Bangun..bangun..!, sudah siang, cepat mandi!, bentak mama, sambil menarik selimutku. Dengan mata yang masih kelat, aku bergegas bangun, dengan rasa malas.
"Iya, mak..," jawabku singkat. Cepat banget hari Senin, padahal baru kemaren hari minggu, batinku dalam hati.
"Coba semua Kalender itu warnanya merah, tentu aku lebih banyak waktu bermain, bisa pergi kehutan, bersama teman-teman mencari buah manggis, " hatiku berbicara, sambil menuju dapur.
"Byuur,'' diiingiin," gelitik badanku, tersiram air serasa es. Dibelakang rumahku, dapurnya menghadap langsung ke sungai Mahakam. Persisnya dapur, langsung berada diatas air. Sehingga ketika air pasang, aku langsung bisa bermain air diatas lantai, yang tenggelam.
"Riduan, cepat mandinya, nanti ikam terlambat turun ke sekolah!," teriak mamaku dari ruang depan rumah. Suara mama memang nyaring, sekali sidin berteriak sampai ke dapur.Â
***
Pagi, jam usang didinding rumahku, menunjukkan pukul 06.00 wita. Mama memutar radio nasional, yang suaranya kresek-kresek. Biasa jam 05.00 WIB, siaran Radio BBC London berbahasa Indonesia, menjadi langganan beliau tiap pagi.
Setiap senin pagi, ada obrolan khusus, tentang perkembangan dunia. Bulan september 1984, berita hangat, yang jadi obrolan orangtua, baik bapak-bapak, atau anak muda, di warung Kai Mayor, sambil menikmati ngopi, membicarakan kerusuhan tanjung priok.Â
Penerapan Azas tunggal Pancasila, untuk menjaga orde baru, memicu kerusuhan antar kelompok yang tidak setuju, mengakibatkan bentrokan berbau sara.Â
Kai  Mayor, beliau pensiunan tentara. Aku tidak tau persis pangkat beliau, tapi orang kampung menyebutnya Kai mayor. Terkadang, aku mencuri dengar, yang diobrolkan para bapak, sambil menonton layar televisi diwarung kopi Kai Mayor.Â
Dikampung ini, baru ada dua televisi, yang punya. Satu di balai desa, di dekat penyewaan komik Om Utar. Satunya lagi  di warkop Kai Mayor. Bila malam minggu, anak-anak seumuranku, bermain dihalaman balai desa, yang ada halamannya yang cukup luas.