin. Menjadi leader yang baik, humanis dan tidak otoriter dengan orang-orang yang saya pimpin.
Dalam secangkir kopi saya tidak terlalu mau berbasa-basi. Filosofinya selalu menjadi pengingat. Bila rasa pahit kopi, tidak bisa dibungkus menjadi manis hanya karena ditambah sedikit gula.
Saat saya rawa-riwi dengan urusan dinas. Tiba-tiba hujan turun deras, tanpa mempedulikan ramalan cuaca BMKG. Di Samarinda, cuaca tidak bisa diprediksi. Suka-suka hujan mau turun dimana.
***
Bisa jadi radius 200-300 meter kedepan, suasana cerah. Matahari bersinar terik. Badan dibungkus jas hujan bak astronot, atau badan basah kuyup, sementara di lintas jalan berikutnya panas membungkus jalan.
Itulah Kalimantan, tidak bisa diramal seperti daerah lain dengan tepat. Kata orang tua dulu, disini banyak para wali, habib, dan orang-orang sholeh yang membuat rahmat Tuhan berlimpah. Salah satunya adalah hujan.
Konon, hujan air yang diturunkan oleh para malaikat dari surga. Untuk membasahi bumi. Supaya tumbuh-tumbuhan yang tengah sekarat, karena kekeringan segar kembali. Tunas-tunas yang tengah menguncup, menjadi mekar dan bertumbuh membawa rejeki.