Mohon tunggu...
Irfan Ansori
Irfan Ansori Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pluralisme Kita

23 Juli 2015   23:46 Diperbarui: 23 Juli 2015   23:46 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, jika kita menelisik lebih dalam, sangat wajar sebenarnya jika umat cenderung bersikap intoleran karena mereka memiliki perbedaan secara prinsip dalam Islam. Sangat sulit memang umat menerima perbedaan dengan mereka, jika mereka tetap menamakan diri sebagai Islam—meski pernyataan keluar dari Islam tidak menyelesaikan persoalan.

Nah, pada titik ini sebenarnya saya sempat mendukung sikap para aktivis toleran tersebut. Namun hal tersebut saya urungkan. Saya batalkan sebatal-batalnya!

Karena para aktivis pluralis justru memiliki pendapat berbeda, dengan misalkan sikap mereka terhadap Hizbuttahrir Indonesia—kami di sini bukan simpatisan mereka. Para aktivis Islam pluralis justru sangat gencar menyerang mereka, terutama karena mereka mengusung sebuah ideologi khilafah. Lha kenapa mereka tidak mendudukan HTI sebagaimana Ahmadiyah dan Syiah, sehingga merekomendasikan kepada umat agar bersikap toleran kepada mereka.

Meski pada saat di sisi lain umat memang sudah sangat toleran dengan HTI. Mengapa? Karena khilafah adalah masalah muamalah, bukan masalah yang prinsip dalam Islam, sehingga sah-sah saja berbeda. Selagi dalam masalah nabi dan inti pokok sumber ajarannya sama, maka umat masih membiarkan. Meski dalam bingkai keIndonesiaan, pemikiran-pemikiran seperti ini memang tak bisa dibenarkan.

          Lha kenapa lagi harus berbeda dengan umat? Kurang toleransi bagaimana umat Islam di Indonesia saat ini? Apakah memang sengaja mencari-cari perbedaan dari mayoritas, karena melalui perbedaan itulah kiranya nanti mereka diakui eksistensinya sehingga pada akhirnya berani untuk bersikap secara vokal? Atau memang harus diakui, sebuah teori yang menyebutkan bahwa, gerakan sempalan memang selalu ada dalam setiap agama? supaya mereka diakui orang paling paham akan agama tersebut, pintar, intelektual, cendekiawan, Islam sejati, dan kata-kata heroik lainnya?

Strukturalisme Transendental

          Saya sendiri sebenarnya merefleksikan hal ini lebih kepada proses afirmasi terhadap pertanyaan tentang pak Kuntowijoyo—saya adalah Kuntowiyan. Dalam tulisan-tulisannya, mengapa beliau jarang sekali mengambil tema pluralisme? Kemudian mengapa lebih memilih (sebenarnya ikuti mempromosikan) strukturalisme transendental sebagai “cara mengaplikasikan” ajaran Islam yang hadir sejak saat abad ke-7 untuk diaplikasikan pada zaman yang memiliki rentang 14 abad.

Dibandingkan dengan mengobrak-abrik tafsir Alquran (hermeneutik) agar dicocok-cocokkan dengan kondisi saat ini, sebagaimana yang dilakukan oleh para aktivis toleran, pluralisme—atau apalah nama yang tepat kiranya sesuai dengan penggambaran saya di atas. Sehingga tafsir Alquran menjadi sangat berubah.

Saya rasa, saya tidak ingin berdialog dengan aktivis-aktivis seperti itu, saya ingin langsung bertemu dengan pengusung-pengusung utamanya, seperti Abdurrahman Wahid, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Mohammad Arkoun. Apa sebenarnya, “nawaitu”-nya mereka untuk mencetuskan berbagai pemikiran yang berbeda dengan umat tersebut. Karena saya percaya, bahwa pengikut mereka saat ini tidak lagi murni. Sebagaimana pengikuti imam Syafi’i di Indonesia yang justru berbeda 180 derajat dengan amalan imam Syafi’i.

Kami percaya, bahwa tujuan utama tentunya bukan merusak akidah umat. Melainkan, agar umat memiliki khazanah pemikiran yang baru tentang sebuah permasalahan yang akan berkembang di masa depan. Maka dari itu, saya lebih memilih kata “Muslim tanpa Masjid” yang cocok diberikan kepada mereka para yang mengaku para aktivis toleransi.

Saya fikir, para aktivis pluralisme dan toleransi juga merupakan orang yang sedang mencari pencarian jatidiri, seperti saya. Maklum rata-rata mereka orang-orang berpendidikan di Barat—atau paling tidak mendapatkan support dari Barat. Kita tahu sendiri, bahwa Barat memang memiliki sejarah kelam dengan agama. Sehingga mereka meletakkan toleransi dan humanisme seradikal mungkin untuk menggantikan posisi agama yang dianggap sebagai faktor utama intoleransi dan kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun