Terhitung hari Sabtu pukul 14.30 WIB (03/09/2022), pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi dan non subsidi. Saat pengumuman kenaikan BBM , penulis berada di dalam kelas mengajar. Ada rentang 1 jam, diberlakukannya kenaikan. Tapi mana sempat lagi ngantre BBM di SPBU, diluar juga hujan deras.Â
Garis besarnya kenaikan BBM bersubsidi dan non bersubsidi yang diumumkan langsung Presiden Joko Widodo, merupakan keputusan yang berat karena subsidi BBM sudah mencapai 3 kali lipat.
Menteri ESDM menjabarkan kenaikan harga BBM bersubsidi dan non subsidi yang mulai berlaku , dengan tiga katagori, yaitu :
- Harga pertalite dari Rp.7.650 perliter menjadi Rp.10.000 perliter
- Harga Solar bersubsidi dari Rp.5.150 perliter menjadi Rp.6.800 perliter
- Harga Pertamax dari Rp.12.500 menjadi Rp.14.500 perliter
Akhirnya tarik ulur kenaikan BBM diumumkan juga. Subsidi BBM saat ini sudah mencapai Rp.502,4 triliun. Sehingga mau tidak mau, pemerintah mengambil keputusan untuk menaikan harga BBM, untuk menghindari "jebolnya" APBN.
Kenaikan BBM juga diikuti dengan peluncuran Bantalan sosial buat masyarakat berpenghasilan rendah, warga miskin, yang terdampak langsung dengan kenaikan BBM.
Bantalan sosial yang disiapkan oleh pemerintah terdiri dari bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU), hingga subsidi transportasi.
Pemberian bantalan sosial tersebut sebesar Rp.600.000 untuk empat bulan pertama dengan skema dua kali pencairan. Dengan pemberian bantuan imbas kenaikan BBM bagi masyarakat penghasilan rendah, warga miskin untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Bantalan sosial yang diberikan pemerintah, apa tepat sasaran?
Tidak selalu bantalan sosial yang diberikan oleh pemerintah tepat sasaran, ada saja warga masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak mendapatkannya.Â
Misalnya Sopian (45) seorang buruh lepas, yang berkerja serabutan di pelabuhan bongkar muat barang yang ada di kampungnya. Dari sejak pandemi covid-19, pemerintah memberikan subsidi kenaikan tarip dasar listrik, berupa bantalan sosial tidak pernah didapatkannya.
Untuk mendapatkan bantuan program Prakerja juga tidak pernah didapatkan sampai sekarang. Sopian meminta bantuan orang lain, untuk mengakses pendaftaran Prakerja, cuman sampai saat ini tidak ada kabarnya.
Penghasilannya, dari bongkar muat barang berupa kernel sawit, pupuk, dan semen, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga tidak mencukupi.Â
Sekali bongkar muat barang, dia mendapatkan upah jasa, sebesar Rp.10.000. Â Dan uang sebesar itu hanyalah cukup diberikan beras perkilo dengan kualitas yang rendah.Â
Sopian mengatakan bila dia mendapatkan upah sebesar Rp.10.000-50.000,- perhari, bekerja dari pagi sampai malam, paginya uang diberikan kepada isterinya untuk belanja beli beras perkilogram, sayur, dan ikan sudah habis.
Dan terkadang sepi, tidak ada truk yang bongkar dipelabuhan, karena beberapa hari terakhir antrean truk mengular di SPBU untuk mendapatkan solar, menjelang kenaikan BBM bersubsidi dan non subsidi.
Dari penuturan Sopian, penulis mencoba melihat KTP yang bersangkutan berstatus pekerjaan sebagai tukang listrik. Kesehariannya, memang selain sebagai buruh lepas serabutan, juga menerima pemasangan instalasi listrik, bagi rumah baru.Â
Namun, tidak selalu mendapatkan order pemasangan instalasi listrik. Dari segi tempat tinggal, Sopian numpang dibagian dapur rumah orang tua yang disekat. Dia tinggal bersama 2 anak dan isterinya, serta menantu yang juga tinggal disana, berdesakan dengan ukuran ruang rumah yang sempit.
Penulis menyarankan, agar Sopian merubah status pekerjaan di KTP-nya sebagai orang yang tidak mempunyai penghasilan tetap berupa gaji.Â
Mungkin status pekerjaanya yang tercantum di KTP sebagai tukang listrik dikira karyawan PLN, yang mempunyai gaji tetap, sehingga dianggap tidak berhak mendapatkan bantalan sosial. Walaupun dari segi katagori memenuhi syarat mendapatkan bantalan sosial, yang diberikan pemerintah imbas kenaikan harga BBM.
Potret seperti Sopian juga dialami beberapa buruh lepas yang bekerja sama dipelabuhan. Sayang sekali bantalan sosial yang diberikan pemerintah, tidak bisa dinikmati oleh buruh lepas seperti sopian dan kawan-kawannya.
Setiap ada kenaikan harga-harga, efek domino kenaikan BBM membuatnya  tidak berdaya. Sopian hanya berusaha mendapatkan upah dari bongkar muat, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Ketika penulis menyuruhnya mengurus perubahan data pekerjaan di KTP, dia hanya terdiam. Waktu untuk mengurusnya yang tidak ada, karena berurusan dikantor memakan waktu yang lama. Sementara, kebutuhan hari-hari tidak bisa ditunda.
Sebentar lagi, efek domino kenaikan BBM akan dirasakan. Walaupun sebelum kenaikan BBM, harga telur di pasar sudah naik duluan, Sementara penghasilan tidak bertambah. Harusnya pemberian bantalan sosial, perlu didata ulang, sehingga tepat sasaran (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H