Mohon tunggu...
DENNY MARTONO
DENNY MARTONO Mohon Tunggu... Administrasi - ADMIN FINANCE

Baru dua tahun di Kompasiana, baru belajar merangkai aksara menjadi kata dan cerita....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Take Me to Your Heart (9)

27 Desember 2013   09:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:27 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1388110951230429421

Episode 8

ARINTHA

Hingga saat ini aku masih tak mengerti sebenarnya apa alasan pengemudi mobil itu menabrakku tempo hari. Seingatku aku tak pernah memiliki musuh. Apakah mobil itu ingin menabrak Cliff? Tapi untuk apa? Dan siapa pengemudi mobil itu? Kepalaku masih terasa sakit tatkala memikirkannya. Aku harus bertanya pada Cliff untuk mengetahui kejelasan masalah ini, batinku.

********

CLIFF

Peristiwa penabrakan Arintha sampai sekarang tetap membayangi benakku. Kejadiannya sangat cepat namun aku masih bisa mengenali mobil itu dan sosok di dalamnya. Ya, aku sangat meyakini bahwa itu mobil Clara. Namun mengapa dia melakukan hal sekeji itu? Apakah dia telah mengetahui hubunganku dengan Arintha dan ingin melukainya? Aku harus bertanya pada Clara untuk mengetahui kejelasan masalah ini, batinku.

********

“Clara, benarkah kamu yang telah menabrak Arintha?”, tanyaku malam itu.

Wanita itu nampak terkejut, dia berusaha menyangkal namun segera menyadari bahwa semuanya sia-sia dan perbuatannya telah terbongkar,

“Apa maksudmu Cliff? Aku tak mengenal siapa Arintha”

“Bohong, aku sempat melihat mobilmu melaju setelah menabraknya dan para saksi mata juga telah mengidentifikasi nomor polisi mobilmu”

“Oke…oke. Memang benar aku yang telah menabraknya. Karena dia harus dilenyapkan, karena dia harus meninggal. Dan agar dia tak mengganggu rumah tangga kita lagi dan kita akan hidup bahagia bersama selamanya”

“Begitu teganya kamu Clara. Dia tak bersalah dan tak berhak mengalami musibah ini. Dan keinginanmu tak tercapai, Arintha masih hidup namun lumpuh”, ujarku.

“Berdoalah agar dia dan keluarganya memaafkanmu dan tidak melaporkanmu pada polisi atas dakwaan percobaan pembunuhan”,

Wajahnya sontak berubah pucat, namun dia terdiam tanpa berkata apa-apa lagi. Bahkan masih membisu saat aku meninggalkannya dengan amarah membara dalam hatiku.

********

“Dok, bagaimana perkembangan Arintha? “, tanyaku siang itu pada dokter yang menangani Arintha.

Pria paruh baya berambut perak itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik nafas panjang dan menghembuskannya seraya berkata perlahan,

“Proses penyembuhannya telah kami upayakan maksimal, namun belum ada perkembangan berarti bagi kesembuhan ibu Arintha”

Aku terdiam dengan kepala tertunduk, sementara di sebelahku papa dan mama Arintha juga hanya mampu terdiam seribu bahasa, sebelum kemudian kudengar isak tangis perlahan. Sejujurnya aku tak -ingin berkenalan dengan mereka dalam situasi seperti ini, namun aku tak dapat berbuat apa-apa.

“Jadi artinya anak kami lumpuh dan tidak dapat disembuhkan?”, tanya papa Arintha berusaha tegar.

“Kami hanya dapat berusaha namun Tuhan juga yang menentukan”, ujar dokter itu.

Penjelasan lebih detail selanjutnya tiada mampu mengendap di benakku. Pikiranku melayang, menerawang, membayangkan gadis yang kucintai bertelut dalam penderitaan. Semua ini akibat perbuatan Clara, batinku geram. Segala usahanya sia-sia, perbuatannya bukan membuat aku meninggalkan Arintha, tapi malah membuatku meninggalkannya. Niatku kian bulat terpatri dalam hati untuk menceraikannya.

********

ARINTHA

“Jadi Arintha telah dipastikan lumpuh? “, lamat-lamat kudengar suara Philip dari luar ruang perawatan rumah sakit tempatku terbaring. Siang itu dia tengah berbincang dengan papaku selepas menjengukku. Anganku kembali melayang dengan berjuta pertanyaan. Bagaimana dengan rencana pernikahan kami? Akankah tertunda ataukah malah dibatalkan? Jawabannya segera kudapat ketika pintu ruangan itu terbuka dan papaku masuk dengan wajah keruh,

“Philip telah mengetahui kondisimu, dan dia membatalkan rencana pernikahan kalian”, ucapnya dengan mata lekat menatapku.

Sejujurnya aku tak mengetahui apakah aku harus menangis atau tertawa mendengar kabar itu. Sejatinya memang tak ada cinta diantara kami. Dan mungkin ini memang jalan Tuhan yang begitu menyayangiku agar aku berpisah dengannya.Masih dengan hati hampa tanpa rasa ketika papaku merengkuhku dalam pelukannya. Mungkin beliau mengira aku sedih mendengar kabar itu dan berusaha memberiku kekuatan dan penghiburan.

********

CLARA

“Rumah tangga kita telah tak mungkin dipertahankan lagi, mengertilah Clara. Aku tak mencintaimu dan aku tak bisa memaafkan perbuatanmu terhadap Arintha tempo hari”, ucap Cliff malam itu.

“Begitu maumu? Baik, aku menyadari sekarang bahwa semua usaha dan penantianku sia-sia belaka. Segalanya musnah, semua yang kumiliki tak berarti lagi. Tak ada artinya aku hidup. Selamat tinggal Cliff”, ucapku sambil meraih pisau dan menyayat pergelangan tanganku. Masih kulihat suamiku berteriak dengan paniknya dan berusaha merebut pisau di tanganku dan darah mengucur keluar dengan derasnya, sebelum kemudian kurasakan semuanya menjadi gelap dan tubuhku ambruk ke lantai.

********

CLIFF

Tindakan nekat Clara membawanya ke rumah sakit yang sama dengan tempat Arintha dirawat. Pendarahannya cukup banyak akibat luka gores yang dalam, nyaris membuat nyawanya melayang. Namun rupanya Tuhan masih ingin dia hidup untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Aku masih tak mengira dia tak main-main dengan ancamannya tempo hari. Berbagai tindakannya membuatku seolah tak mengenalnya lagi. Ternyata cinta mampu membuatnya gelap mata.

********

“Cepatlah sembuh Arintha. Agar kamu bisa meninggalkan rumah sakit ini secepatnya. Agar kita bisa segera mempersiapkan rencana pernikahan kita”, ucapku lembut ketika siang itu tengah menjenguknya.

Dia menatapku dengan mata terbelalak tak percaya, untuk sejurus kemudian berkata,

“Jangan bercanda Cliff, tak sadarkah kamu bahwa aku lumpuh? Dan tak mungkin sembuh”

“Aku serius Arintha. Aku mencintaimu dan ingin menikahimu. Pernikahanku dengan Clara adalah sebuah kesalahan, dan aku segera akan menceraikannya. Sementara rencana pernikahanmu dengan Philip telah dibatalkan. Aku mendengarnya dari penuturan papamu”

“Kamu masih mencintaiku, walau dengan kondisiku seperti ini?”, tanyanya masih dengan nada ragu.

“Aku tak peduli Arintha, sekalipun kamu cacat. Sekalipun aku harus menuntun dan mungkin menggendongmu sepanjang hidupku. Hanya satu permintaanku, maafkanlah perbuatan Clara, ya dia yang telah menabrakmu.  Dia bukan orang jahat, hanya terobsesi oleh cinta”

********

ARINTHA

“Aku tak peduli Arintha, sekalipun kamu cacat. Sekalipun aku harus menuntun dan mungkin menggendongmu sepanjang hidupku”

Aku masih tak percaya mendengar kata-kata Cliff, namun dapat kulihat kesungguhan di matanya. Dan itu sudah lebih dari cukup, tak perlu ribuan kata. Kurasakan airmataku mulai menggenangi pelupuk mataku. Tuhan, inikah cinta sejati? Walaupun aku harus membayar mahal untuk memperolehnya. Aku berserah pada ketetapanMu, tekadku.

********

CLARA

Sampai hari ini akibat sayatan pisau itu tanganku masih terasa sakit, namun tak sesakit hatiku kala melihat Cliff lebih sering menjenguk Arintha daripada menjengukku. Begitu berartikah gadis itu baginya? Aku merenungi akibat perbuatanku sendiri, bukan hanya aku yang terluka namun juga orang lain. Egoiskah aku? Haruskah aku merelakan Cliff bersamanya? Bukankah kebahagiaan adalah melihat orang yang kita cintai lebih berbahagia bersama orang lain?

********

Enam bulan kemudian

CLIFF

Di luar dugaanku proses perceraianku dengan Clara berlangsung lancar. Dia nampak tenang ketika menandatangani dokumen perceraian kami tiga bulan yang lalu. Dan setelah itu aku pun mempersiapkan pernikahanku dengan Arintha. Sejujurnya harus kuakui tak mudah namun aku berusaha keras meyakinkannya bahwa aku sungguh-sungguh menerima kondisinya bukan karena iba. Aku menjalani hari demi hari dalam penantian, dan hari ini semuanya terbayar lunas ketika kulihat Arintha dalam balutan gaun pengantin berwarna putih memasuki gereja itu dengan kursi roda yang didorong mamanya. Wajahnya nampak damai ketika tersenyum menatapku, bahkan ketika menjalani prosesi pernikahan. Tak seperti sebelumnya saat Clara bersanding denganku, kurasakan kebahagiaan melingkupi hatiku. Dan kurasa Arintha juga merasakan hal yang sama denganku.

********

Tiga bulan setelah menikah dengan Arintha aku mendengar berita bahwa Clara meringkuk dalam tahanan akibat perbuatannya pada Arintha. Tak urung hal itu membuatku iba, karena walau bagaimanapun dia adalah sahabatku. Ketika menjenguknya bersama Arintha, mereka pun saling berpeluk dalam tangis dan tak urung hal itu membuatku terharu. Semua dendam, semua kebencian, semua kesalahpahaman usailah sudah. Malamnya ketika tengah berdua aku berbisik di telinga Arintha,

“Are you happy my college girl?”

Dia terbahak seketika, tak menyangka aku masih mengingat saat-saat manis awal pertemuan kami.

“Sure…always, as long as I spent every minute with you”

Aku merengkuhnya penuh kebahagiaan dalam pelukku. Hatiku membuncah penuh kegembiraan. Ya asalkan selalu bersama, kami tak peduli apapun rintangan yang menghadang dalam menjalani hari-hari masa depan penuh harapan.

********

EPILOG

Nyatalah bahwa rasa hati tiada dapat dipaksakan. Cinta sejati tumbuh seiring kebersamaan dan berkembang dalam penerimaan tulus akan kelebihan dan kekurangan pasangan masing-masing. Dan cinta sejati akan menemukan jalannya sendiri.

(Tamat)

[caption id="attachment_311615" align="aligncenter" width="300" caption="picture taken from google"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun