Mohon tunggu...
Blitarian
Blitarian Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulislah, walau sebaris kalimat

Buku, Sepeda, Perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mewujudkan Kesejahteraan, Menjaga NKRI

30 Januari 2013   05:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:18 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita baru saja  meninggalkan 2012 yang penuh kehebohan. Kecelakaan Sukhoi. Penangkapan politisi korup. Penangkapan aparat pajak penerima suap. Grasi penjahat narkotika dan lain2.. Meski banyak permasalahan bangsa yang menguji ketangguhan NKRI masih belum selesai, 2012 memang tak lagi bisa menunggu. Harus ditutup untuk berganti menjadi 2013.

Indonesia menutup 1945 dengan kepala tegak, dan dada membusung. Tak heran, karena pada salah satu bulannya seorang pemuda kurus kecil dari pelosok kampung di Jawa Timur, dengan didorong oleh banyak pemuda pada waktu itu, berani memanfaatkan momentum berupa berita kekalahan tentara Jepang, tentara yang sehari-harinya menjajah mereka. Berita itu adalah momentum. Momentum itu adalah berita, informasi. Ini bukan jamannya twitter dimana Soekarno menerima mention dari temennya di Vietnam atau New York tentang menyerahnya Kaisar Jepang kepada tentara sekutu pimpinan AS. Informasi pada waktu itu hanya diperoleh melalui siaran radio yang kemrosok. Jadi tak lagi penting dari mana info didapat, yang penting adalah follow up yang tepat.

1965. Indonesia menutup tahun ini dengan duka nestapa. Tensi politik yang tinggi tak mampu lagi diselesaikan melalui forum demokrasi. Maklum, seluruh komponen bangsa waktu itu juga masih belajar bagaimana mengelola negara sebesar ini. Perbedaan pendapat mudah sekali terjadi. Perbedaan di tingkat elit, difollow up di tingkat bawah dengan gontok-gontokan adu kekuatan. Satu golongan menuntut agar massa binaannya dipersenjatai, hal yang tak mungkin disetujui. TNI meradang. Memori 1948 kembali teringat. Tak mau kejadian pemberontakan yang mengancam NKRI terulang, rakyat dan aparat bergerak. Walaupun sejarah mengenai konflik 1965 itu terus menjadi perdebatan, yang jelas NKRI tetap utuh sampai sekarang, dari Sabang sampai Merauke masih berkibar sang saka Merah Putih, bendera yang serupa dengan yang dikibarkan Soekarno pada 17 Agustus 1945.

1998. Indonesia menutup tahun ini dengan kepala tertunduk. Krisis ekonomi membuat Indonesia menengadahkan tangan meminta bantuan kepada IMF. Rupiah melorot tajam terhadap dollar, dan pernah mencapai Rp18.000 per 1 USD. Tiba-tiba saja rakyat harus menanggung hutang Obligasi Rekap yang dimintakan pemerintah kepada Bank Indonesia. Jumlahnya gak tanggung-tanggung, 600 triliun.

Ini memang sejenis krisis yang tidak membuat NKRI pecah secara politik. Tapi, nyata terlihat di masyarakat, kesenjangan ekonomi yang mencolok ini mendorong terjadinya perpecahan sosial, menyulut sentimen jawa - non jawa, pribumi non pribumi, timur dan barat, pendatang dan non pendatang. Hal-hal itu mestinya sudah dapat kita anggap tidak lagi relevan untuk sebuah negara kesatuan yang demokratis seperti Indonesia. Platform NKRI bermakna, bahwa perbedaan yang ada disadari memang ada, bukan untuk dipertarungkan mencari menang kalah, tapi dikompetisikan untuk tujuan positif membentuk bangsa yang kuat. Bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang homogen, tapi bangsa yang heterogen. Heterogenitas lah yang memperkaya Indonesia.  Itu keyakinan kita.

Masalahnya demokrasi yang kita nikmati sejak 1999 bukanlah barang jadi tinggal makan. Ia sebuah proses. Input - Process  - Outputnya tidak mudah. Demokrasi kita belum membawa kesejahteraan yang merata. Pemilu yang seharusnya proses seleksi pemimpin, berubah menjadi ajang pesta rakyat. Pesta beneran. Tiap lima tahun tiba2 ada orang menjadi sangat baik hati mendatangi kampung2 bagi2 uang dan sembako. Minta dipilih menjadi wakil atau pemimpin. Akibatnya, yang banyak uang yang menang.  Pemilu di Indonesia tak menghasilkan pemimpin berkualitas. Kualifikasinya rendah, hanya mampu menjalankan tugas2 administratif, jauh dari kemampuan memimpin dengan visioner. Indikatornya jelas. Cek saja capaian UU yang mampu dihasilkan oleh proses legislasi di parlemen. Legislasi itu dua arah, ada yang usulan pemerintah, ada yang inisiatif DPR. Dua2nya nilainya merah. Akibatnya banyak yang bolong di masyarakat. Banyak hal yang belum diatur. Situasi di lapangan masyarakat sudah seperti pasar tradisional. Kumuh, rusuh, ruwet, becek tanpa aturan. Di depan los resmi masih ada pedagang kaki lima yang nyetor ke petugas berseragam agar bisa dapat tempat. Tak cukup hanya itu, di depannya lagi orang buka lapak makan trotoar dan jalanan. Petugas berseragam yang mestinya menertibkan berubah menjadi centeng yang menjaga terjadinya pelanggaran. Demikianlah kira2 suasana NKRI kita saat ini. Pemerintahan produk proses demokrasi berkali-kali diuji eksistensinya. Apakah mereka merupakan garda penjaga aturan dan penegakan hukum atau centeng tukang pungut yang melanggengkan pelanggaran ?? Kasus2 besar korupsi yang terungkap di 2012 diantaranya dilakukan oleh politisi aktif di parlemen, aparat pajak, juga ada pengungkapan rekening gendut aparat penegak hukum, suap remisi hukum, pengaturan vonis di mahkamah tertinggi kehakiman, serta pelanggaran oleh pejabat tinggi bank sentral dalam kasus bail out bank...semuanya merata. Semua lembaga negara, pemegang kewenangan...terungkap gamblang pelanggarannya di tahun 2012....bagaimana kita tidak mengatakan kalo ujian terhadap NKRI begitu berat bila lembaga negaranya saja malah menggerogoti eksistensinya?

Di tahun 2013, diprediksi keadaan belum tentu lebih baik. Indikatornya di masyarakat masih mudah ditemui. Ngurus apa2 masih bayar, musti nyiapin uang tip, uang kopi, uang rokok. Pelanggaran di jalan raya masih bisa damai di tempat. Itu indikator lapangan kalo keadaan Indonesia belum berubah. Bagaimana mengakhirinya? embuh aku yo ora weruh. Mungkin lewat pendidikan? Mungkin lewat keluarga? Tapi yang dari rumah dan sekolah sudah baik pun, tak menjamin ketika di ruang publik, jadi pejabat pemegang kewenangan tetap baik. Melihat parade penangkapan KPK 2012, semua yang ditangkap berasal dari keluarga dan sekolah baik-baik hehehehe...opo tumon...mboh wes...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun