Payung hitam
Payung putih
Payung teduh
Sedang didengarnya
Rintik-rintik
Menggelitik
Berpapasan bagai angin dengan badan
Â
Bodyguard selalu dibelakang
Menjaga agar terhindar dari sengkuni dunia
Bergesekan tapi kau hiraukan
Foto lawas terpampang di area kota
Berlaga petantang-petenteng
Dengan kelap kelip lampu yang ada di depan mata
Â
Aku dibelakang salah
Aku didepan pun salah
Siapakah sengkuni itu?
Aku atau kau?
Akhirnya aku di belakang saja walau kau suruh aku didepan
Â
Tembok putih serta pagar hitam
Jalanan kotak-kotak
Mengapa kotak-kotak? Kenapa tidak bulat atau segitiga?
Jawablah ndoro, aku tidak bisa menjawabnya
Karena aku bawahanmu
Kau yang punya ilmu tinggi
Sedang aku hanya punya ilmu dibawah mata kaki
Â
Memakai kacamata hitam
Di malam hari
Apakah terlihat jalan yang penuh ranjau itu?
Oh tuhan, inikah yang dinamakan lelucon kota
Â
Ini namanya guyon
Ahh, sama saja itu lelucon
Melihat orang menggoes hidup dimalam hari saja
Tidak ada rasa kasihannya
Oh tuhan, inikah yang dinamakan lelucon kota.
Â
Sebagai warga sipil
Yang kadang disentil
Aku tidak bisa apa apa
Aku hanya bisa nurut dengan ndoro ku saja
Sesekali ber-guyon masyarakat dengan ndoro
Itu sangat menyenangkan
Sampai terlihat ia tertekan dengan guyon masyarakatku
Yang biasanya ia selalu ber-guyon kota
Â
Diselimuti kenikmatan
Oh tuhan, inikah yang dinamakan lelucon kota?
Jawablah tuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI