Mohon tunggu...
Anton M S Wardhana
Anton M S Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

laki-laki. ayah 4 orang putri. bukan manusia luar biasa, tapi semoga bukan yang biasa-biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secercah Harap..

29 November 2012   21:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:28 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



Somewhere over the rainbow  [1]way up high,

There's a land that I heard of once in a lullaby.

Somewhere over the rainbow, skies are blue,

And the dreams that you dare to dream really do come true.


Someday I'll wish upon a star
And wake up where the clouds are far behind me.
Where troubles melt like lemon drops
Away above the chimney tops, that's where you'll find me.



Somewhere over the rainbow bluebirds fly.

Birds fly over the rainbow, why then, oh why can't I ?

If happy little bluebirds fly beyond the rainbow..  why, oh why can't I ?

SAYUP-SAYUP, lantunan lagu tema The Wizard of Oz, lagu penutup siarandari radio “teman ronda” itu,  makin meredup hingga akhirnya sunyi belaka melulu di gendang telinga Daud.  Hanya bunyi degup jantungnya sendiri saja yang kini mengisi keheningan suasana..

Bulan kini telah melintasi separuh langit, suasana bebunyian di sekeliling Daud pun sudah senyap, kecuali manusia-manusia di jalan raya yang entah mengapa seperti tidak mau beristirahat. Namun Daud, ia masih duduk tepekur di pos ronda, memegang secangkir kopi, yang kini sudah dingin, dengan tatapan kosong.

“Dasar lagu.. semuanya serba indah, “ gerutunya dalam pikirnya, “Gua juga mau nyeberang pelangi kalo emang disono semua impian gua jadi kenyataan..”

Tersadar juga ia akhirnya tengah memegangi gelas kopi dingin. Dihirupnya sedikit, lalu diletakkan. Lalu ia menekan tombol off radionya sambil menghela napas panjang.

Pikirannya kini menuju pada wajah mungil Titi, putri sulungnya. Sudah beberapa hari ini ia menangis ingin sekolah lagi. Kembali Daud menghela napas mengingat sudah hampir dua minggu Titi “dirumahkan” oleh pihak sekolah karena sudah empat bulan menunggak uang sekolah. Dan Titi  jelas sangat merasa cemas, sebab ia kini sudah kelas 6 SD, sedang Ujian Akhir  SD itu kan tinggal 2 bulan lagi.. Daud bukannya ingin Titi tidak sekolah, tapi sejak ia keluar dari pekerjaannya hampir 3 bulan lalu, hampir-hampir ia tidak punya penghasilan selain dari upah meronda dan mengojek yang hasilnya tidak seberapa. Hasil itu hanya habis untuk makan mereka sekeluarga, Daud, Layla istrinya, Titi, dan Amri. Kalau untuk sekolah, terpaksa Titi dan Amri harus libur dulu.

“Liburan dari Hong Kong..!” Daud menggerutu dan terkekeh sendiri mendengar leluconnya. Getir.

Kini ia mengetuk-etuk dinding pondok ronda dengan buku jari telunjuknya cukup keras. Cukup keras untuk mewakili kegeramannya,  “Kagak habis pikir deh gua, kalo emang Yayasan ngediriin sekolahan buat amal, buat ngebina masyarakat katanya, kok malahan ngelarang-larang sekolah anak yang ngga mampu ngelunasin uang sekolahan..!?”

“Kalau tidak begitu, semua orang mau masukin anaknya ke sekolah ini dengan gratis, Pak Daud.. Lalu bagaimana kita bisa jaga mutu..?” begitu kata Pak Wakil Kepala Sekolah waktu itu.

Jaga mutu ke laut !  Sekali lagi Daud menggerutu dalam hati, “Kalo kayak gitu, ngapain juga pake nyombong Yayasan Amal ini itu begini begitu..!?”

Lalu ia jadi teringat angka yang harus dilunasinya. Seratus enam puluh ribu rupiah..! Dua puluh ribu rupiah sebulan kali dua anak kali empat bulan pembayaran ! Itulah jumlah yang harus dilunasinya..

“Tapi dari mana gua bisa dapet duit seratus enam puluh ribu..? Sedang ngojek sehari-hari aja paling banter cuman sepuluh ribu bersihnya, potong bensin..”

Daud menguap.

“Siapa yang butuh tenaga gua  yah ? HalahTapinya gua juga kagak bisa apa-apaan, nah orang ngangkat karung beras sekali doang ajah langsung encok..”

“Apa gua dagang aja kali yah.. “ masih pikirnya di sela-sela minum kopi penahan kantuk.

“Tapi apa yang gua mau jual yak ? Jual diri.. ?! Belon lagi, modalnya ntar dari mana..?”

Daud mengeluh pelan, “Halah ! Masa iya gua kudu nyopet, sih ?”

...



PADA saat yang sama, seorang penghuni rumah mewah di ujung jalan juga tidak bisa tidur. Bapak Sartono yang terhormat, pejabat cukup tinggi yang lumayan “sukses”, tidak bisa tidur. Hanya bisa duduk termangu di sisi istrinya yang tidur mendengkur pelan.

“Tukang ronda sialan..  Tengah malam seperti ini nyetel lagu keras-keras..” gerutunya sambil mengibas kepanasan di tengah ruangan ber-AC, “..tapi lagunya enak juga..”

Ingatannya kini membawanya ke wajah anak-anaknya yang tengah melanjutkan studi di Amerika Serikat. Ia mengenang suatu masa dimana mereka, Sartono, Hartini istrinya, juga si kembar Adi dan Ani, berkumpul bersama-sama. Menghela napas panjang, Sartono menyadari bahwa masa itu sepertinya terjadi sudah sangat lama. Yang ada saat ini, anak-anaknya tidak bisa akur dengannya dan istri. Ani, saat ini lebih suka
berbelanja baju, tidak buat dijual melainkan untuk dipakai sendiri, daripada menyelesaikan thesis-nya; sedang Adi, Sartono kembali mengeluh, ia masih harus membiayai persalinan Maya, putri koleganya yang dihamili Adi, sedang Adi sendiri kemarin malah meminta sejumlah uang untuk membeli condo di sana.

Sartono mengeluh, “Kenapa yah hidupku susah sekali..?! Rasanya uangku ngga pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan istri dan si kembar itu..”

Mendadak Sartono seperti teringat sesuatu, “Eh.. dan tentu saja ngga cukup buat memenui kebutuhan TTM-an ku yang satu itu..”

Sekali lagi Sartono menghela napas panjang, “TTM sialan ! Bagaimana bisa dia menghabiskan pagu kartu kredit sampai puluhan juta hanya dalam waktu sebulan ? Sedang bulan lalu pun kejadiannya persis begini..” Sartono memukul-mukul kepalanya pening.

“Dengan gaji asliku,  dan dengan masalah kartu kredit dan semua permintaan uang Adi dan Ani itu, bagaimana aku bisa mendapatkan uang seratus juta dalam waktu beberapa hari ?”

Sartono menepuk dahinya, “Kalau tidak segera dilunasi, sekali Hartini menggesek kartunya dan dinyatakan tidak valid, pasti dia langsung bisa menebak aku belum berpisah dari TTM-an ku.. Bisa perang dunia lagi di rumah !”

Sartono kembali menghela napas mengingat beberapa waktu lalu ketika Hartini memergokinya berduaan dengan si TTM di sebuah mall.

Ingatannya kini melayang pada seorang pengusaha yang mengiming-imingi uang lebih dari kebutuhannya sekarang bila proyeknya di-gol-kan.

“Masa aku harus pakai cara ini lagi sih ?! Aku kok jadi terbelenggu oleh keadaanku sendiri begini, sih ?!”  Sartono mengeluh pelan.

...



DAUD melangkah gontai, lalu duduk di jok motornya. Ya, ia tidak tidur semalaman karena harus meronda. Ia kesal, ia ingin tidur sebentar saja sebelum shalat shubuh, tapi  istrinya tetap memaksanya bangun sebelum shalat shubuh berjamaah.  Belum lagi ia bisa tidur cukup, lagi-lagi Titi dan Amri mengisak mengiba-iba di sisinya, meminta supaya disekolahkan lagi..

Antara kesal dengan rengekan anaknya sementara sedang lelah dan juga kesal karena tidak sanggup memenuhi permintaan anak-anaknya itu, ia memilih langsung keluar ngojek lagi. Syukur-syukur ia bisa dapat
hasil lebihan supaya bisa membayarkan tunggakan uang sekolah anak-anaknya.

Ini sudah jam dua belas siang, dan ia baru dapat tiga pengojek. Sialan..Mana jauh dari rumah, lagi..

Siang itu, Daud, akhirnya, berada di perempatan besar padat di seberang kompleks rukan dan trade center yang terkenal ramai dan padat.

Degh..!

“Apa lihat-lihat..!?”

eh, dia yang jalan nyenggol, dia yang marah..

“Ngga suka..?!”

Emosi Daud jadi bangkit.

Ia berdiri.

Tapi sebelum semuanya terjadi, beberapa tukang ojek di dekatnya langsung memegangi lengannya kuat-kuat..

“Itu copet dan rampok terkenal, Bang.. Jangan.. “

“Biasanya kalo dia turun ke jalan, ini mesti mau ada kejadian, Bang.. Ati-ati..”

“Mending kita pergi aja, Bang.. Jangan ampe deh kesangkut-sangkut..”

Daud jadi sedikit waspada. Naluri perondanya segera melihat sekeliling.

Teman-teman sesama pengojek sebagian mulai bergerak pergi. Tapi Daud memilih tinggal, tetap memperhatikan sekeliling.

Nalurinya kemudian terhenti pada sepasang lelaki yang baru saja keluar dari kantor  pengusaha di seberang jalan. Yang satu, nampaknya Boss kantor seberang itu, tetapi ia tertarik melihat yang satunya. Ia mengenali
sosok itu sebagai salah satu warga rondaannya (pejabat yang ngga mau kenal tetangga-tetangganya..).

“Dua orang ini seperti habis buat kesepakatan tertentu; sama-sama tertawa puas..” pikir Daud, “Nah itu ada sebuah amplop tipis yang diberikan si Boss..”

Tercenung, mendadak terlintas di pikirannya bahwa amplop itu tentu berisi cek yang pastinya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Iri juga ia sekarang pada keberuntungan tetangganya itu.. Tapi..

Halah, gua kok kepikiran nyopet, sih.. Gua udah gila, kali..”  Daud buru-buru menepis ide buruk dalam pikirannya.

“Mudah-mudahan itu rejeki halal, mudah-mudahan saya juga dapat rejeki halal yang cukup agar anak-anak bisa melanjutkan sekolah dalam beberapa hari ini..” Daud mengelus dada mencoba menenangkan diri, menekan perasaan cemburunya dengan berharap kebaikan.

Daud kini membuka mata. Seiring tibanya sebuah mobil yang dikenalinya sebagai milik  tetangganya itu, dua orang itu kini mulai berpisah. Pak Pejabat tetangganya itu kini bersiap-siap masuk ke mobil penjemputnya.

Saat pejabat itu mau naik ke kendaraannya, tiba-tiba..

BRAK !!

Sebuah sepeda motor melaju kencang dari belakang mobil tiba-tiba kehilangan keseimbangan dan menabrak sisi kendaraan si Pejabat. Itu, membuat pengendaranya terpental dan jatuh bergulingan; tetapi hasil akhirnya terduduk dengan santai seperti habis bercanda saja.

Sebentar.. Ini kok aneh ya, malah kayak pertunjukan..

Sebelum Daud menyelesaikan pikirannya, preman yang tadi menyenggolnya tiba-tiba nampak berlari mendekati si Pejabat tetangganya dari belakang..

Oh ini dia tiba kejadiannya..

Tanpa pikir panjang, Daud segera berlari menyeberang jalan mendekat, mencoba mencegah..

Tetapi terlambat, si preman sudah berhasil menyambar amplop dari tangan si Pejabat, sedang Daud malah tidak bisa berhenti berlari dan menabrak si Pejabat.  Keduanya jatuh terjengkang sementara si preman terus berlari menjauh..

Tanpa Daud duga, si pengendara motor yang terduduk mendadak bangun dan berteriak, “Gila lu.. Nyopet di siang bolong..!!”

Pejabat itu, yang mendadak sadar bahwa amplop di tangannya sudah lenyap, sontak berteriak, “Copeeet !!”

Belum sempat Daud berdiri tegak dan menjelaskan duduk perkaranya, ia sudah digebuk massa yang tahu-tahu sudah berkumpul mendengar kata “Copet” itu.

...



SARTONO tidak sempat mengaduh. Terjatuh ia tertabrak seseorang yang berlari kencang ke arahnya.

“Astaga, amplopku..?!”

Lalu ia mendengar pengendara motor yang menabrak mobilnya berteriak menunjuk-nunjuk orang yang menabraknya, “Gila lu.. Nyopet di siang bolong..!!”

Spontan ia berteriak, “Copeeet !!”

Ia sudah ditarik dan dipapah Boss rekanannya ketika ia lihat si “copet” dipukuli massa.

“Bunuh !”

“Bakar aja !”

Ah ngga pentinglah semua itu.. Yang penting itu: amplopku dimannaa !?

“Ampun, Paak ! Saya bukan copet, Paak !” didengarnya suara itu dari sela-sela keriuhan.

Tapi massa yang geram mana mau dengar kata-kata itu..

“Berhenti ! Berhenti !”  teriak Sartono mencoba melerai amuk massa itu.

“Bapak ini gimana sih ? Kalo ngga dimatiin, tuman, ntar..”

“Malingnya bakar aja, Pak..”

Dan Sartono hanya bisa termangu tidak tahu harus bagaimana, sementara si “maling” terus saja dipukuli.

“Tapi.. tapi.. Tunggu dulu ! Seingat saya ada dua orang tadi yang berlari ke arah saya,” Sartono masih mencoba melerai...

“Saya..” Daud bersuara lemah, sudah berdarah-darah, “..mau tangkap copet itu, Pak Sartono.. kenapa.. saya.. yang dipukul ?!”

EhKok kenal ?

“Lho, kamu ini kan tukang ronda di kompleks saya, kan?” kata Sartono yang sekarang mengenali siapa Daud..

Daud mengangguk lemah..

Tiba-tiba serombongan tukang ojek berlari lemah mendekat.

“Mahaf.. Pakh,“ kata salah seorang terengah-tengah, “Copetnya.. lari terlalu kencang..”

Lalu.. massa pengeroyok Daud mulai menghilang satu demi satu.

...



SORE itu juga, Sartono duduk termenung di teras rumahnya. Hari ini ia dapat pelajaran berharga.

Tiba-tiba ia bersyukur bahwa amplop cek sogok si Boss tadi siang dicopet. Ia jadi punya alasan untuk menolak proposal si Boss yang memang jauh dari memadai.

Mendadak ia merasa jijik dengan rumahnya dan isi-isinya, bahkan jijik juga ia bila ingat TTM-an nya..

Tiba-tiba ia merasa mual dengan kelakuan dirinya sendiri selama ini. Bukan istri, apalagi Adi dan Ani yang membuatnya begini.. bahkan bukan juga si TTM itu.. tapi dirinya sendiri..!

Ia makin mual, apalagi ia ingat cerita Daud tentang kebutuhannya sehingga hampir-hampir jadi copet, eh malah dikira copet..

Mendadak ia merasa sekali-sekali perlu melakukan sesuatu hal yang baik dan benar, setidaknya untuk satu kali ini..

....



Mampang XIV. 05 April 2007 20:01 WIB

Koreksi 1. 12 April 2007. 19:11 WIB

Editan sedikit. 30 November 2012. 04:43 WIB

[1] "Somewhere Over the Rainbow" music by Harold Arlen and lyrics by E.Y. Harburg. The Wizard of Oz, 1939

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun