Mohon tunggu...
Irfan Ansori
Irfan Ansori Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pluralisme Kita

23 Juli 2015   23:46 Diperbarui: 23 Juli 2015   23:46 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

          Masih lekat kiranya dalam benak kita, bagaimana umat Islam Indonesia selalu disudutkan dengan berbagai isu intoleransi. Secara kebetulan memang, setiap terjadi peristiwa kekerasan yang melibatkan konflik antar agama, selalu diaktori oleh umat Islam—baik murni maupun buatan. Pada akhirnya, beberapa dari kita menerima hal tersebut sebagai sebuah konsekwensi, dari agama mayoritas yang selalu ‘disalahkan’ saat berhadapan dengan minoritas.

Namun, tuduhan-tuduhan intoleran justru bukan berasal dari luar Islam, tapi secara nyata berasal dari para aktivis umat Islam tersendiri. Bahkan mereka lebih vokal dan keji menyudutkan berbagai ormas dan ajaran Islam di berbagai media massa. Dengan kelihaian mereka dalam kerja intelektual, seperti menulis dan mencipta opini di media massa selalu menjadi senjata utama, untuk melumpuhkan umat yang tak berdaya—sebagai silent majority.

          Lantas muncul sebuah anomali, di mana saat ini justru umat Islamlah secara nyata didzolimi oleh perbuatan penganut agama lain. Pada saat penyelenggaraan salat idul fitri di Papua beberapa waktu lalu, mereka diserang oleh sekelompok massa yang kemudian membakar mushala serta ruko-ruko di sekitarnya. Intinya sangat jelas, bahwa umat Islam sedang ditindas. Apapun alasan yang mungkin akan meringankan alasan pembakaran tersebut, kita tetap harus mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah sikap intoleran.

          Tulisan ini, bukan bermaksud untuk memprovokasi agar umat Islam bereaksi atas hal tersebut. Hanya saja, saya sedang mencoba untuk menjawab hal-hal yang memang sedang menjadi kemelut dalam fikiran saya. Saya di sini mencoba untuk menjernihkan fikiran. Karena saya mengakui, pada usia yang masih relatif muda dalam hal pemikiran, kami masih dalam tahap pencarian jatidiri.

Kenapa Diam?

          Seolah-olah mendapatkan momentum yang tepat, umat kemudian menagih kehadiran oknum-oknum yang dahulu menyudutkan mereka, atas nama sikap intoleransi. Mereka mendesak agar mereka berbuat adil dengan menyudutkan pula pihak-pihak yang berbuat intoleran dari agama lain.

          Namun apa yang didapatkan oleh umat? Aktivis Islam yang mengakui pegiat toleransi hanya diam, bahkan di antara mereka tetap menyudutkan serta menyalahkan umat lagi. Mereka menuduh umat yang menjadi sebab mereka berbuat intoleran, seperti speaker dan tidak mematuhi ultimatum sebelumnya. Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) tak pernah memberikan pernyataan yang sebombastis, jika tersangka dalam kasus ini adalah umat. Bahkan media massa tak ada satupun yang berani menyebut mereka sebagai teroris, padahal sudah nyata bahwa hal tersebut merupakan sebuah bentuk teror kepada umat Islam.

          Ada apa sebenarnya dengan mereka? Kenapa pendapat mereka harus bertolakbelakang dengan umat? Wajar jika orang-orang seperti saya kemudian berontak! Meski harus saya akui, bahwa mentor-mentor intelektual saya merupakan adalah pegiat toleransi/pluralisme semua. Orang-orang yang saya kagumi dalam hal intelektual, adalah mereka yang selalu mengkampanyekan tentang kemanusiaan dan peradaban Islam yang damai. Saya lebih mengaggap sikap mereka sebagai paradoks—meski dalam hati saya lebih pas menyebut mereka hipokrit atau munafik. Sekali lagi, saya akui masih dalam tahap pencarian jatidiri dalam hal pemikiran.

Kenapa Berbeda?

          Kemudian, umat justru dipojokan kembali dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah. Secara mati-matian, mereka selalu membela keduanya atasnama toleransi. Hampir dalam setiap kesempatan dan tulisan selalu bernada itu. Sampai-sampai umat pun bosan membacanya. Namun, dengan berbagai desakan mereka, umat akhirnya mengalah dan bersikap toleran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun