Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Filosofi Minyak Goreng, "Sudah Naik, Sulit Turunnya"

18 Juni 2022   17:05 Diperbarui: 20 Juni 2022   01:31 1723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara, minyak goreng, tidak pernah habisnya. Salah satu dari kebutuhan pokok, yang paling diburu emak-emak, ini sempat membuat antrean dimana-mana.

Bahkan, ada seorang ibu meninggal dunia, saat antre minyak goreng di Samarinda. Banyak warna cerita, mengikuti kenaikan minyak goreng dalam kurun waktu beberapa bulan ini.

Ibarat drama korea (Drakor), minyak goreng, tiba-tiba langka. Setelah penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET), oleh Pemerintah sebesar Rp.14 ribu. 

Dicari dimana-mana, harga sesuai HET, minyak goreng susah ditemukan. Di pasar, di swalayan, Mall, semua pada kosong. Kalaupun, ada, yang terjadi adalah antrean panjang di depan pintu-pintu pusat belanja, yang ada menjual minyak goreng. 

Beberapa waktu kemudian, Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, mencabut kebijakan mengatur harga minyak goreng kemasan sesuai HET. Dengan alasan, menghindari penimbunan, tindakan curang dari oknum, sehingga minyak goreng langka.

Tapi aneh bin ajaib, setelah kebijakan di cabut, hanya menghitung hari, minyak goreng membanjiri etalase, swalayan, mall, dan tempat belanja lainnya. 

Bahkan ada beberapa emak-emak, yang kurang update berita, melihat minyak goreng berjejer di rak sebuah swalayan, main borong saja, 4-5 bungkus ukuran 2 liter. Dan memasukkan kekeranjang belanjaan.

Tapi begitu membayarnya dikasir, mereka terkaget-kaget. Mereka harus membayar, Rp.52 ribu perdua liter migor kemasan yang mereka ambil. Bahkan sempat terjadi perdebatan kecil, kenapa migor sekarang jadi mahal. Apa sudah naik?, apa dinaikkan sendiri?, tanya emak-emak.

Namun, mereka jadi malu sendiri, setelah mendengar penjelasan kasir swalayan. Migor, dikembalikan ke raknya. Beberapa waktu lalu, pemerintah telah mencabut HET, dan mengembalikan harga migor sesuai mekanisme pasar.

Memang migor kemasan, sempat bertengger perkasa, diharga Rp.20-25 ribu perliter. Kemudian, warga masyarakat, terutama emak-emak melirik minyak goreng curah, yang harganya di atur oleh pemerintah Rp.14 ribu. 

Apa itu minyak goreng Curah?

Migor curah, adalah minyak goreng sawit, yang tidak dikemas dan tidak memiliki label, atau merek tertentu. Migor curah bukanlah barang baru, bagi rakyat kecil. Tapi sudah beredar lama, dipasar tradisional. Yang di pasarkan dalam kaleng besar, 25 liter, atau bisa juga di dalam drum plastik. 

Namun, ternyata Migor curah pun membuat pusing pemerintah. Isu beredar, Migor curah dikemas plastik, dan dijual dengan harga sama dengan migor non subsidi yang dikemas dengan merek dagang tertentu.

Inovasi para pemburu untung, hanya merugikan masyarakat. Minyak goreng curahpun, ikut-ikutan langka, dan perlahan harganya pun terkerek naik. 

Dan rakyatpun terperangah, beberapa waktu kemudian, kejagung menangkap dan menetapkan empat orang tersangka mafia Minyak goreng, yang salah satunya adalah Direktur jenderal perdagangan luar negeri kemendag.

Paska minyak goreng mahal, langka, dan beberapa kejadian yang mengikutinya. Sampai hari ini harga migor masih tergolong mahal, walaupun ada penurunan Rp.50 untuk migor bermerek I dan II. Namun, penurunannya sangat kecil, dan tidak berpengaruh banyak.

Apa benar minyak goreng, sudah naik sulit turunnya?

Filosofi minyak goreng, "sudah naik, sulit turunnya,"  baik harga migor tersebut sulit kembali ke harga normal, juga harga makanan yang mengikutinya. mari kita uji filosofi ini apa benar atau tidak. 

Ketika, kita berbelanja gorengan di pasar, atau di warung penjual gorengan, yang biasanya menjual gorengan dengan harga Rp.5 ribu-5, artinya beli sanggar, singkong, atau gorengan lainnya. 

1 biji seharga, Seribu rupiah, dan sekarang menjadi 4 biji seharga Rp.5 ribu. Berarti sudah terjadi pengurangan 1 biji, dan harga sudah tidak menjadi Rp.5 ribu dapat lima, tapi Rp.5 ribu dapat empat.

Dan ini hampir merata pada jajanan lainnya, berupa kue yang dijual seribuan, menjadi seribu lima ratus satu biji. Semua jajanan gorengan, naik merata dengan harga bervariasi. 

Dan kenaikan dijajanan gorengan, juga mengimbas kepada naiknya ongkos ojek, antar barang, dan lain sebagainya. Karena biaya makan siang, jajanan nongkrong dipangkalan naik, mengimbas juga kepada biaya operasional. 

Dan biasa yang terjadi, walaupun harga minyak goreng turun, dan mendekati harga normalnya. Namun, harga gorengan, jajanan kue, dan lainnya, sulit kembali keharga dan jumlah semula. Misalnya gorengan yang sudah Rp.5 ribu dapat empat, sulit kembali menjadi Rp.5 ribu dapat lima. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun