Mohon tunggu...
Efendi Rahmat
Efendi Rahmat Mohon Tunggu... -

Penggemar citizen journalism yang menjadi anggota kompasiana sejak 2009..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti: Upaya Melanggengkan Feodalisme di Era Demokrasi

19 Oktober 2013   12:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:19 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reformasiyang gegap gempita, riuh rendah dan karut marut telah merubah negara kita dari otokrasi militeristis menjadi negara demokrasi. Lima belas tahun peristiwa tersebut telah berlalu dan demokrasi telah berakar serta pohonnya mulai membesar dari sekedar tunas menjadi pohon muda yang mulai berkembang dan berbuah. Buah-buah mulai muncul di dahan-dahannya. Beberapa buah tampak sehat mengkilat dan ranum tetapi sebagian besar lainnya tampak sakit, kusam, kerdil dan berulat.

Itulah gambaran dari sistim demokrasi serta hasil-hasil yang dilahirkannya pasca reformasi. Sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini masih merupakan demokrasi yang sedang berkembang yang masih berkualifikasi kelas dua apabila dibandingkan dengan demokrasi yang sudah mantap seperti di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Jepang, dsb. Demokrasi yang kita terapkan sedang berjuang menghadapi penyusupan dari nilai-nilai sistem otokrasi baik berupa teokrasi, militerisme maupun yang terutama adalah feodalisme.

Sistem demokrasi menurut berbagai ahli dan filosof adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat. Secara lebih jelas Wikipedia mendefinisikannya sebagai berikut:

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.

Singkatnya dalam demokrasi terdapat kesetaraan dalam hak sebagai warga negara apakah dalam kedudukan masing-masing sebagai yang memimpin maupun yang dipimpin dimana yang memimpin mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana yang didelegasikan oleh yang dipimpin melalui tatacara yang sudah ditetapkan. Prinsip “one man one vote” (satu orang satu suara) dalam pemilihan umum menunjukkan tidak adanya hak-hak istimewa bagi siapapun dalam sistem demokrasi. Suara seorang presiden dalam Pemilu setara dengan suara seorang rakyat jelata. Suara seorang majikan setara bobotnya dengan suara seorang pegawai atau buruhnya. Kesetaraan atau equality inilah yang saat ini sedang dirongrong secara luar biasa oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang menghendaki kekuasaan sebagai pemimpin dengan segala cara baik dengan janji-janji berupa materi, kedudukan, maupun uang dan tekanan berupa ancaman, marginalisasi, pemecatan, yang menyebabkan warganegara menyerahkan hak-hak mereka.

Tindakan-tindakan orang-orang atau kelompok-kelompok yang menghendaki kekuasaan dengan cara seperti ini tentunya jauh dari tujuan yang mulia untuk memimpin secara demokratis yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan warganegara yang dipimpinnya. Umumnya mereka yang melakukan tindakan-tindakan seperti ini adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang menghendaki kekuasaan yang dapat mereka kontrol di luar ketentuan hukum yang telah disepakati. Mereka ini umumnya secara sadar atau tidak sadar diilhami oleh bentuk kekuasaan dalam sistem feodalisme yang telah terserap dalam pikiran dan sanubari mereka.

Feodalisme memang merupakan sistem yang sudah berakar jauh sebelum adanya sistem militerisme, teokrasi maupun demokrasi di negeri ini. Raja-rajadi Nusantara telah mengatur kerajaan-kerajaannya dengan sistem ini yang kemudian diabadikan oleh penjajah. Wikipedia mendefinisikan sistem feodalisme sebagai berikut:

Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra.

Dalam sistem ini pemimpin atau penguasa melihat dirinya sebagai penguasa absolut yang membagikan kekuasaannya kepada pemimpin-pemimpin pada tingkatan yang lebih rendah dimana mereka harus bekerjasama dengannya.

Dalam era demokrasi di negera ini kita masih melihat bahwa roh-roh feodalisme ini masih bergentayangan memasuki jiwa-jiwa mereka yang berambisi menjadi pemimpin tetapi tidak memahami dan menjiwai bagaimana menjadi seorang pemimpin di era demokrasi ini. Dengan segala cara mereka akan merebut posisi sebagai pemimpin dan dengan segala cara pula mereka berupaya untuk membengkokkan aturan-aturan yang membatasi mereka sehingga mereka dapat menggunakan kekuasaannya secara ilegal untuk kepentingan diri mereka sendiri maupun untuk kepentingan kelompok. Seorang penjual daging yang terpilih menjadi wakil rakyat karena berhasil membeli dukungan partai dan membeli suara pemilih segera berubah setelah dilantik menjadi wakil rakyat, mobilnya berganti menjadi mobil lux yang tidak sama lagi dengan mobil rakyat, rumahnya dibangun megah, dikerumuni oleh pengusaha pencari rente ekonomi dari penguasa, dijaga ketat oleh staf dan sekuriti serta menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk memperoleh kembali uang yang ia belanjakan untuk menjadi pemimpin. Dia melupakan kesetaraan dengan menjadikan dirinya jauh diatas warganegara-warganegara yang diwakilinya.

Sebagian lagi malah lebih seru. Begitu dalamnya roh feodalisme itu menguasai jiwanya, mereka mengidentifikasikan diri sebagai penerus penguasa feodal di masa lalu dengan memasang gelar-gelar kebangsawanan di depan nama mereka. Mereka sangat bangga dengan gelar-gelar itu, gelar yang menunjukkan ke tidak sesuaian mereka sebagai pemimpin di era demokrasi. Sesungguhnya Jokowi/Ahok dan Bu Risma serta pemimpin yang lebih berpenampilan apa adanya lebih merepresentasikan pemimpin yang baik di era demokrasi.

Oleh karena itu politik dinasti harus diwaspadai karena politik semacam ini sering menunjukkan indikasi keinginan untuk menerapkan sistem feodal yang bermuara pada abuse of power. Marilah dalam pemilihan umum yang akan datang kita pilih pemimpin yang tidak akan memandang rendah kita karena mereka tidak menempatkan diri sebagai penguasa kita. Pilihlah pemimpin yang berjiwa demokratis yang menghargai hak kita sebagaimana mereka menghargai hak mereka sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun