Baru hari ini, saya berkesempatan menuangkan tulisan pertama tentang minggu pertama menjadi Kepala Sekolah. Saya rasakan jadi seorang leader memang tidak semudah berkata-kata.
Sejak dilantik Walikota Samarinda tanggal 23 Mei 2023, kemudian di sertijabkan di Dikdisbud dengan Kepala Sekolah lama saya langsung bertugas di sekolah baru sebagai Kepala Sekolah.
Sebuah sekolah yang berada dipinggiran kota Samarinda. Dengan jumlah siswa yang mencapai 144 orang, dan guru beserta tenaga kependidikan yang genap selusin dengan Kepala Sekolah.
Sebagai Kepala sekolah yang belum seumur jagung, tugas ini sebagai wadah menempa jiwa kepemimpinan. Ilmunya sudah didapat di Pendidikan Calon guru penggerak (CGP) selama 6 bulan. Saatnya menerapkan praktik baik dan budaya positip dalam artian sebagai pemimpin pembelajaran.
Sejak tulisan ini saya buat dan dilantik sudah berjalan 31 hari sebagai kepala sekolah. Langkah awal yang saya lakukan adalah mengevaluasi diri. Tidak ada pemimpin yang sempurna. Tidak ada pemimpin yang baik tanpa mendengar. Dan tidak ada pemimpin yang gagal bila mau belajar dan tidak gampang menyerah.
Seorang Kepala Sekolah senior memberikan nasihat kepada saya. Jadi Kepala Sekolah itu harus banyak mendengar keluhan dari orang-orang yang dipimpinnya. Jangan menutup telinga, dan bersikap tidak mau tahu. Bahkan cenderung Otoriter.
Beliau mengkritik Kepala Sekolah dari Guru penggerak. Â Guru penggerak memang mumpuni dalam penguasaan Ilmu Teknologi, dan komunikasi digital. Sehingga masih muda dan baru golongan 3b seorang guru penggerak sudah diangkat menjadi Kepala Sekolah.
Bahkan kata beliau ada yang baru 5-6 tahun jadi guru sudah menjadi Kepala Sekolah. Ibarat pilot, jam terbangnya mengendalikan pesawat masih sedikit. Turbelensi udara pun belum begitu dikenali secara praktik. Walaupun teorinya, bisa jadi sudah dikuasai.
Entah kepada guru penggerak yang mana kritikan itu beliau tujukan. Saya merasa itu lebih baik ditujukan kepada diri saya sendiri. Kritikan menjadi intropeksi diri sekaligus refleksi diri.Â
Tapi apakah secara kematangan emosional guru penggerak yang masih berusia muda itu bisa mengendalikan dirinya. Kemampuan memimpin dalam kondisi dan keadaan apapun (habitual leader). Atau hanya sekedar "situation leader".
Banyak pertanyaan dan tanda tanya keraguan yang dilontarkan para Kepala Sekolah lama tentang guru penggerak. Dan keraguan itu tak bisa hanya dijawab saja.
Tapi dengan bukti nyata berupa aksi nyata seorang guru penggerak sebagai leadership sesuai harapan mas Menteri yang ingin menjadikan guru penggerak agen perubahan pendidikan di era digital.
Membenahi Sekolah dan memetakan Aset
Di minggu pertama, saya memulai dengan pembenahan. Dan melakukan pemetaan aset dengan berkolaborasi secara aktif dengan warga sekolah. Baik dengan guru, tenaga kependidikan, orang tua siswa melalui paguyuban kelas yang dibentuk. Dan menjalin kerjasama dengan kelurahan setempat.Â
Di Pendidikan Calon Guru Penggerak (CGP) diberikan modul 3.2 berkenaan dengan pengelolaan sumber daya. Para CGP dibekali pembelajaran yang secara khusus mempelajari cara mengelola sumber daya yang ada di sekolah.Â
Terdapat faktor Biotik dan Abiotik yang mempengaruhi ekosistem sumber daya yang ada di sekolah. Faktor biotik terdiri dari Kepala sekolah, Guru, Murid, wali murid dan masyarakat sekitar sekolah.
Sedangkan faktor Abiotik meliputi keuangan sekolah, sarana prasarana (sapras), serta lingkungan yang ada di sekitar sekolah.Â
Sebagai Kepala sekolah yang masih baru dari CGP yang masih menyelesaikan pendidikan menjadi Kepala sekolah merupakan tantangan dan sekaligus tanggung jawab sebagai pemimpin pembelajaran disekolah.Â
Paradigma baru seorang Kepala Sekolah bukan hanya dituntut mampu mengelola manajerial sekolah tapi juga sebagai pemimpin pembelajaran.Â
Pemimpin pembelajaran sering kali ditemukan kendala dan hambatan yang terjadi di sekolah. Dalam menyelesaikan sebuah masalah kita sering terfokus pada masalah atau kekurangan yang ada. Tanpa disadari banyak sekali kekuatan-kekuatan yang ada di sekolah.
Pemberian Beasiswa PIP bagi Siswa Sekolah
Pemberian beasiswa kepada siswa yang tidak mampu biasa diberikan secara terbatas melalui dapodik. Diberikan kepada siswa yang memenuhi persyaratan tertentu. Misalnya : Siswa miskin, anak yatim atau piatu, dan yatim piatu, dan anak yang mengalami Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat diusulkan mendapatkan beasiswa PIP.
Namun, kedatangan Ibu Dr.Ir. Hetifah Sjaifudin, MPP ke sekolah penulis dalam rangka pemberian kuota tambahan Beasiswa PIP melalui jalur diluar dapodik, sangat membuat orang tua siswa senang dan merasa terbantu untuk biaya pendidikan anaknya di sekolah.
Beliau merupakan anggota DPR RI dari provinsi Kalimantan Timur, membidangi komisi pendidikan yang selalu konsisten mengusahakan kuota tambahan beasiswa PIP yang diberikan oleh Kemendikbud.Â
Kerjasama dengan pihak luar seperti pemberian beasiswa merupakan salah satu dari tujuh aset utama yang ada di sekolah. Aset sekolah itu terdiri dari : modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal lingkungan atau alam, modal finansial, modal politik, modal agama dan budaya.
Sebagai seorang Kepala Sekolah ada dua pendekatan yang bisa dilakukan  yaitu pendekatan berbasis kekurangan atau masalah dan pendekatan aset. Dan menurut saya, kedua pendekatan inipun bisa dikolaborasikan untuk mendapatkan satu tujuan perkembangan pengelolaan sekolah yang berpihak pada murid.
Sebagai CGP Angkatan 7 Kota Samarinda yang telah diangkat menjadi kepala sekolah yang berada di daerah pinggiran kota Samarinda. Penulis melakukan berbagai aksi nyata dan praktik baik untuk mentrasformasi berbagai ilmu pengetahuan yang didapatkan selama mengikuti Pendidikan CGP.
Untuk memenuhi kebutuhan murid, seorang guru penggerak dapat memiliki visi murid impian dimasa depan, mengelola semua kekuatan yang dimilki sekolah agar tercipta pada akhirnya sosok propil pelajar Pancasila (*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H