Misalkan Tri Rismaharini berpasangan dengan Sandiaga Uno maju dalam pilkada Jakarta. Banyak yang bilang, pasangan ini sulit terwujud. Ada pula yang bilang, tidak mungkin menang lawan Ahok. Ini dugaan yang terlalu sesumbar. Lihat saja, koalisi Kekeluargaan yang terbentuk di mana PDIP dan Gerindra bagian dari kongsi gemuk ini. Bukan tidak mungkin, PDIP akan mengajukan Risma dan Sandi rela turun di posisi cawagub.
Lalu tidak mungkin menang lawan Ahok? Saya Ahoker, namun kalau harus realistis, prediksi saya 50:50. Pasangan ini sangat berpotensi menang, apalagi kalau diumumkan tepat pada hari terakhir pendaftaran pasangan yang diusung parpol di KPU. Beberapa bulan setelah deklarasi, popularitas pasangan ini bakal semakin menanjak, sementara Ahok kemungkinan stagnan, bahkan cenderung menurun, apalagi, sosok Heru bukanlah figur yang potensial meraup suara. Pada akhirnya kans keduanya (Risma-Ahok) memenangi pilkada akan sama besarnya.
Nah, bagi saya, jika PDIP memang tak lagi berniat mendukung petahana, maka satu-satunya peluang menang adalah mengajukan Risma (bukan kambing dibedakin ya) melawan Ahok. Jika skenario tersebut berjalan dan Risma sukses ke DKI 1 didampingi Sandi, maka seharusnya, Gerindra-lah yang paling diuntungkan. Apa sebab? Mari kita telaah lebih jauh.
Sebelumnya, yuk kita berangkat ke masa lalu. Tak bisa dipungkiri jika Gerindra masih memelihara luka setelah sekian kali ditelikung oleh PDIP. Masih ingat soal cerita perjanjian Batu Tulis? Konon, di tahun 2009, ketika Megawati maju didampingi Prabowo Subianto di pilpres, kedua pihak telah membuat perjanjian. Di mana, Mega dengan PDIP-nya akan menyokong penuh Prabowo di pilpres 2014. Semuanya berjalan baik-baik saja; nama Prabowo paling diunggulkan menjadi suksesor presiden SBY. Hampir tak ada kandidat lain yang dianggap mampu menghadang laju Prabowo, sebelum Si Kurus Jokowi muncul merusak pesta. Tak mungkin dipungkiri, dalangnya adalah Megawati. Dialah yang memberi restu Jokowi meninggalkan kursi gubernur DKI menuju pilpres 2014. Dan kenyataan hasil pilpres akhirnya membuat Prabowo gigit jari. Tentang Prabowo, dalam hal ini, walaupun tak bisa menyembunyikan sakit hatinya, kenegarawanannya tetap dipertahankan. Ia tak sampai benar-benar jatuh setelah peristiwa pahit itu. Ia bahkan datang memberi selamat kepada mantan rivalnya, Jokowi-Kalla di hari pelantikan presiden dan wakil presiden. Memang begitulah seharusnya seorang prajurit menyikapi kekalahan.
Drama masih berlanjut, dua tahun setelah pemerintahan Jokowi-JK berjalan, Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori Gerindra mulai digembosi, kali ini Jokowi-lah dalang penaklukan itu. Satu persatu, anggota KMP mendekat pada kekuasaaan, padahal di awal pemerintahan, koalisi ini sukses mengaduk-aduk stabilitas pemerintahan. Mereka begitu berjaya di parlemen lewat sejumlah keputusan. Dari pemilihan unsur pimpinan DPR hingga disahkannya UU MD3. Tapi kini, KMP sudah hampir bubar, mereka yang bertahan hanyalah Gerindra dan PKS yang mungkin akan dibiarkan terus hidup, sekadar pengingat akan histori sebuah kelompok bernama KMP. Keduanya tak lagi setangguh di awal, mereka tak lagi bergigi di bawah kepungan partai pendukung pemerintah. Prabowo dan Gerindra-nya lagi-lagi gigit jari.
Masih dekat-dekat pilpres, PDIP lagi-lagi membuat Gerindra kecolongan. Kali ini Si Bocah Nakal asal Belitung-Ahok- yang jadi biangnya. Ceritanya, dua tahun sebelum pilpres, tepatnya di 2012, Prabowo lagi-lagi membuat kongsi dengan Mega untuk mengajukan pasangan calon Jokowi-Ahok di pilgub DKI. Ahok yang sebelumnya bernaung di bawah partai Beringin-Golkar- lompat pagar ke partai Gerindra. Ia disambut hangat, dielu-elukan, bahkan oleh duo saudara; Muhammad Taufik dan Sanusi, dan pastinya sahabat mereka, Fadli Zon
Koalisi ini kembali manjur, Jokowi-Ahok melaju mulus ke Balai Kota DKI. Singkat kata, dua tahun kemudian, Jokowi memenangkan pilpres dan Ahok dari Gerindra mewarisi tahta DKI 1, sementara PDIP harus turun kasta di posisi wakil gubernur oleh Djarot Saiful Hidayat, mantan Bupati Blitar.
Luka pilpres masih menganga, dan “hanya” oleh alasan tak setuju dengan pilkada tak langsung, Ahok tiba-tiba berulah. Entah siapa yang membisikinya, ia minggat dari Gerindra. Gerindra gigit jari lagi? Sulit untuk mengatakan tidak. Praktis, Gerindra menjadi pelopor oposisi di DPRD DKI. Taufik dan Sanusi harus balik badan, tak ada lagi cerita pasang badan untuk Ahok.
Wah, tensinya seperti el clasico saja ya. Tapi tunggu dulu, ini beda lho. Di Spanyol, El Real dan Barca saling mengalahkan. Mereka gantian tumbang. Sementara yang di sini, satunya jadi pesakitan terus. Satunya lagi terus menari-nari, berdendang, lupa tetangga yang lagi sakit gigi.
Kembali ke masa kini. Babak baru duel ini dimulai lagi seiring ditabuhnya genderang pilgub DKI. Koalisi Kekeluargaan telah terbentuk. Menarik untuk diprediksi, apa lagi yang akan terjadi, sekiranya PDIP nekat memasangkan Risma dan Uno dan menang. Siapa yang menelikung siapa?
Saya melihatnya begini. Bukan meremehkan, saya percaya, situasi politik di Surabaya, tekanannya tidaklah sekuat di DKI. Pertanyaannya, mampukah Risma melalui tekanan sebagaimana yang dialami Ahok tiga tahun terakhir? Sebab fakta berbicara, Risma tidaklah setegar Ahok dalam menghadapi masalah. Lihat, bagaimana Risma merasa tak dihargai dalam kasus penunjukan Wishnu Buana sebagai pengganti Wakil Walikota Bambang DH. Kabarnya, ia sempat menghilang beberapa hari, dan ingin mundur dari jabatannya. Terbaru, ia mencak-mencak setelah disentil Ahok
Ini baru di level partai. Bagaimana jika ia harus menghadapi mafia anggaran, atau tekanan dari menteri tertentu. Bukan tak mungkin rongrongan akan datang dari orang-orang yang menginginkan kursinya bahkan dari partai pendukungnya sendiri. Siapa yang paling memungkinkan, silakan ditebak. Bayangkan jika Risma jatuh, kali ini siapa gigit jari?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H