Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cara Memajukan Sekolah dengan Pendekatan Berbasis Aset

2 Maret 2023   21:27 Diperbarui: 2 Maret 2023   21:32 2198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mas Menteri Nadiem, dalam berbagai kesempatan sering mengungkapkan konsep tentang guru sebagai pemimpin pembelajaran. Kalau berbicara tentang pemimpin sekolah atau kepala sekolah, itu sudah familiar di telinga kita. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kepemimpinan pembelajaran itu? Kepemimpinan pembelajaran adalah kepemimpinan yang memberikan perhatian khusus pada proses pembelajaran yang unsur-unsurnya meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, penilaian proses dan hasil belajar, pengembangan guru, pelayanan dalam pembelajaran, dan pembentukan komunitas belajar di sekolah (diadaptasi dari Aina Mulyana).

Seorang pemimpin sekolah yang memahami konsep kepemimpinan pembelajaran juga mendasari setiap tindakan dan keputusannya dengan dasar filosofis pendidikan yang kuat, visi yang jelas, dan budaya positif yang diimplementasikan di sekolah. Dengan memiliki dasar filosofis yang kuat tentang pendidikan yang menuntun kodrat alam dan kodrat zaman setiap individu murid, pemimpin pembelajaran akan memiliki arah yang jelas terhadap proses pembelajarannya. Terlebih lagi jika hal itu didukung oleh visi yang jelas yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai kebajikan yang diyakini dan ingin diperjuangkan baik oleh dirinya secara pribadi maupun oleh seluruh warga sekolah.

Selain itu, dalam mewujudkan visi sekolah tersebut seorang pemimpin pembelajaran yang juga mengelola aset manusia harus membiasakan budaya positif di sekolahnya. Guru tidak menghakimi para muridnya, tetapi membimbing para murid dengan menerapkan restitusi yang membentuk kesadaran dan niat dari murid untuk berbenah. Para murid diajak untuk membentuk keyakinan kelas yang secara perlahan bisa membenahi karakter dan perilakunya.

Dalam mengelola pembelajaran, seorang pemimpin pembelajaran akan selalu berpihak pada murid dengan memperhatikan keistimewaan dan kebutuhan yang unik dari setiap individu, memperhatikan kemerdekaan setiap individu, dan memberi ruang terhadap pengembangan kompetensi sosial emosionalnya.

Untuk menghargai kesetaraan di antara rekan sejawat dan juga para murid, seorang pemimpin pembelajaran menggunakan teknik coaching dalam memecahkan berbagai persoalan. Dia tidak berlagak sok tahu tentang segala sesuatu, tetapi berusaha membimbing agar rekan sejawat atau para murid dapat menemukan sendiri solusi dari masalah yang dihadapi.

Di dalam membuat keputusan, kepemimpinan pembelajaran tidak akan mudah terkecoh oleh bujukan moral yang dihadapinya, akan tetapi akan membuat keputusan yang bertanggung jawab dengan mempertimbangkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini dan diperjuangkan. Dia akan bisa membuat keputusan yang paling ideal ketika menghadapi dilema etika.

Pengelolaan Sekolah dengan Pendekatan Berbasis Aset

Saat kita menulis makalah, skripsi, atau tesis, kita diarahkan untuk terlebih dahulu dapat mengidentifikasi masalah dari topik yang sudah kita tentukan. Setelah masalah teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah merumuskannya menjadi permasalahan yang definitif. Selama ini saya berpikir bahwa langkah perumusan masalah itu juga bisa kita terapkan dalam menghadapi berbagai persoalan di sekolah.

Dalam rapat-rapat di sekolah kadang kita mencari akar masalah yang sedang kita hadapi untuk mencari jalan keluarnya. Ternyata langkah seperti itu justru akan menuntun kita pada permasalahan yang lebih dalam. Kita biasanyanya mengeluh tidak punya ini, tidak punya itu, yayasan tidak mendukung, dan lain-lainnya. Ujung-ujungnya kita tidak melakukan apa-apa karena merasa segala sesuatuya serba terbatas, serba kekurangan. Akhirnya tidak ada tindakan yang dilakukan, hanya sampai pada perumusan masalah.

Melalui pelatihan guru penggerak yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui kementerian pendidikan, para guru dikenalkan tentang konsep yang baru tentang pengelolaan sekolah dengan pendekatan berbasis aset atau asset-based approach. Sesuatu yang sangat baru bagi saya dan mengubah paradigma berpikir saya. Melalui tulisan ini saya berharap konsep baru ini juga lebih mudah tersebar dan dipahami oleh lebih banyak orang.

Dalam memajukan sekolah yang dipimpinnya, seorang pemimpin pembelajaran hendaknya dapat mengidentifikasi dan memberdayakan aset yang dimiliki oleh sekolahnya. Pemimpin pembelajaran yang menggunakan pendekatan berbasis aset tidak akan berfokus pada kekurangan, kelemahan, dan permasalahan yang ada di sekolah. Dia akan selalu berpikir positif dan memanfaatkan segala sesuatu yang bisa dipakai untuk memajukan sekolahnya.

Pendekatan berbasis aset yang selalu mengedepankan berpikir positif ini agaknya selaras dengan konsep dari buku The Secret, karya Rhonda Byrne. Kalau yang kita pikirkan kelemahan, kekurangan, hal negatif. Itulah yang akan kita tarik dari alam dan terjadi pada kita. Namun sebaliknya jika kita berpikir positif, memikirkan aset, kekuatan, maka hal itu pula yang akan terjadi pada diri kita. Demikian seperti diungkap dalam The Secret.

Pendekatan berbasis aset atau asset-based approach ini dikembangakan oleh seorang ahli psikologi, Dr. Kathryn Cramer. Pendekatan ini dapat diterapkan di level mana pun. Bisa diterapkan di level kelas, sekolah, yayasan, dinas pendidikan, atau bahkan di masyarakat.

Perbedaan mencolok antara pendekatan berbasis aset atau asset-based approach dan pendekatan berbasis kekurangan/masalah atau deficit-based approach  dapat digambarkan sebagai berikut. Pemimpin yang menggunakan cara pandang atau pendekatan berbasis kekurangan/masalah hanya akan (1) fokus pada masalah atau isu (2) selalu berkutat pada masalah utama (3) selalu bertanya apa yang kurang ketika mengidentifikasi kebutuhan (4) fokus mencari bantuan dari sponsor atau lembaga lain (5) merancang program atau proyek untuk menyelesaikan masalah (6) mengatur kelompok yang dapat melaksanakan proyek.

Sementara itu, di sisi lain, pemimpin yang menggunakan cara pandang atau pendekatan berbasis aset atau asset-based approach  akan (1) fokus pada aset atau kekuatan yang dimiliki oleh lembaganya (2) tidak berkutat pada masalah utama tetapi membayangkan masa depan (3) berpikir tentang kesuksesan yang sudah dicapai dan kekuatan yang dipakai untuk mencapai kesuksesan tersebut (4) tidak hanya fokus mencari bantuan tetapi mengorganisasi aset dan kekuatan yang dimiliki (5) merancang sebuah rencana berdasarkan visi dan kekuatan yang dimiliki (6) melaksanakan rencana aksi yang sudah diprogramkan.

Seperti yang terdapat dalam modul guru penggerak, Green dan Haines (2016) menggolongkan aset-aset dalam sebuah komunitas, termasuk juga sekolah, ke dalam tujuh kategori. Aset atau modal utama itu meliputi aset manusia, fisik, sosial, politik, agama dan budaya, lingkungan alam, dan aset finansial.

Implementasi dalam Pembelajaran di Sekolah

Contoh konkret tentang pemanfaatan aset ini misalnya jika sebuah sekolah di daerah Yogyakarta ingin menghadirkan narasumber atau tokoh yang bergelut dalam bidang seni, sekolah itu tidak perlu mengundang tokoh Ludruk dari Jawa Timur yang secara lokasi jauh, membutuhkan dana,  dan akomodasi yang tidak sedikit. Sekolah di Yogyakarta bisa mengundang aktor atau tokoh kethoprak sebagai gantinya. Tentu itu lebih sesuai dengan aset yang ada di daerah Yogyakarta sebagai pusat kesenian kethoprak. Itu contoh pemanfaatan aset manusia.

Contoh lain misalnya bagi sekolah yang berada di pegunungan. Ketika ingin mengajak belajar anak-anak tentang ekosistem, tidak harus mengikuti apa yang ada di buku paket yang menyajikan ekosistem pantai dan laut. Mereka bisa belajar secara lebih mendalam tentang ekosistem daerah pegunungan sesuai dengan lingkungan tempat sekolahnya berada.

Para guru kadang secara kaku mengajarkan apa yang ada di dalam buku paket tanpa mengidentifikasi secara luwes disesuaikan dengan lingkungannya. Kasus seperti itu terjadi dengan keponakan saya di kampung yang harus menyiapkan kain flanel untuk pekerjaan prakarya seperti yang terdapat dalam buku paket atau LKS. Padahal di kampung tidak ada yang berjualan kain flanel. Kalau membeli ke kota harus menempuh perjalanan sejauh 16 kilometer. Seharusnya guru peka terhadap aset atau sumber daya yang ada di kampung dan tidak memaksakan untuk menggunakan kain flanel untuk mata pelajaran prakarya tersebut.

Dengan menyelenggarakan pembelajaran yang memanfaatkan aset atau modal yang dekat dengan peserta didik, tentu hasil pembelajaran lebih berkualitas. Anak-anak di pegunungan akan lebih familiar dan menguasai ekosistem pegunungan daripada ekosistem pantai. Demikian juga anak di kampung akan lebih menguasai kerajinan dari kayu, bambu, rumput-rumputan, dibandingkan dengan kerajinan atau prakara berbahan kain flanel yang asing bagi mereka.

Pemimpin pembelajaran yang selalu memberikan perhatian pada aset yang dimiliki akan lebih memiliki peluang untuk membawa sekolahnya untuk mencapai cita-cita seperti yang tertuang dalam visi sekolah. Kita semua harus mulai saling mengingatkan untuk menggunakan pendekatan berbasis aset dalam mengelola komunitas tempat kita berada, tak terkecuali komunitas sekolah kita. Mudah-mudahan transformasi pendidikan yang digagas dan digulirkan oleh Mas Menteri Nadiem segera bisa terwujud. Guru Bergerak, Indonesia Maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun