Pembaca yang budiman, lewat artikel ini penulis akan berbagi pengalaman tentang kearifan lokal masyarakat pedalaman Kalimantan, saat bertugas di daerah 3T (Transmigrasi, terpencil, dan terluar). Sebuah kehidupan yang alami, kebiasaan berjalan kaki berpuluh bahkan beribu meter setiap harinya.
Setiap sabtu pagi, penulis bersiap untuk melakukan perjalanan ke kampung sebelah yang berjarak 3 kilometer. Dengan berbekal tas ransel, dan sedikit kue serta air minum untuk mengganjal perut ditengah perjalanan.Â
Berada di alam yang dirimbuni pepohonan, suara burung Enggang yang disebut juga burung rangkong meramaikan isi hutan, yang hinggap di dedahanan pohon tarap.
Burung Enggang (Buceros-bahasa latin) merupakan spesies hewan khas kalimantan yang merupakan sebaran dari 57 Â spesies di Asia dan Afrika. Dan diantara 14 spesies yang terdapat di Indonesia. Â Salah satunya, burung Enggang yang mempunyai filosofi tersendiri bagi kehidupan suku asli Kalimantan, yaitu suku Dayak.
***
Pejalan Kaki pencari kayu Gaharu
Udara yang bersih, masih berkabut embun, waktu yang tepat buat melakukan perjalanan ke kampung sebelah. Karena kalau terlalu siang, matahari akan terasa terik dan udara terasa panas.Â
Penulis terbiasa berjalan kaki bukan lagi puluhan meter tapi kilometer. Kebiasaan ini rutin dijalankan minimal seminggu sekali. Kalau hari-hari, bila musim kemarau berjalan kaki sampai ratusan meter untuk mandi ke mata air, dan pulangnya memikul air yang diisikan pada jerigen 20 liter.
Warga kampung disini pun terbiasa berjalan kaki ratusan bahkan puluhan kilometer. Suku Dayak dan warga transmigrasi yang di datangkan ke daerah kalimantan juga biasa berjalan kaki.
Bahkan warga kampung transmigrasi, dan suku Dayak sering melakukan perjalanan jauh di dalam hutan untuk mencari kayu gaharu. Mereka berjalan kaki di hutan berhari-hari, menelusuri seluk beluk hutan dan baru istirahat membangun tenda sekedarnya menjelang sore.
***
Pencari gaharu, beristirahat malam hari. Terkadang mereka sambil berburu hewan sejenis pelanduk, atau babi disekitar hutan didirikan tenda. Untuk menambah bahan makanan, ataupun di jual ke penduduk sekitar bila mereka pulang dari mencari kayu gaharu.
Kayu gaharu merupakan komoditas hutan yang mempunyai nilai jual yang tinggi. Harga satu kilogram gaharu berkualitas super bisa mencapai ratusan juta.
Saat penulis berjalan kaki menuju kampung sebelah, sering kali berpapasan dengan rombongan para pencari kayu gaharu yang baru berangkat  masuk hutan atau pulang ke rumah setelah berminggu-minggu berada di dalam hutan. Mereka membawa pikulan dari rotan yang dianyam di sebut anjat oleh suku Dayak.
***
Sebenarnya, bagi warga kampung yang hidup dan tinggal di pedesaan dengan lingkungan alam yang masih alami berjalan kaki merupakan kearipan lokal. Kalau mau dikatakan orang Indonesia malas berjalan kaki, rasanya tidak semuanya salah dan tidak semua benar.
Bagi yang tinggal diperkotaan bisa jadi penelitian itu benar. Karena kemudahan alat transportasi dan sarana bepergian yang mendukung. Rata-rata masyarakat perkotaan mempunyai kendaraan pribadi yang bisa setiap keluarga mempunyai lebih dari satu.
Sedangkan warga kampung berjalan kaki puluhan, ratusan, bahkan berkilometer menjadi kebiasaan. Bahkan berburu di tengah hutan, mencari hewan liar menjadi hiburan bagi masyarakat yang bermukim jauh dari perkotaan.
***
Pohon Perteduhan di pinggir jalan
Menempuh perjalanan berkilometer tentu sangat melelahkan. Jalan yang dilalui hanyalah berupa jalan setapak, yang sudah menyempit karena dirayapi tumbuhan menjalar dan rumput liar. Terkadang tidak ada pepohonan besar di pinggir jalan.
Di jalan setapak yang penulis lalui, setengah perjalanan baru terdapat kekayuan besar. Kayu ketapang, yang letaknya persis dipinggir jalan tersebut menjadi pohon perteduhan.Â
Pohon perteduhan layaknya halte tempat transit untuk warga kota menunggu angkutan umum. Dahannya yang besar memanjang, seakan membentuk payung raksasa. Melindungi penulis beristirahat di bawah pohon dari sengatan matahari.Â
Atau perlindungan saat hujan turun tiba-tiba. Namun bila langit terlihat mendung, Â baik warga kampung maupun penulis, sudah maklum lebih baik tidak berjalan pulang dulu. Karena berjalan kaki saat hujan, berisiko dan membahayakan keselamatan. Kalau cuaca buruk disertai petir.
***
Di jalan berkayu perteduhan yang besar, mudah di temui burung Enggang, julang, Kangkareng atau biasa di daerah lain disebut Rangkong sejenis burung yang berparuh besar berbentuk tanduk sapi tetapi tanpa lingkaran.
Spesies hewan ini termasuk hewan langka dan di lindungi. karena jumlahnya yang mulai sedikit, dan hewan terancam punah. Di sekitar jalan yang penulis lalui, bertengger beberapa ekor burung Enggang yang bercengkrama didahan pohon ketapang. Ataupun di puncak pohon banggeris yang tinggi.Â
Suaranya nyaring, seakan memecah kesunyian hutan. Saat penulis singgah sesaat di bawah pohon ketapang sambil membuka bekal yang di bawa di dalam ransel. Kawanan burung Enggang yang bertengger dipucuk-pucuk pohon, berloncatan, seakan mengintip apa yang di kerjakan oleh penulis di bawah pohon perteduhan di pinggir jalan.
***
Kadang ngeri juga, mendengar teriakan nyaring burung Enggang. Apalagi berada sendirian di bawah pohon perteduhan. Yang terlihat hanya kekayuan besar di kiri kanan jalan.Â
Masyarakat setempat, yaitu Suku Dayak sangat menghormati burung Enggang, dan menganggapnya sebagai "Panglima burung".Semua permukaan tubuh burung Enggang  menjadi perlambang dan simbol kebesaran dan kemuliaan Suku Dayak.
Itu sebabnya burung Enggang di Kalimantan masih banyak, karena filosofi kearipan lokal yang menjadikan burung tersebut sebagai perlambang seorang pemimpin yang ideal. Karena kebiasaannya yang hinggap di gunung-gunung dan pepohonan yang tinggi, bulunya indah, dan khas suaranya yang menggema di tengah hutan.
Burung Enggang tidak di jadikan perburuan oleh Suku Dayak, karena di hormati dan mengandung filosopi kearifan lokal sebagai hewan yang di anggap mulia, dan perlambangan seorang pemimpin.
***
Kebiasaan penulis berjalan kaki, setiap hari sabtu menempuh perjalanan jauh adalah berkunjung ke rumah teman sesama guru yang juga sama bertugas tapi berbeda kampung.Â
Sesama guru yang bertugas di daerah transmigrasi, terpencil dan terluar, saling kunjung-mengunjungi adalah kebiasaan untuk membangun komunikasi dan rasa kekeluargaan sesama guru yang hidup di perantauan dan jauh dari kampung halaman.
Berjalan kaki selain membuat badan sehat dan berkeringat, juga menghindarkan tubuh kita dari berbagai penyakit. Ada sebuah kepuasaan batin saat penulis berjalan jauh berkilometer lalu bisa berkumpul dan bertemu dengan teman sesama guru.Â
Bertahun-tahun kegiatan berjalan kaki selama bertugas di daerah 3T penulis lakoni. Kadang berjalan sendiri, atau bersama dengan beberapa teman sesama guru, ataupun warga kampung yang juga ingin menuju ke kampung sebelah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H